DALAM bulan Ramadhan kita harus menahan diri dari hal-hal yang dapat
membatalkan puasa, bukan hanya menahan makan dan minum, tapi juga harus
bisa mengontrol syahwat kita. Apalagi dengan kehidupan rumah tangga,
pasangan suami istri harus saling menjaga satu sama lainnya.
Tidak mengapa suami bermesraan dengan isterinya, atau isteri mengucapkan
kata-kata mesra kepada sang suami saat puasa, dengan syarat keduanya
merasa aman tidak keluar mani (akibat perbuatan tersebut). Jika keduanya
tidak merasa aman dari keluarnya mani, seperti orang yang hasrat
seksualnya tinggi dan dia khawatir apabila bermesraan dengan isterinya
akan batal puasanya akibat keluar mani, maka tidak boleh baginya
perbuatan itu, karena akan menyebabkan rusaknya puasa. Demikian pula
halnya jika dia khawatir keluar mazi.
Bercumbu dengan istri ketika puasa adalah perkara yang diperbolehkan,
namun bagaimanakah jika pada saat bercumbu dengan pasangan ternyata
sampai keluar mani?
Bercumbu atau Mubasyaroh yang membatalkan puasa adalah dengan
bersentuhan seperti ciuman tanpa ada pembatas, atau bisa pula dengan
mengeluarkan mani lewat tangan (onani). Sedangkan jika keluar mani tanpa
bersentuhan seperti keluarnya karena mimpi basah atau karena imajinasi
lewat pikiran, maka tidak membatalkan puasa.
Adapun Di antara dalilnya adalah:
Pertama, dari Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan:
كان رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُقَبِّلُ وهُو صَائِمٌ وَيُباشِر وَهُو صَائِمٌ ولَكِنَّه كَان أَملَكَكُم لأَرَبِه
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium dan bercumbu dengan
istrinya ketika puasa, namun beliau adalah orang yang paling kuat
menahan nafsunya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Kedua, dalam riwayat yang lain, Aisyah juga mengatakan:
كان رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُقَبِّلُني وهُو صَائِمٌ وأنا صائمة
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menciumku ketika beliau
sedang berpuasa dan aku juga berpuasa.” (Abu Daud dengan sanad sesuai
syarat Bukhari)
Ketiga, Dalam hadis Ummu Salamah juga menyebutkan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menciumnya ketika beliau sedang puasa (HR.
Bukhari)
Pemahaman dan Kesimpulan Hadits;
- Masalah jimak di siang hari Ramadan bagi orang yang terkena
kewajiban puasa, sudah disepakati hukumnya haram dan membatalkan puasa
dengan ketentuan khusus yang akan dibahas dalam hadits berikutnya.
- Akan tetapi, terkait dengan hukum mencium isteri atau
mencumbunya selain jimak. Para ulama berbeda pendapat. Ada yang
berpendapat bahwa hukumnya makruh secara mutlak, adapula yang mengatakan
haram secara mutlak, adapula yang menyatakan mubah (boleh) secara
mutlak. Akan tetapi, pendapat yang dikuatkan adalah merinci berdasarkan
kondisi pelakunya, yaitu jika orang yang melakukannya memiliki hasrat
yang tinggi dan mudah terangsang, maka makruh baginya mencium isterinya
saat puasa, seperti pasangan muda atau orang yang baru menikah. Akan
tetapi bagi yang tidak mudah terangsang, maka hal tersebut dibolehkan
baginya.
Hal ini berdasarkan perkataan Aisyahradhiallahu anha; وَلَكِنَّهُ
أَمْلَكُكُمْ ِلإِرْبِهِ (akan tetapi dia adalah orang yang paling mampu
menahan keinginannya di antara kalian) yang menunjukkan bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah orang yang paling dapat
menjaga keinginannya.
Sebagian ulama menganggap bahwa perkataan Aisyah radhiallahu anha
menunjukkan kekhususan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam
masalah ini. Karena hanya beliaulah yang dapat mengendalikan hawa
nafsunya. Yang lain berpendapat bahwa perkataan Aisyah menunjukkan
kebolehan bagi siapa saja yang dapat mengendalikan syahwatnya dan
larangan bagi siapa saja yang tidak dapat mengendalikan syahwatnya.
- Pendapat kedua ini lebih dikuatkan karena tidak petunjuk jelas yang
menunjukkan hal tersebut sebagai kekhususan Rasulullah shalallahu alaihi
wa sallam. Disamping, pada kenyataannya memang ada orang yang dapat
mengendalikan syahwatnya dan ada yang tