Sabtu, 22 Februari 2020

Keutamaan Bulan Dzulhijjah


الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين سيدنا ومولانا محمد وعلى آله وأصحابه الطاهرين أجمعين. ‏
Bulan Dzulhijjah adalah bulan ke 12 dari tahun qomariyah atau kalender hijriyah. Menempati urutan kedua dari empat bulan Haram. Bulan terakhir dari asyhurul hajj (bulan-bulan haji). Di dalamnya terdapat banyak keutamaan dan amal besar dalam Islam; seperti hari ‘Arafah, umroh dan haji, idul adha, (udhiyah (penyembelihan hewan kurban), dan anjuran beramal shalih secara umum. Allah menjadikannya sebagai musim ketaatan yang bersifat tahunan. hendaknya seorang muslim memperhatikan keberadaannya, memanfaatkannya dengan melaksanakan berbagai ibadah yang disyariatkan, menjaga perkataan dan amal yang shalih agar mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala.
Dari bulan Dzulhijjah, sepuluh hari pertamanya merupakan hari-hari yang sangat istimewa di sisi Allah, sangat mulia dan penuh barakah. Buktinya, Allah Ta’ala bersumpah dengannya dalam Kitab-Nya.

وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2)
Imam al-Thabari dalam menafsirkan “Wa Layaalin ‘Asr” (Dan malam yang sepuluh), “Dia adalah malam-malam sepuluh Dzulhijjah berdasarkan kesepakatan hujjah dari ahli ta’wil (ahli tafsir).” (Jaami’ al Bayan fi Ta’wil al-Qur’an: 7/514)
Penafsiran ini dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini, “Dan malam-malam yang sepuluh, maksudnya: Sepuluh Dzulhijjah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Mujahid, dan lebih dari satu ulama salaf dan khalaf.” (Ibnu Katsir: 4/535)
Kemuliaan sepuluh hari ini juga disebutkan dalam Surat Al-Hajj dengan perintah agar memperbanyak menyebut nama Allah pada hari-hari tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al-Hajj: 27-28)
Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini menukil riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallaahu 'anhuma,  “al-Ayyam al-Ma’lumat (hari-hari yang ditentukan) adalah hari-hari yang sepuluh.” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/239)
Maka dapat disimpulkan bahwa keutamaan dan kemuliaan hari-hari yang sepuluh dari Dzulhijjah telah datang secara jelas dalam Al-Qur’an al-Karim yang dinamakan denganAyyaam Ma’lumaat karena keutamaannya dan kedudukannya yang mulia.
Sedangan dari hadits, terdapat keterangan yang menunjukkan keutamaan dan kemuliaan sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah ini, di antaranya sabda NabiShallallaahu 'Alaihi Wasallam:
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
"Tidak ada satu amal shaleh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal shaleh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah)." Para sahabat bertanya: "Tidak pula jihad di jalan Allah?" Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjawab: "Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun." (HR. Abu Dawud dan  Ibnu Majah)
Karenanya dianjurkan atas orang Islam pada hari-hari tersebut untuk bersungguh-sungguh dalam ibadahnya, di antaranya shalat, membaca Al-Qur’an, dzikrullah, memperbanyak doa, membantu orang-orang yang kesusahan, menyantuni orang miskin, memperbaharui janji kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Masih ada satu amalan lagi yang utama pada hari-hari tersebut, yaitu berpuasa sunnah di dalamnya.
Terdapat dalam Sunan Abu dawud dan lainnya, dari sebagian istri Nabi Shallallaahu 'Alaihi Wasallam, dia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ
“Adalah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam berpuasa pada tangga 9 Dzulhijjah.” (HR. Abu Dawud no. 2437 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Dawud no. 2081)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid –Salah seorang ulama besar Saudi Arabia- berkata, “Di antara musim ketaatan yang agung adalah sepuluh hari perama dari bulan Dzulhijjah, yang telah Allah muliakan atas hari-hari lainnya selama setahun. Dari Ibnu Abbas radhiyallaahu 'anhu, dari Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
"Tidak ada satu amal shaleh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal shaleh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah)." Para sahabat bertanya: "Tidak pula jihad di jalan Allah?" Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjawab: "Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun." (HR. Abu Daud dan  Ibnu Majah).
Hadits ini dan hadits-hadit lainnya menunjukkan bahwa sepuluh hari ini lebih utama dari seluruh hari dalam setahun.
Allah Ta’ala telah bersumpah dengannya. Dan bersumpahnya Allah dengan sesuatu menjadi dalil urgensinya dan besarnya manfaat. Allah Ta’ala berfirman,

وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2)
Ibnu Abbas, Ibnu al-Zubair, Mujahid, dan beberapa ulama salaf dan khalaf berkata: Bahwasanya dia itu adalah sepuluh hari pertama Dzil Hijjah. Ibnu Katsir membenarkan pendapat ini (Tafsir Ibni Katsir: 8/413)

روى البخاري رحمه الله عن ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام – يعني أيام العشر - قالوا : يا رسول الله ولا الجهاد في سبيل الله ؟ قال ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله ثم لم يرجع من ذلك بشيء 
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, rahimahullah, dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu : Sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Mereka bertanya : Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah ?. Beliau menjawab : Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun".
وروى الإمام أحمد رحمه الله عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ما من أيام أعظم ولا احب إلى الله العمل فيهن من هذه الأيام العشر فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد 

وروى ابن حبان رحمه الله في صحيحه عن جابر رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: أفضل الأيام يوم عرفة.
"Imam Ahmad, rahimahullah, meriwayatkan dari Umar Radhiyallahu 'anhuma, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir dan tahmid".
MACAM-MACAM AMALAN YANG DISYARIATKAN
1. Melaksanakan Ibadah Haji Dan Umrah
Amal ini adalah amal yang paling utama, berdasarkan berbagai hadits shahih yang menunjukkan keutamaannya, antara lain : sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

العمرة إلى العمرة كفارة لما بينهما والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة 
"Dari umrah ke umrah adalah tebusan (dosa-dosa yang dikerjakan) di antara keduanya, dan haji yang mabrur balasannya tiada lain adalah Surga".
2. Berpuasa Selama Hari-Hari Tersebut, Atau Pada Sebagiannya, Terutama Pada Hari Arafah.
Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi :

الصوم لي وأنا أجزي به ، انه ترك شهوته وطعامه وشرابه من أجلي
"Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku".
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

ما من عبد يصوم يوماً في سبيل الله ، إلا باعد الله بذلك اليوم وجهه عن النار سبعين خريف
"Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun". [Hadits Muttafaqun 'Alaih].
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah rahimahullah bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والتي بعده .
"Berpuasa pada hari Arafah karena mengharap pahala dari Allah melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya".
3. Takbir Dan Dzikir Pada Hari-Hari Tersebut.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala.

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ 
".... dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan ...". [al-Hajj/22 : 28].
Para ahli tafsir menafsirkannya dengan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Karena itu, para ulama menganjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma.

فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد 
"Maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir dan tahmid". [Hadits Riwayat Ahmad].
Imam Bukhari rahimahullah menuturkan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhuma keluar ke pasar pada sepuluh hari tersebut seraya mengumandangkan takbir lalu orang-orangpun mengikuti takbirnya. Dan Ishaq, Rahimahullah, meriwayatkan dari fuqaha', tabiin bahwa pada hari-hari ini mengucapkan :

الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله والله أكبر ولله الحمد 
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaha Ilallah, wa-Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu
"Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada Ilah (Sembahan) Yang Haq selain Allah. Dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji hanya bagi Allah".
Dianjurkan untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika berada di pasar, rumah, jalan, masjid dan lain-lainnya. Sebagaimana firman Allah.

وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
"Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu ...". [al-Baqarah/2 : 185].
Tidak dibolehkan mengumandangkan takbir bersama-sama, yaitu dengan berkumpul pada suatu majlis dan mengucapkannya dengan satu suara (koor). Hal ini tidak pernah dilakukan oleh para Salaf. Yang menurut sunnah adalah masing-masing orang bertakbir sendiri-sendiri. Ini berlaku pada semua dzikir dan do'a, kecuali karena tidak mengerti sehingga ia harus belajar dengan mengikuti orang lain.
Dan diperbolehkan berdzikir dengan yang mudah-mudah. Seperti : takbir, tasbih dan do'a-do'a lainnya yang disyariatkan.
4. Taubat Serta Meninggalkan Segala Maksiat Dan Dosa.
Sehingga akan mendapatkan ampunan dan rahmat. Maksiat adalah penyebab terjauhkan dan terusirnya hamba dari Allah, dan keta'atan adalah penyebab dekat dan cinta kasih Allah kepadanya.
Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

ان الله يغار وغيرة الله أن يأتي المرء ما حرم الله علي
"Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan kecemburuan Allah itu manakala seorang hamba melakukan apa yang diharamkan Allah terhadapnya" [Hadits Muttafaqun 'Alaihi].
5. Banyak Beramal Shalih.
Berupa ibadah sunat seperti : shalat, sedekah, jihad, membaca Al-Qur'an, amar ma'ruf nahi munkar dan lain sebagainya. Sebab amalan-amalan tersebut pada hari itu dilipat gandakan pahalanya. Bahkan amal ibadah yang tidak utama bila dilakukan pada hari itu akan menjadi lebih utama dan dicintai Allah daripada amal ibadah pada hari lainnya meskipun merupakan amal ibadah yang utama, sekalipun jihad yang merupakan amal ibadah yang amat utama, kecuali jihad orang yang tidak kembali dengan harta dan jiwanya.
6. Disyariatkan Pada Hari-Hari Itu Takbir Muthlaq
Yaitu pada setiap saat, siang ataupun malam sampai shalat Ied. Dan disyariatkan pula takbir muqayyad, yaitu yang dilakukan setiap selesai shalat fardhu yang dilaksanakan dengan berjama'ah ; bagi selain jama'ah haji dimulai dari sejak Fajar Hari Arafah dan bagi Jama’ah Haji dimulai sejak Dzhuhur hari raya Qurban terus berlangsung hingga shalat Ashar pada hari Tasyriq.
7. Berkurban Pada Hari Raya Qurban Dan Hari-Hari Tasyriq.
Hal ini adalah sunnah Nabi Ibrahim 'Alaihissalam, yakni ketika Allah Ta'ala menebus putranya dengan sembelihan yang agung. Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

وقد ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم ضحى بكبشين أملحين أقرنين ذبحهما بيده وسمى وكبّر ووضع رجله على صفاحهما 
"Berkurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu". [Muttafaqun 'Alaihi].
8. Dilarang Mencabut Atau Memotong Rambut Dan Kuku Bagi Orang Yang Hendak Berkurban.
Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya, dari Ummu Salamah Radhiyallhu 'anha bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إذا رأيتم هلال ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضّحي فليمسك عن شعره وأظفاره 
"Jika kamu melihat hilal bulan Dzul Hijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya".
Dalam riwayat lain :

فلا يأخذ من شعره ولا من أظفاره حتى يضحي 
"Maka janganlah ia mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya sehingga ia berkurban".
Hal ini, mungkin, untuk menyerupai orang yang menunaikan ibadah haji yang menuntun hewan kurbannya. Firman Allah.

وَلا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّه
"..... dan jangan kamu mencukur (rambut) kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihan...". [al-Baqarah/2 : 196].
Larangan ini, menurut zhahirnya, hanya dikhususkan bagi orang yang berkurban saja, tidak termasuk istri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berkurban. Dan diperbolehkan membasahi rambut serta menggosoknya, meskipun terdapat beberapa rambutnya yang rontok.
9. Melaksanakan Shalat Iedul Adha Dan Mendengarkan Khutbahnya.
Setiap muslim hendaknya memahami hikmah disyariatkannya hari raya ini. Hari ini adalah hari bersyukur dan beramal kebajikan. Maka janganlah dijadikan sebagai hari keangkuhan dan kesombongan ; janganlah dijadikan kesempatan bermaksiat dan bergelimang dalam kemungkaran seperti ; nyanyi-nyanyian, main judi, mabuk-mabukan dan sejenisnya. Hal mana akan menyebabkan terhapusnya amal kebajikan yang dilakukan selama sepuluh hari.
10. Selain Hal-Hal Yang Telah Disebutkan Diatas.
Hendaknya setiap muslim dan muslimah mengisi hari-hari ini dengan melakukan ketaatan, dzikir dan syukur kepada Allah, melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan ; memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha memperoleh kemurahan Allah agar mendapat ridha-Nya.
Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya dan menunjuki kita kepada jalan yang lurus. Dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.
والله الموفق والهادي إلى سواء السبيل وصلى الله على سيدنا  محمد وآله وصحبه وسلم والحمد لله رب العالمين ‏

Jumat, 21 Februari 2020

Hukum Puasa Rojab


Tidak ada puasa Rajab secara khusus, dan tidak ada pula anjuran berpuasa Rajab secara khusus. Semua riwayat yang memerintahkan puasa Rajab dan menjelaskan keutamaannya adalah riwayat Dhoif (lemah) dan Maudhu (palsu). Tidak ada pula Shalat khusus dibulan Rajab, Zakat khusus, Haji, khusus, Umroh khusus, Ziaroh kubur khusus dan doa khusus. Semuanya adalah amalan-amalan yang tidak dilandaskan dalil yang bisa diterima sehingga tidak dapat diamalkan.
Rajab adalah nama salah satu bulan dalam sistem penanggalan Hijriyyah yang terletak diantara bulan Jumada Ats-Tsaniyah dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab memiliki 15 nama lain yaitu; Al-Ashomm (الأصم), Al-Ashobb (الأصب), Rojm (رجم), As-Syahru Al-Harom (الشهر الحرام), Al-Harom (الحرم), Al-Muqim (المقيم),Al-Mu’alla (المعلى), Al-Fard (الفرد), Munshilu Al-Asinnah (منصل الأسنة), Munshilu Al-Al (منصل الآل),  Munazzi’u  Al-Asinnah (منزع الأسنة),  Syahru Al-‘Atiroh (شهر العتيرة), Al-Mubro (المبرى), Al-Mu’asy-‘isy (المعشعش), dan Syahrullah (شهر الله). Istilah puasa Rajab yang berkembang di masyarakat, bermakna puasa khusus di bulan Rajab yang dianjurkan berdasarkan sejumlah riwayat yang diklaim diucapkan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam yang menerangkan keutamaannya.
Masalahnya, tidak ada satupun riwayat (yang diklaim diucapkan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam)  tentang keutamaan puasa bulan Rajab yang legal secara syar’I sehingga hukum puasa Rajab bisa dikatakan Sunnah/Mandub. Contoh riwayat bermasalah yang dijadikan dasar adalah riwayat berikut;

عن عمرو بن الأزهر، عن أبان ابن أبي عياش عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” من صام ثلاثة أيام من رجب كتب الله له صيام شهر، ومن صام سبعة أيام من رجب أغلق الله سبعة أبواب من النار، ومن صام ثمانية أيام من رجب فتح الله له ثمانية أبواب من الجنة، ومن صام نصف رجب كتب الله له رضوانه، ومن كتب له رضوانه لم يعذبه، ومن صام رجب كله حاسبه الله حسابا يسيرا “.(رواه أبو القاسم السمرقندي في فضل رجب)
Dari ‘Amr bin Al-Azhar dari Aban bin Abi ‘Ayyasy dari Anas bin Malik dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “barang siapa berpuasa tiga hari di bulan Rajab, maka Allah akan menuliskan baginya pahala puasa selama sebulan penuh. Barang siapa berpuasa tujuh hari di bulan Rajab , maka Allah akan menutup tujuh pintu neraka. Barang siapa berpuasa delapan hari di bulan Rajab , maka Allah akan membuka delapan pintu surga untuknya. Barang siapa berpuasa separuh bulan di bulan Rajab , maka Allah akan menuliskan keridhaanNya untuknya. Barang siapa yang Allah menuliskan keridhaanNya untuknya, maka Allah tidak akan menyiksanya. Barang siapa berpuasa di bulan Rajab  sebulan penuh, maka Allah akan menghisabnya dengan hisab yang ringan”. (H.R.Abu Al-Qosim As-Samarqondi)
Problem pada riwayat di atas adalah adanya perawi yang bernama Aban bin Abi ‘Ayyasy, karena dia adalah seorang perawi yang Dhoif .Syu’bah berkata tentang Dhoif nya Aban dengan perkataannya: “aku lebih menyukai berzina daripada mengambil Hadist  dari Aban”. Ahmad, An Nasa’i dan Ad Daruqutni berpendapat bahwa Aban itu matruk (ditinggalkan). Selain itu ada pula perawi bernama ‘Amr bin Al Azhar dalam Hadist tersebut. Ia adalah perawi yang dikenal sering memalsukan Hadist. An Nasai berkata bahwa Amr bin Al Azhar adalah matruk (ditinggalkan). Yahya ibnu Ma’in juga mendustakannya.
Contoh riwayat lain yang dijadikan dasar adalah riwayat berikut;

حدثنا هيثم بن خلف نا الحسن بن شوكر ثنا يوسف بن عطية الصفار عن هشام بن حسان عن محمد بن سيرين عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يتم صوم شهر بعد رمضان إلا رجب وشعبان. (مجمع الزوائد) رواه الطبراني في الاوسط وفيه يوسف بن عطية الصفار وهو ضعيف
Kami diberitahu oleh Hitsam bin Kholaf, kami diberitahu oleh Al-hasan bin Syaukar, kami diberitahu oleh Yusuf bin ‘Athiyyah As-Shoffar, dari Hisyam bin Hassan, dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan puasa selama sebulan penuh setelah Ramadhan kecuali puasa Rajab  dan Sya’ban. (H.R.At-Thobaroni)
Problem pada riwayat diatas adalah perawi yang bernama Yusuf Bin ‘Athiyyah As-Shoffar. Yahya bin Ma’in mengatakan “Laisa bissyai'” (orang yang tidak bisa dianggap apa-apa). ‘Amr bin ‘Ali mengatakan; “Katsirul Wahm wal Khotho’ (banyak tidak teliti dan banyak salah), Al-Juzajani mengatakan; “Laa Yuhmadu haditsuhu” (hadisnya tidak terpuji), Abu Zur’ah dan Abu Hatim mengatakan; lemah hadisnya, Bukhari mengatakan; Munkarul hadits, An-Nasai dan Abu Bisyr Ad-Dulabi mengatakan; Matrukul Hadits, Ibnu Hajar menilai; Matruk. Karena itu, riwayatnya tergolong hadis Dhoif.
Bahkan bisa dikatakan bahwa seluruh riwayat yang menerangkan keutamaan bulan Rajab tidak ada satupun yang Shahih atau Hasan sekalipun. Semua riwayat tentang keutamaan bulan Rajab hanya dua kualitasnya; jika tidak Dhoif (lemah), maka Maudhu (palsu). Ibnu Hajar Al-Asqolani telah mengumpulkan semua riwayat tentang anjuran puasa Rajab dalam kitabnya yang bernama

تَبْيِيْنُ الْعَجَبِ بِمَا وَرَدَ فِيْ شَهْرِ رَجَبَ
(Menjelaskan rasa heran mengenai nash yang datang tentang bulan Rajab)
dan membagi riwayat-riwayat yang ada hanya menjadi dua yaitu; riwayat-riwayat Dhoif dan riwayat-riwayat palsu.
Dengan demikian tidak ada syariat puasa Rajab dan tidak ada pula anjuran berpuasa Rajab secara  khusus karena riwayat-riwayat yang dijadikan dalil semuanya tidak sah digunakan sebagai hujjah.
Tidak bisa mengatakan bahwa puasa Rajab hukumnya sunnah berdasarkan anjuran umum puasa Tathowwu (sunnah) secara mutlak atau anjuran puasa di bulan bulan (4 bulan suci dalam islam, yaitu; Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab). Hal itu dikarenakan yang jadi persolan dalam pembahasan ini adalah isu mengkhususkannya, bukan sekedar melakukan puasa sunnah pada waktu tertentu. Ketika Syara’ menganjurkan puasa Tathowwu’ secara mutlak selain bulan Ramadhan, lalu ada seorang mukallaf yang berpuasa Rabu secara rutin dan mengkhususkannya, maka tidak bisa dikatakan bahwa hukum puasa Rabu secara rutin dan mengkhususkannya hukumnya sunnah berdasarkan keumuman hadis anjuran puasa Tathowwu’. Penjelasan yang lebih  tepat; tidak ada anjuran puasa Rabu khusus karena tidak ada dalil yang menunjukkan, dan yang ada hanyalah Nash umum tentang anjuran puasa Tathowwu yang boleh dikerjakan pada hari Rabu, Selasa, Ahad, dll.  Lagipula mengkhususkan ibadah haruslah dinyatakan dengan Nash karena Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam melarang mengkhususkan puasa dan shalat pada hari Jumat padahal Nash-Nash yang memerintahkan puasa sunnah dan shalat malam bersifat mutlak sehingga bisa dilakukan di waktu kapanpun.
Tidak bisa pula berargumen bahwa riwayat Dhoif tentang anjuran puasa Rajab  bisa dipakai dalam kapasitas dalil untuk Fadhoil Amal. Hal itu dikarenakan isu yang dibahas disini adalah pembahasan hukum Syara, yakni membahas apakah hukum puasa Rojab sunnah ataukah tidak. Pembahasan hukum syara adalah hukum Ashl (induk) bukan Fadhoil Amal yang hanya dijadikan penguat terhadap hukum induk yang sudah mapan.
Ulama yang membolehkan hadis Dhoif dijadikan dasar Fadhoil Amal mensyaratkan cukup ketat dalam penggunaannya yaitu;
Pertama; ada nash Ashl/induk yang tidak diperdebatkan lagi keshohihannya tentang amal yang dijelaskan dalam Hadist Dhoif.
Kedua; Hadist Dhoif tersebut bukan Hadist yang terlalu Dhoif.
Ketiga; dalam mengamalkannya tidak boleh disertai keyakinan bahwa Rasulullah SAW mengucapkannya.
Pada kasus puasa Rajab, tiga syarat ini telah dilanggar semua.
Lebih dari itu, ada riwayat Mursal yang menunjukkan ketidak sukaan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam terhadap puasa Rajab. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;

عن زيد بن أسلم قال سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صوم رجب فقال : ” أين أنتم من شعبان “.( مصنف ابن أبي شيبة)
Dari Zaid bin Aslam dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ditanya tentang puasa Rajab. Maka beliau menjawab, “di mana kalian dari bulan Sya’ban?”. (H.R. Ibnu Abi Syaibah)
Ketidaksukaan  Sejumlah Shahabat Terhadap Puasa Rajab Khusus
Ada sejumlah riwayat yang menunjukkan bahwa Shahabat-Shahabat besar tidak suka dilakukan puasa Rajab secara khusus. Diantara mereka adalah Abu Bakar. Dalam majmu’ Al-Fatawa disebutkan;

وَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَرَأَى أَهْلَهُ قَدْ اشْتَرَوْا كِيزَانًا لِلْمَاءِ وَاسْتَعَدُّوا لِلصَّوْمِ فَقَالَ : ” مَا هَذَا فَقَالُوا : رَجَبٌ فَقَالَ : أَتُرِيدُونَ أَنْ تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ ؟ وَكَسَرَ تِلْكَ الْكِيزَانَ” ( مجموع فتاوى ابن تيمية)
Abu Bakar masuk, dia melihat keluarganya telah membeli gelas-gelas untuk air dan mereka bersiap-siap untuk berpuasa. Maka dia berkata, “apa ini?!”. Mereka menjawab, “Rajab ”. Dia berkata, “apakah kalian menginginkan untuk menyamakan Rajab  dengan Ramadhan?”. Lalu beliaupun memecah gelas-gelas itu. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah)
Termasuk pula Umar bin Khattab. Ibnu Abi syaibah meriwayatkan;

مصنف ابن أبي شيبة (2/  513)

عن خرشة بن الحر قال : ( رأيت عمر يضرب أكف المترجبين حتى يضعوها في الطعام ويقول : كلوا فإنما هو شهر كانت تعظمه الجاهلية ) (أحمد)
Dari Kharasyah bin Hurr dia berkata, “aku melihat Umar memukul tangan orang-orang yang berpuasa Rajab  hingga mereka meletakkan tangan-tangan mereka pada makanan. Umar berkata, ‘makanlah karena Rajab hanyalah bulan yang diagungkan oleh orang-orang jahiliyyah”.
Demikian pula Abdullah bin ‘Umar. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;

حدثنا وكيع عن عاصم بن محمد عن أبيه قال كان ابن عمر إذا رأى الناس وما يعدون لرجب كره ذلك (مصنف ابن أبي شيبة)
Kami diberitahu oleh Waqi’ dari Ashim bin Muhammad dari ayahnya dia berkata, “apabila ibnu Umar melihat orang-orang dan apa yang mereka persiapkan untuk puasa Rajab  maka beliau membenci hal itu”. (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
Demikian pula Abu Bakrah, Imam Ahmad meriwayatkan;

عن أبى بكرة : ( أنه دخل على أهله وعندهم سلال جدد وكيزان فقال : ما هذا ؟ فقالوا : رجب نصومه فقال : أجعلتم رجب رمضان ؟ ! فأكفا السلال وكسر الكيزان) (أحمد في إرواء الغليل)
Dari Abu Bakrah bahwasanya dia masuk menemui keluarganya dan di sisi mereka terdapat keranjang-keranjang baru dan gelas-gelas. Beliau berkata, “apa ini?”. Mereka menjawab, “ Rajab, dan kami akan mempuasainya (berpuasa di dalamnya)”. Beliau berkata, “apakah kalian akan menjadikan Rajab seperti Ramadhan?” lalu beliau menumpahkan keranjang-keranjang itu dan memecahkan gelas-gelas tersebut.(H.R.Ahmad)
Demikian pula Anas bin malik. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;

حدثنا وكيع عن يزيد مولى الصهباء عن رجل قد سماه عن أنس قال لا يكون اثنينيا ولا خميسيا ولا رجبيا. (مصنف ابن أبي شيبة)
Kami diberitahu oleh Waqi’ dari Yazid maulanya As Shahba’ dari seorang lelaki, dia melihat Anas berkata, “janganlah kalian menjadi istnainiyyan, jangan pula kalian menjadi khumaisiyyan, dan jangan pula kalian menjadi Rujaibiyyan”. (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
Riwayat Lemah Doa Terkait Bulan Rajab
Sebagian kaum muslimin mengamalkan doa terkait bulan Rajab yang diklaim diajarkan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam. Doa tersebut berbunyi;

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَب وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
Ya Allah berilah kami berkah di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikan kami pada bulan Ramadhan
Klaim bahwa doa ini diajarkan Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam didasarkan pada riwayat berikut;
حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عَنْ زَائِدَةَ بْنِ أَبِي الرُّقَادِ عَنْ زِيَادٍ النُّمَيْرِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَب قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ وَكَانَ يَقُولُ لَيْلَةُ الْجُمُعَةِ غَرَّاءُ وَيَوْمُهَا أَزْهَرُ (أحمد) 
Kami diberitahu oleh Abdullah, kami diberitahu oleh Ubaidullah bin Umar dari Zaidah bin Abi Ar-Ruqaddari Ziyad An Numairi dari Anas bin Malik dia berkata, “nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila masuk pada bulan Rajab  beliau berdoa, ‘ya Allah berilah kami berkah di bulan Rajab  dan Sya’ban dan berilah kami berkah di bulan Ramadhan’. Beliau menyebut malam jumat sebagai Gharra’ dan hari jumat sebagai Azhar.
Pada riwayat At Thabarani, lafadznya diungkapkan  sebagai berikut:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَب وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
Ya Allah berilah kami berkah di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikan kami pada bulan Ramadhan
Hanya saja, klaim ini tidak boleh dilanjutkan karena riwayat diatas semuanya adalah riwayat Dhoif karena seorang perawi yang bernama Zaidah bin Abi Ar-Ruqod. Bukhari berkata dalam kitabnya At-Tarikh Al-Kabir;

التاريخ الكبير (3/ 433)

زائدة بن ابى الرقاد، عن زياد النميري وثابت، منكر الحديث
Zaidah bin Abi Ar-Ruqod dari Ziyad An-Numairi dan Tsabit; Munkarul hadits
Abu Ahmad Al-Hakim menilai Zaidah dengan statemen; “haditsuhu laisa bil Qoim” (hadisnya tidak tegak), Annasai mengatakan; Munkarul hadits, Ibnu Hibban mengatakan; Dia meriwayatkan hadis-hadis munkar dari perawi populer, Ibnu Hajar menilainya; Munkarul hadits.
Oleh kerena riwayatnya Dhoif, maka tidak boleh doa tersebut dinisbatkan kepada Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam. Sejauh-jauh yang bisa dilakukan hanyalah membaca doa tersebut dalam kapasitas doa buatan (Mashnu’), bukan doa Ma’tsur  (dinukil) dari Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam.
Atas dasar ini tidak ada puasa Rajab dan tidak ada anjuran melakukannya. Semua amalan khusus dibulan Rajab seperti shalat Roghoib, Zakat, Haji, umroh, Ziaroh kubur juga tidak dianjurkan. amalan-amalan shalih dibulan Rajab dikembalikan pada Nash-Nash umum tentang amalan tersebut dan diamalkan sebatas penunjukkan makna yang dinyatakan oleh lafadz Nash. Wallahua’lam.
Berikut pernyataan para ulama madzhab empat tentang puasa Rajab.
 
Madzhab Hanafi
Dalam al-Fatawa al-Hindiyyah (1/202) disebutkan:

في الفتاوي الهندية 1/202 : ( المرغوبات من الصيام أنواع ) أولها صوم المحرم والثاني صوم رجب والثالث صوم شعبان وصوم عاشوراء ) اه
“Macam-macam puasa yang disunnahkan adalah banyak macamnya. Pertama, puasa bulan Muharram, kedua puasa bulan Rajab, ketiga, puasa bulan Sya’ban dan hari Asyura.”
 
Madzhab Maliki
Dalam kitab Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil (2/241), ketika menjelaskan puasa yang disunnahkan, al-Kharsyi berkata:

(والمحرم ورجب وشعبان ) يعني : أنه يستحب صوم شهر المحرم وهو أول الشهور الحرم , ورجب وهو الشهر الفرد عن الأشهر الحرم ) اه وفي الحاشية عليه : ( قوله : ورجب ) , بل يندب صوم بقية الحرم الأربعة وأفضلها المحرم فرجب فذو القعدة فالحجة ) اه
“Muharram, Rajab dan Sya’ban. Yakni, disunnahkan berpuasa pada bulan Muharram – bulan haram pertama -, dan Rajab – bulan haram yang menyendiri.” Dalam catatan pinggirnya: “Maksud perkataan pengaram, bulan Rajab, bahkan disunnahkan berpuasa pada semua bulan-bulan haram yang empat, yang paling utama bulan Muharram, lalu Rajab, lalu Dzul Qa’dah, lalu Dzul Hijjah.”
Pernyataan serupa bisa dilihat pula dalam kitabal-Fawakih al-Dawani (2/272), Kifayah al-Thalib al-Rabbani (2/407), Syarh al-Dardir ‘ala Khalil(1/513) dan al-Taj wa al-Iklil (3/220).
 
Madzhab Syafi’i
Imam al-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/439),

قال الإمام النووي في المجموع 6/439 : ( قال أصحابنا : ومن الصوم المستحب صوم
الأشهر الحرم , وهي ذو القعدة وذو الحجة والمحرم ورجب , وأفضلها المحرم , قال الروياني في البحر : أفضلها رجب , وهذا غلط ; لحديث أبي هريرة الذي سنذكره إن شاء الله تعالى { أفضل الصوم بعد رمضان شهر الله المحرم ) اه
“Teman-teman kami (para ulama madzhab Syafi’i) berkata: “Di antara puasa yang disunnahkan adalah puasa bulan-bulan haram, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab, dan yang paling utama adalah Muharram. Al-Ruyani berkata dalam al-Bahr: “Yang paling utama adalah bulan Rajab”. Pendapat al-Ruyani ini keliru, karena hadits Abu Hurairah yang akan kami sebutkan berikut ini insya Allah (“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa bulan Muharram.”)”.
Pernyataan serupa dapat dilihat pula dalamAsna al-Mathalib (1/433), Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah (2/53),  Mughni al-Muhtaj (2/187),Nihayah al-Muhtaj (3/211) dan lain-lain.
Madzhab Hanbali
Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata dalam kitabal-Mughni (3/53):

قال ابن قدامة في المغني 3/53  فصل : ويكره إفراد رجب بالصوم . قال أحمد : وإن صامه رجل , أفطر فيه يوما أو أياما , بقدر ما لا يصومه كله … قال أحمد : من كان يصوم السنة صامه , وإلا فلا يصومه متواليا , يفطر فيه ولا يشبهه برمضان ) اه
“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan ibadah puasa. Ahmad bin Hanbal berkata: “Apabila seseorang berpuasa Rajab, maka berbukalah dalam satu hari atau beberapa hari, sekiranya tidak berpuasa penuh satu bulan.” Ahmad bin Hanbal juga berkata: “Orang yang berpuasa satu tahun penuh, maka berpuasalah pula di bulan Rajab. Kalau tidak berpuasa penuh, maka janganlah berpuasa Rajab terus menerus, ia berbuka di dalamnya dan jangan menyerupakannya dengan bulan Ramadhan.”
Ibnu Muflih berkata dalam kitab al-Furu’(3/118):
وفي الفروع لابن مفلح 3/118 : ( فصل : يكره إفراد رجب بالصوم نقل حنبل : يكره , ورواه عن عمر وابنه وأبي بكرة , قال أحمد : يروى فيه عن عمر أنه كان يضرب على صومه , وابن عباس قال : يصومه إلا يوما أو أياما … وتزول الكراهة بالفطر أو بصوم شهر آخر من السنة , قال صاحب المحرر : وإن لم يله .
“Pasal. Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa. Hanbal mengutip: “Makruh, dan meriwayatkan dari Umar, Ibnu Umar dan Abu Bakrah.” Ahmad berkata: “Memuku seseorang karena berpuasa Rajab”. Ibnu Abbas berkata: “Sunnah berpuasa Rajab, kecuali satu hari atau beberapa hari yang tidak berpuasa.” Kemakruhan puasa Rajab bisa hilang dengan berbuka (satu hari atau beberapa hari), atau dengan berpuasa pada bulan yang lain dalam tahun yang sama. Pengarang al-Muharrar berkata: “Meskipun bulan tersebut tidak bergandengan.”
 
DALIL PUASA RAJAB
Dalil Mayoritas Ulama
Mayoritas ulama yang berpandangan bahwa puasa Rajab hukumnya sunnah sebulan penuh, berdalil dengan beberapa banyak hadits dan atsar. Dalil-dalil tersebut dapat diklasifikasi menjadi tiga:
Pertama, hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan puasa sunnah secara mutlak. Dalam konteks ini, al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata dalam al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah(2/53) dan fatwa beliau mengutip dari fatwa al-Imam Izzuddin bin Abdussalam (hal. 119):
قال ابن حجر كما في الفتاوى الفقهية الكبرى 2/53  ويوافقه إفتاء العز بن عبد السلام فإنه سئل عما نقل عن بعض المحدثين من منع صوم رجب وتعظيم حرمته وهل يصح نذر صوم جميعه فقال في جوابه :نذر صومه صحيح لازم يتقرب إلى الله تعالى بمثله والذي نهى عن صومه جاهل بمأخذ أحكام الشرع وكيف يكون منهيا عنه مع أن العلماء الذين دونوا الشريعة لم يذكر أحد منهم اندراجه فيما يكره صومه بل يكون صومه قربة إلى الله تعالى لما جاء في الأحاديث الصحيحة من الترغيب في الصوم مثل: قوله صلى الله عليه وسلم { يقول الله كل عمل ابن آدم له إلا الصوم } وقوله صلى الله عليه وسلم { لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك } وقوله { إن أفضل الصيام صيام أخي داود كان يصوم يوما ويفطر يوما } وكان داود يصوم من غير تقييد بما عدا رجبا من الشهور ) اه
“Ibnu Hajar, (dan sebelumnya Imam Izzuddin bin Abdissalam ditanya pula), tentang riwayat dari sebagian ahli hadits yang melarang puasa Rajab dan mengagungkan kemuliaannya, dan apakah berpuasa satu bulan penuh di bulan Rajab sah? Beliau berkata dalam jawabannya: “Nadzar puasa Rajab hukumnya sah dan wajib, dan dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukannya. Orang yang melarang puasa Rajab adalah orang bodoh dengan pengambilan hukum-hukum syara’. Bagaimana mungkin puasa Rajab dilarang, sedangkan para ulama yang membukukan syariat, tidak seorang pun dari mereka yang menyebutkan masuknya bulan Rajab dalam bulan yang makruh dipuasai. Bahkan berpuasa Rajab termasuk qurbah (ibadah sunnah yang dapat mendekatkan) kepada Allah, karena apa yang datang dalam hadits-hadits shahih yang menganjurkan berpuasa seperti sabda Nabi SAW: “Allah berfirman, semua amal ibadah anak Adam akan kembali kepadanya kecuali puasa”, dan sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum menurut Allah dari pada minyak kasturi”, dan sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya puasa yang paling utama adalah puasa saudaraku Dawud. Ia berpuasa sehari dan berbuka sehari.” Nabi Dawud AS berpuasa tanpa dibatasi oleh bulan misalnya selain bula Rajab.”
Al-Syaukani berkata dalam Nail al-Authar(4/291):

وقال الشوكاني في نيل الأوطار 4/291 : ( وقد ورد ما يدل على مشروعية صومه على العموم والخصوص : أما العموم : فالأحاديث الواردة في الترغيب في صوم الأشهر الحرم وهو منها بالإجماع . وكذلك الأحاديث الواردة في مشروعية مطلق الصوم … ) اه
“Telah datang dalil yang menunjukkan pada disyariatkannya puasa Rajab, secara umum dan khusus. Adapun hadits yang bersifat umum, adalah hadits-hadits yang datang menganjurkan puasa pada bulan-bulan haram. Sedangkan Rajab termasuk bulan haram berdasarkan ijma’ ulama. Demikian pula hadits-hadits yang datang tentang disyariatkannya puasa sunnat secara mutlak.”
 
Kedua, hadits-hadits yang menganjurkan puasa bulan-bulan haram, antara lain hadits Mujibah al-Bahiliyah. Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam al-Sunan (2/322) sebagai berikut ini:

عن مجيبة الباهلية عن أبيها أو عمها أنه : أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم انطلق فأتاه بعد سنة وقد تغيرت حالته وهيئته فقال يا رسول الله أما تعرفني قال ومن أنت قال أنا الباهلي الذي جئتك عام الأول قال فما غيرك وقد كنت حسن الهيئة قال ما أكلت طعاما إلا بليل منذ فارقتك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم لم عذبت نفسك ثم قال صم شهر الصبر ويوما من كل شهر قال زدني فإن بي قوة قال صم يومين قال زدني قال صم ثلاثة أيام قال زدني قال صم من الحرم واترك صم من الحرم واترك صم من الحرم واترك وقال بأصابعه الثلاثة فضمها ثم أرسلها )
Dari Mujibah al-Bahiliyah, dari ayah atau pamannya, bahwa ia mendatangi Rasulullah SAW kemudian pergi. Lalu datang lagi pada tahun berikutnya, sedangkan kondisi fisiknya telah berubah. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah engkau masih mengenalku?” Beliau bertanya: “Kamu siapa?” Ia menjawab: “Aku dari suku Bahili, yang datang tahun sebelumnya.” Nabi SAW bertanya: “Kondisi fisik mu kok berubah, dulu fisikmu bagus sekali?” Ia menjawab: “Aku tidak makan kecuali malam hari sejak meninggalkanmu.” Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Mengapa kamu menyiksa diri?” Lalu berliau bersabda: “Berpuasalah di bulan Ramadhan dan satu hari dalam setiap bulan.” Ia menjawab: “Tambahlah kepadaku, karena aku masih mampu.” Beliau menjawab: “Berpuasalah dua hari dalam sebulan.” Ia berkata: “Tambahlah, aku masih kuat.” Nabi SAW menjawab: “Berpuasalah tiga hari dalam sebulan.” Ia berkata: “Tambahlah.” Nabi SAW menjawab: “Berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah, berpuasalah di bulan haram dan tinggalkanlah.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Mengomentari hadits tersebut, Imam al-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab(6/439): “Nabi SAW menyuruh laki-laki tersebut berpuasa sebagian dalam bulan-bulan haram tersebut dan meninggalkan puasa di sebagian yang lain, karena berpuasa bagi laki-laki Bahili tersebut memberatkan fisiknya. Adapuan bagi orang yang tidak memberatkan, maka berpuasa satu bulan penuh di bulan-bulan haram adalah keutamaan.” Komentar yang sama juga dikemukakan oleh Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib (1/433) dan Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa-nya (2/53).
Ketiga, hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab secara khusus. Hadits-hadits tersebut meskipun derajatnya dha’if, akan tetapi masih diamalkan dalam bab fadhail al-a’mal, seperti ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fatawa-nya (2/53).
Di antara hadits yang menjelaskan keutamaan puasa Rajab secara khusus adalah hadits Usamah bin Zaid berikut ini:

في سنن النسائي 4/201 : ( عن أسامة بن زيد قال قلت : يا رسول الله لم أرك تصوم شهرا من الشهور ما تصوم من شعبان قال ذلك شهر يغفل الناس عنه بين رجب ورمضان ) اه
“Dalam Sunan al-Nasa’i (4/201): Dari Usamah bin Zaid, berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak melihatmu berpuasa dalam bulan-bulan yang ada seperti engkau berpuasa pada bulan Sya’ban?” Beliau menjawab: “Bulan Sya’ban itu bulan yang dilupakan oleh manusia antara Rajab dan Ramadhan.”
Mengomentari hadits tersebut, Imam al-Syaukani berkata dalam kitabnya Nail al-Authar(4/291): “Hadits Usamah di atas, jelasnya menunjukkan disunnahkannya puasa Rajab. Karena yang tampak dari hadits tersebut, kaum Muslimin pada masa Nabi SAW melalaikan untuk mengagungkan bulan Sya’ban dengan berpuasa, sebagaimana mereka mengagungkan Ramadhan dan Rajab dengan berpuasa.”
Keempat, atsar dari ulama salaf yang saleh. Terdapat beberapa riwayat yang menyatakan bahwa beberapa ulama salaf yang saleh menunaikan ibadah puasa Rajab, seperti Hasan al-Bashri, Abdullah bin Umar dan lain-lain. Hal ini bisa dilihat dalam kitab-kitab hadits seperti Mushannaf Ibn Abi Syaibah dan lain-lain.
Dalil Madzhab Hanbali
Sebagaimana dimaklumi, madzhab Hanbali berpendapat bahwa mengkhususkan puasa Rajab secara penuh dengan ibadah puasa adalah makruh. Akan tetapi kemakruhan puasa Rajab ini bisa hilang dengan dua cara, pertama, meninggalkan sehari atau lebih dalam bulan Rajab tanpa puasa. Dan kedua, berpuasa di bulan-bulan di luar Rajab, walaupun bulan tersebut tidak berdampingan dengan bulan Rajab.
Para ulama yang bermadzhab Hanbali, memakruhkan berpuasa Rajab secara penuh dan secara khusus, didasarkan pada beberapa hadits, antara lain:
Hadits dari Zaid bin Aslam, bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Rajab, lalu beliau menjawab: “Di mana kalian dari bulan Sya’ban?” (HR. Ibnu Abi Syaibah [2/513] dan Abdurrazzaq [4/292]. Tetapi hadits ini mursal, alias dha’if).
Hadits Usamah bin Zaid. Ia selalu berpuasa di bulan-bulan haram. Lalu Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Berpuasalah di bulan Syawal.” Lalu Usamah meninggalkan puasa di bulan-bulan haram, dan hanya berpuasa di bulan Syawal sampai meninggal dunia.” (HR. Ibn Majah [1/555], tetapi hadits ini dha’if. Hadits ini juga dinilai dha’if oleh Syaikh al-Albani.).
Hadits dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW melarang puasa Rajab. (HR. Ibn Majah [1/554], tetapi hadits ini dinilai dha’if oleh Imam Ahmad, Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa al-Kubra[2/479], dan lain-lain).
Madzhab Hanbali juga berdalil dengan beberapa atsar dari sebagian sahabat, seperti atsar bahwa Umar pernah memukul orang karena berpuasa Rajab, atsar dari Anas bin Malik dan lain-lain. Tetapi atsar ini masih ditentang dengan atsar-atsar lain dari para sahabat yang justru melakukan puasa Rajab. Disamping itu, dalil-dalil para ulama yang menganjurkan puasa Rajab jauh lebih kuat dan lebih shahih sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.
Kesimpulan 
‎Sudah jelas dari semua dalil bahwa bulan Rajab adalah salah satu bulan yang mulia serta termasuk dari 4 bulan haram (Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharam). Sehingga tak ada seorang muslim yang beriman menolak atau menyangsikan kemuliaan bulan-bulan haram tersebut. Namun bulan Rajab tidak lebih utama dari pemuliaan bulan haram lainnya selain itu Islam juga memuliakan selain bulan Haram seperti bulan Sya’ban dan Syawal.
Maka puasa di bulan Rajab jelas ada dan boleh. Adalah salah jika menyatakan tidak ada puasa Rajab. Akan lebih salah lagi jika menyatakan haram berpuasa bulan Rajab. Yang benar adalah Rasulullah s.a.w. pernah berpuasa di bulan Rajab dan juga pernah tidak berpuasa di bulan Rajab. Mengkhususkan diri hanya berpuasa di bulan Rajab adalah makruh. Letak makruhnya bukan soal berpuasanya namun soal mengkhususkan hanya menghormati bulan Rajab saja sedangkan tidak menghormati bulan bulan lainnya dengan berpuasa sunnah juga. 
Adapun Rasulullah s.a.w. sesungguhnya pada semua bulan beliau berpuasa dan andaikan mau dilebihkan, maka dari semua kesaksian para sahabatn beliau s.a.w. paling banyak berpuasa sunnah pada bulan Sya’ban dan bukan bulan Rajab  Juga tidak ada dasarnya meyakini tanggal tertentu atau haru tertentu di bulan Rajab. Yang benar adalah silakan berpuasa 2-3 hari di hari apa saja pada bulan Rajab sebagaimana berpuasa 2-3 hari di bulan haram lainnya. Puasa 2-3 hari ini berbeda dengan puasa senin kamis dan puasa ayamul bidh 3 hari tiap tengah bulan yang dilaksanakan pada semua bulan.
Adapun sikap memuliakan bulan Rajab tidak lantas dengan cara menerima begitu saja hadits-hadits yang berlebih-lebihan seperti terbebasnya dari penyakit, atau sama dengan puasa setahun penuh dan sholat malam setahun penuh atau akan disediakan telaga khusus di surga dll. Adapun kenyataannya hadits-hadits yang bombastis itu adalah hadits dla’if bahkan palsu. Orang yang melebih-lebihkan keutamaan bulan Rajab dengan membawakan hadits palsu sama buruknya dengan orang yang sama sekali menolak atau mengharamkan adanya puasa di bulan Rajab. Wallahua’lam.

Amalan Di Hari Arofah


PADANG Arafah dinamakan demikian kerana menurut sebahagian ulama, Nabi Adam AS dipertemukan kembali ('arafa) dengan Siti Hawa setelah kedua-duanya diturunkan dari Syurga. Sebahagian pendapat menyatakan perpisahan mereka selama lebih kurang 200 tahun. Mereka berdua bertemu kembali di Padang Arafah.
Lokasi Arafah terletak di sebelah tenggara Masjidil Haram sejauh 22 kilometer (km) dan ia dianggap sebagai kawasan Tanah Haram. Jemaah haji hendaklah wukuf (berada) di Arafah pada 9 Zulhijjah, kerana jika tidak maka hajinya tidak sah. Kerana ia adalah rukun haji.
Rasulullah SAW bersabda bermaksud: "Haji adalah (wukuf) di Arafah." Ketika berada di Arafah pada 9 Zulhijjah hendaknya jemaah memperbanyak doa, berzikir, membaca al-Quran, talbiah dan lain-lainnya.
Rasulullah SAW bersabda bermaksud: "Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah."
Ibadah wukuf di Arafah adalah "kemuncak" ibadah haji. Semasa wukuf di Arafah jemaah bermuhasabah diri menilai kekurangan, kelemahan, menyedari dosa yang seterusnya memohon keampunan Allah SWT. Ini saat seseorang hamba kembali kepada Penciptanya untuk mendapat keampunan dan keredaan-Nya. Jika Allah menerima taubat mereka dan perjalanan hidup seterusnya mereka tidak lagi melakukan dosa, maka bayangan syurga akan dapat digapai.
Ada riwayat menyatakan, kehadiran para malaikat dan Allah SWT turun ke langit serendahnya menyaksikan para jemaah yang wukuf di Padang Arafah. Allah berfirman dalam hadis Qudsi kepada para malaikat-Nya bermaksud: "Lihatlah kepada orang-orang yang menziarahi rumah-Ku, sesungguhnya mereka telah mengunjungi-Ku, hingga kusut masai keadaannya dan penuh debu." (riwayat al-Hakim bersumber daripada Abu Hurairah).
Sungguh mereka berlaku ikhlas dalam melaksanakan ibadah haji, kerana itu mereka berhak mendapat limpahan kurniaan dan selayaknya Aku memberi mereka sebaik-baik pahala atas jerih payah serta sambutan atas panggilan-Ku.
Rasulullah SAW bersabda bermaksud bahawa mengerjakan haji adalah satu jihad, jihad ertinya perjuangan. Perjuangan yang hebat dan besar adalah perjuangan melawan hawa nafsu. Di dalam ibadah haji, menentang hawa nafsu menjadi ujian terbesar jika hendak mencapai ibadah haji mabrur. Sesungguhnya hawa nafsu sekiranya tidak dikawal ia akan mendorong manusia ke lembah kejahatan dan kemungkaran.
Rasulullah SAW telah mengingatkan kita bahawa mengerjakan haji itu adalah yang bermaksud : "Kusut masai dan penuh debu." Digambarkan keadaan yang sedemikian kerana orang yang mengerjakan haji berlumba-lumba bersaing untuk mendapatkan keampunan Allah dan rahmat-Nya, ganjaran besar (syurga) yang penuh dengan kenikmatan dan kesenangan yang tidak terlintas di hati dan tergambar dalam pemikiran manusia.
Di Padang Arafah, di mana satu-satunya lokasi yang paling mustajab doa kita. Kerana di situ Allah SWT turun ke langit serendahnya untuk bertemu dan menyaksikan hamba-hamba-Nya yang ingin berjumpa dengan-Nya, mendengar segala doa dan permohonan hamba-Nya dan memakbulkan segala doa-doa mereka. Bahkan Allah memuji kepada hamba-Nya yang datang berwukuf di Arafah untuk menggapai rahmat dan keampunan-Nya.
Daripada Abu Hurairah ra bahawa Rasulullah SAW bersabda bermaksud: "Sesungguhnya Allah SWT memuji mereka yang sedang wukuf di Arafah kepada penghuni langit dan berkata kepada mereka: "Lihatlah kepada hamba-hamba-Ku yang datang kepada-Ku." (riwayat Imam Ahmad).
Di Padang Arafah, di mana satu-satunya lokasi yang paling mustajab doa kita. Kerana di situ Allah SWT turun ke langit serendahnya untuk bertemu dan menyaksikan hamba-hamba-Nya yang ingin berjumpa dengan-Nya.. petikan drp artikel Oleh IBRAHIM ABDULLAH.. satu-satunya lokasi yang paling mustajab doa ? Allah SWT turun ke langit serendahnya ?
Yang dimaksudkan SALAF di sini adalah salafus soleh dinisbatkan kepada pada pendahulu umat ini yang hidup pada tiga generasi pertama: sahabat,tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Lalu siapa yang suruh membawa kepada takwil wahhabi/salafi?
Maksud Allah turun ke langit dunia
Fatwa Syeikh A’tiah Saqar ‎
Soalan: Terdapat hadith-hadith yang menceritakan bahawa Allah s.w.t itu turun ke langit dunia untuk mendengar doa hamba-hambaNya yang memohon keampunan dan rezeki, bagaimanakah Allah s.w.t turun, adakah Allah s.w.t itu bertempat untuk turun daripadanya?
Jawapan : Hadith yang berkenaan berbunyi:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ : مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ.
 
“Tuhan kita Tabaraka wa Taala turun pada setiap malam ke langit dunia ketika akhir satu pertiga malam dengan berkata sesiapa yang berdoa kepadaku nescaya ku perkenankan, sesiapa yang memohon kepada ku nescaya ku beri, dan sesiapa yang memohon keampunan kepada Ku nescaya ku akan ampunkan”
Kaum Muslimin terbahagi kepada dua kelompok dalam memahami ayat ini. Satu kelompok yang dinamakan sebagai salaf dan satu kolompok lagi dikenali sebagai khalaf. Maka kelompok yang pertama beriman dengan zahir ayat tersebut bahawasanya Allah s.w.t itu turun ke langit dunia sebagaimana layak dengan zatNya, jauh daripada menyerupai makhluk berpandukan firmanNya:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
 
“Tidak ada sesuatu pun yang seumpama zat dan sifat Allah s.w.t dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”
Dan dari kelompok yang lain (khalaf) memahaminya dengan maksud yang lain seperti dengan makna dekat, rahmat, dan cepat mengabulkan doa. Demikian jugalah mereka mentafsirkan kalimah Yad dan A’in pada ayat:

يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
“Tangan Allah (kuasa) Allah s.w.t itu mengatasi tangan-tangan mereka”

وَأَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِنِّي وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِي
 
“dan Aku telah tanamkan dari kemurahanKu perasaan kasih sayang orang terhadapmu; dan supaya engkau dibela dan dipelihara dengan mataku (pengawasanKu).”
Pendirian salaf dan khalaf dalam beriman pada zahir ayat dan tafsirannya adalah pada masalah waqaf ayat:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
 
Artinya;. Dia lah Yang menurunkan kepadamu (Wahai Muhammad) Kitab suci Al-Quran. sebahagian besar dari Al-Quran itu ialah ayat-ayat "Muhkamaat" (yang tetap, tegas dan nyata maknanya serta jelas maksudnya); ayat-ayat Muhkamaat itu ialah ibu (atau pokok) isi Al-Quran. dan Yang lain lagi ialah ayat-ayat "Mutasyaabihaat" (yang samar-samar, tidak terang maksudnya). oleh sebab itu (timbulah faham Yang berlainan menurut kandungan hati masing-masing) - adapun orang-orang Yang ada Dalam hatinya kecenderungan ke arah kesesatan, maka mereka selalu menurut apa Yang samar-samar dari Al-Quran untuk mencari fitnah dan mencari-cari Takwilnya (memutarkan maksudnya menurut Yang disukainya). padahal tidak ada Yang mengetahui Takwilnya (tafsir maksudnya Yang sebenar) melainkan Allah. dan orang-orang Yang tetap teguh serta mendalam pengetahuannya Dalam ilmu-ilmu ugama, berkata:" Kami beriman kepadaNya, semuanya itu datangnya dari sisi Tuhan kami" dan tiadalah Yang mengambil pelajaran dan peringatan melainkan orang-orang Yang berfikiran.
Golongan salaf waqaf pada ayat وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ dan golongan khalaf pula waqaf pada kalimah وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ bagi golongan salaf Allah s.w.t sahajalah yang mengetahui akan makna sebenar ayat tersebut, dan bagi golongan khalaf pula berpendapat golongan ulama’ yang amat mendalam ilmunya juga harus menta’wil ayat tersebut dengan makna yang layak pada zat Allah s.w.t. wallahua’lam.‎
Mengenai hari Arofah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ
 
“Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari Arofah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?” 
[HR. Muslim no. 1348]
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hari Arofah adalah hari pembebasan dari api neraka. Pada hari itu, Allah akan membebaskan siapa saja yang sedang wukuf di Arofah dan penduduk negeri kaum muslimin yang tidak melaksanakan wukuf. Oleh karena itu, hari setelah hari Arofah –yaitu hari Idul Adha- adalah hari ‘ied bagi kaum muslimin di seluruh dunia.
Baik yang melaksanakan haji dan yang tidak melaksanakannya sama-sama akan mendapatkan pembebasan dari api neraka dan ampunan pada hari Arofah.”[Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 482]
Ibnu Rajab selanjutnya menjelaskan bahwa siapa yang ingin mendapatkan pembebasan dari api neraka dan pengampunan dosa pada hari Arofah, maka lakukanlah Amalan berikut:
(1) Pertama: Melaksanakan puasa Arofah. Dari Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
 
“Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.”[HR. Muslim no. 1162]
(2) Kedua: Menjaga anggota badan dari hal-hal yang diharamkan pada hari tersebut.
(3) Ketiga: Memperbanyak syahadat tauhid, keikhlasan dan kejujuran pada hari tersebut karena semuanya tadi adalah asas agama ini yang Allah sempurnakan pada hari Arofah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri sering memperbanyak hal-hal tadi dan beliau menyebutkannya setelah menyebutkan bahwa do’a pada hari Arofah adalah sebaik-baik do’a. Disebutkan dalam hadits,

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
 
“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan
“Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli sya-in qodiir (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Miliki-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu)”.”[HR. Tirmidzi no. 3585]
(4) Keempat: Memerdekakan seorang budak jika mampu. Karena barangsiapa yang memerdekakan seorang budak mukmin, maka Allah akan membebaskan anggota tubuhnya dari api neraka karena anggota tubuh budak yang ia merdekakan.
(5) Kelima: Memperbanyak do’a ampunan dan pembebasan dari api neraka ketika itu karena hari Arofah adalah hari terkabulnya do’a. Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ
 
“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah.”[HR. Tirmidzi no. 3585]
Dan untuk mendapatkan pembebasan dari api neraka dan pengampunan dosa, hendaklah pula dijauhi segala dosa yang dapat menghalangi dari mendapatkan ampunan. Di antara yang harus dijauhi adalah;
Pertama: Sifat sombong dan takabbur. Allah Ta’ala berfirman,

وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُور
 
“Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al Hadid: 23)
Sebagaimana pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ
 
“Allah tidak akan memandang siapa saja yang menjulurkan celananya (di bawah mata kaki) dengan sombong.”[HR. Bukhari no. 5783]
Kedua: Tidak terus menerus dalam melakukan dosa-dosa besar (al kaba-ir).[Lihat Latho-if Al Ma’arif, 493-496]
Itulah yang dinasehatkan oleh Ibnu Rajab agar seseorang bisa mendapatkan ampunan dan pembebasan dari api neraka pada hari Arofah.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendapatkan ampunan dan pembebasan dari api neraka pada hari tersebut.
Ya Allah, terimalah setiap amalan kami di hari Arofah yang mulia ini dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mendapatkan pengampunan dosa dan pembebasan dari api neraka. Sesungguhnya engkau Maha Mengijabahi setiap do’a-do’a kami.
Amalan di Hari Wukuf kepada bukan jemaah Haji
Kelebihan Hari Arafah tidak hanya terhad kepada jemaah haji yang berada di Tanah Suci, malah kelebihan itu turut dapat dinikmati umat Islam yang tidak mengerjakan ibadat haji.
Sehubungan itu, umat Islam dianjurkan berpuasa pada sembilan hari pertama dalam bulan Zulhijah, terutama pada Hari Arafah. Tidak diragui lagi bahawa puasa adalah amalan yang afdal di sisi Allah SWT berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w,
“Berpuasa pada Hari Arafah dinilai di sisi Allah sebagai penghapus dosa bagi setahun yang sebelumnya dan yang selepasnya”. (Hadis Muslim).
Selain berpuasa, umat Islam digalakkan memperbanyakkan amalan salih seperti solat sunat tahajud, bersedekah, membaca al-Quran dan menyeru kepada makruf dan mencegah kemungkaran. Perlu diinsafi bahawa setiap amalan yang dilakukan pada hari-hari berkenaan akan digandakan ganjaran pahalanya oleh Allah SWT.
Ibnu Abbas pernah menceritakan bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda,
“Tiada suatu hari pun amalan kebaikan padanya mempunyai kelebihan melainkan pada sepuluh hari pertama bulan Zulhijah. Sahabat bertanya, “Adakah itu termasuk juga berjihad pada jalan Allah?”. Jawab Baginda, “Tidak termasuk berjihad pada jalan Allah melainkan orang yang keluar dengan seluruh jiwa raganya dan tidak membawa pulang apa-apa pun”. (Hadis Bukhari)
Dalam hadis lain, Rasulullah s.a.w. juga bersabda,
“Tiada suatu hari pun dalam setahun yang amalan kebaikan padanya mempunyai kelebihan melainkan pada sepuluh hari pertama bulan Zulhijah. Oleh itu, hendaklah kamu memperbanyakkan zikir, tahlil, takbir dan tahmid”. (Hadis Ahmad).
Pada hari Arafah, setiap jemaah haji dari seluruh pelusuk dunia akan melaksanakan satu rukun haji iaitu berwukuf di Padang Arafah. Amalan wukuf adalah satu perhimpunan besar manusia dengan bahang terik mentari di Padang Arafah, tiada daya dan upaya melainkan mereka semuanya mengharapkan keredaan Ilahi. Perhimpunan jutaan manusia itu melambangkan perhimpunan besar yang bakal dihadapi setiap manusia untuk dihisab segala amalan diri di Padang Mahsyar kelak.
Oleh itu, setiap insan wajib muhasabah diri dan juga bertaubat terhadap segala dosa sebelum Allah pamerkan segala dosa tersebut di hadapan jutaan manusia di Padang Mahsyar itu.
Dari sudut sejarahnya, ada pendapat yang mengatakan bahawa perkataan Arafah itu berasal dari pertemuan kembali Nabi Allah Adam dan isterinya Siti Hawa yang diturunkan ke bumi secara berasingan dan akhirnya mereka bertemu kembali di lembah yang dikenali sekarang dengan Padang Arafah. Ada juga ulama yang me-nyatakan bahawa ia berasal dari peristiwa pertemuan Nabi Allah Ibrahim dengan isterinya Siti Hajar dan anaknya, Nabi Allah Ismail AS yang lama berpisah.
Sebahagian ulama pula berpendapat perkataan Arafah itu adalah hasil pemahaman Nabi Ibrahim yang menghayati perintah Allah SWT yang tersirat di dalam mimpinya untuk menyembelih puteranya Nabi Ismail. Oleh kerana itulah, hari Wukuf di Arafah juga dikenali sebagai hari Tarwiyah yang bermaksud hari renungan. Dikisahkan, Nabi Ibrahim sentiasa merenung dan mengimbas kembali mimpinya berturut-turut dan akhirnya Baginda faham (Arafa) maksud mimpi dan terus melaksanakan mimpi berkenaan.
Selanjutnya, perhimpunan secara besar-besaran di Padang Arafah menyaksikan suatu jalinan kemas persaudaraan Islam dan juga kesatuan ummah yang utuh agar mereka bersatu teguh dan bersemangat padu dalam meneruskan kesinambungan Islam untuk bertapak di atas bumi Allah ini, bahkan juga meneruskan tradisi kecemerlangan Islam yang telah dirintis oleh generasi Rasulullah s.a.w. dan sahabat-sahabat serta generasi selepasnya.
Tambahan pula, jalinan yang terbina atas paksi ketakwaan ini dengan pakaian ihram yang sama putih, tanpa mengira kedudukan dan pangkat seseorang, umat Islam melupakan segala prejudis perkauman atau kebangsaan, warna kulit, taraf kedudukan, kekeluargaan dan sebagainya.
Semuanya ini adalah untuk menyedarkan umat manusia bahawa mereka semua pada hakikatnya adalah sama rata di sisi Allah dan mereka semuanya pada hakikatnya berasal daripada tanah.
Begitulah antara kelebihan yang terhampar pada sepuluh hari Zulhijjah yang sewajarnya direbut setiap Muslim yang benar-benar bertakwa kepada Allah SWT. Muslim yang beriman akan sentiasa mengintai peluang keemasan yang disediakan Allah SWT pada sepanjang masa dan seterusnya memanfaatkannya demi meraih keredaan-Nya dan kebahagiaan abadi di akhirat kelak. Muslim yang paling bijaksana di sisi Allah SWT ialah seorang Muslim yang sentiasa bermuhasabah diri dan beramal untuk hari kemudian.
Kita perlu menghayati ‘roh haji’ walaupun tidak ke Tanah Suci supaya beroleh ganjaran yang disarankan pada 10 hari pertama bulan Zulhijjah. Allah Yang Maha adil dan Maha Penyayang tetap mahu seluruh umat Islam dapat manfaat di atas keutamaan jemaah yang telah dijemput khusus di Tanah Suci.
Kepada yang tidak dapat ke sana, Allah tidak pernah melupakan. Kita tetap diberi keutamaan. Kita masih tetap dituntut oleh Allah SWT supaya menghayati ‘roh haji’, kerana Allah tetap mahu mengurniakan pahala dan rahmat-Nya dengan syarat kita kekal mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Bagaimana caranya?
Puasa hari ‘Arafah ialah puasa sunat pada hari kesembilan Zulhijjah yang disunatkan bagi mereka yang tidak melakukan ibadah haji. Kelebihan berpuasa pada hari ini ialah ia dapat menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah lalu dan dosa setahun yang akan datang, sebagaimana hadith yang telah diriwayatkan daripada Abu Qatadah al-Anshari ra:
Dan Rasulullah SAW ditanya tentang berpuasa di hari ‘Arafah. Maka Baginda bersabda: “Ia menebus dosa setahun yang telah lalu dan setahun yang akan datang.” (Hadith Riwayat Imam Muslim)
Manakala bagi mereka yang melakukan ibadah haji pula adalah disunatkan untuk tidak berpuasa pada hari ‘Arafah dan adalah menyalahi perkara yang utama jika mereka berpuasa juga pada hari itu berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Ummu al-Fadhl binti al-Harith:
Ramai di kalangan sahabat Rasulullah SAW yang ragu-ragu tentang berpuasa pada hari ‘Arafah sedangkan kami berada di sana bersama Rasulullah SAW, lalu aku membawa kepada Baginda satu bekas yang berisi susu sewaktu Baginda berada di ‘Arafah lantas Baginda meminumnya. (Hadith Riwayat Imam Muslim)
Juga daripada hadith yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra:
Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang berpuasa pada Hari ‘Arafah bagi mereka yang berada di ‘Arafah. (Hadith Riwayat Abu Dawud dan an-Nasa’ie; at-Thabrani dari Aisyah rha) ‎
Disunatkan juga berpuasa pada hari ke 8 Zulhijjah di samping berpuasa pada hari ‘Arafah (9 Zulhijjah) sebagai langkah berhati-hati yang mana kemungkinan pada hari ke 8 Zulhijjah itu adalah hari yang ke 9 Dzulhijjah (Hari ‘Arafah). Bahkan adalah disunatkan berpuasa lapan hari, iaitu dari hari yang pertama bulan Zulhijjah hingga ke hari yang kelapan sama ada bagi orang yang mengerjakan haji atau tidak mengerjakan haji, bersama-sama dengan hari ‘Arafah.
Diriwayatkan dari Ibn Abbas ra:
Rasulullah SAW bersabda: “Tiada amal yang soleh yang dilakukan pada hari-hari lain yang lebih disukai daripada hari-hari ini (sepuluh hari pertama dalam bulan Zulhijjah).” (Hadith Riwayat al-Bukhari)
Dalam hadith yang lain yang diriwayatkan dari Hunaidah bin Khalid, dari isterinya, dari beberapa isteri Nabi SAW:
Sesungguhnya Rasulullah SAW melakukan puasa sembilan hari di awal bulan Zulhijjah, di hari ‘Asyura dan tiga hari di setiap bulan iaitu hari Isnin yang pertama dan dua hari Khamis yang berikutnya. (Hadith Riwayat Imam Ahmad dan an-Nasa’ie)
Adapun berpuasa pada hari Aidiladha (10 Zulhijjah) dan hari-hari Tasyrik (11, 12 dan 13 Zulhijjah) adalah diharamkan berdasarkan hadith yang diriwayatkan dari Umar ra:
Bahawasanya Rasulullah SAW melarang berpuasa pada dua hari, iaitu ‘Eid al-Adha dan ‘Eid al-Fitr. (Hadith Riwayat Imam Muslim, Ahmad, an-Nasa’ie, Abu Dawud)
Serta hadith yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra:
Rasulullah SAW telah mengirimkan Abdullah Ibn Huzhaqah untuk mengumumkan di Mina: “Kamu dilarang berpuasa pada hari-hari ini (hari tasyrik). Ia adalah hari untuk makan dan minum serta mengingati Allah.” (Hadith Riwayat Imam Ahmad, sanadnya hasan)‎
Al-Imam as-Syaf’ie rh berpendapat; “Disunatkan puasa pada hari ‘Arafah bagi mereka yang tidak mengerjakan ibadah haji. Adapun bagi yang mengerjakan ibadah haji, adalah lebih baik untuknya berbuka agar ia kuat berdoa di ‘Arafah.” Dari pendapat Imam Ahmad rh pula; “Jika ia sanggup berpuasa maka boleh berpuasa, tetapi jika tidak hendaklah ia berbuka, sebab hari ‘Arafah memerlukan kekuatan (tenaga).”
Begitu juga dengan para sahabat yang lain, lebih ramai yang cenderung untuk tidak berpuasa pada hari ‘Arafah ketika mengerjakan ibadah haji
Ulama Syafi’iyyah membenarkan untuk berpuasa pada hari Tasyrik hanya untuk keadaan tertentu seperti bersumpah, qadha puasa di bulan Ramadhan serta puasa kifarah (denda). Puasa tanpa sebab tertentu pada hari-hari ini (puasa sunat) adalah ditegah.
Doa arafah bukan sahaja baik dibaca oleh jemaah haji tetapi untuk seluruh manusia walaupun tidak berada di Padang Arafah. Berdoa-doalah di mana jua, kita hanya menyatakan permohonan kita kepada Allah,hak menunaikan adalah hak Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kita nyatakan dan apa yang kita rahsiakan. Allah Maha Mengetahui segala hajat yang ada dihati kita, maka mohonlah agar disampaikan hajat itu.
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang-orang yang berdoa apabila Dia berdoa kepadaku. Hendaklah mereka itu memenuhi perintahKu dan beriman kepadaKu, agar mereka memperoleh kebenaran. (Surah Al-Baqarah ayat 186)
Satu-satunya doa dimakbulkan Allah pada masa dan tempat tertentu adalah Padang Arafah. Ketikanya ialah selepas gelincir matahari 9 Zulhijjah sehingga sebelum terbit Fajar 10 Zulhijjah.
Ini satu-satu kelebihan yang Allah kurniakan kepada hambaNya.‎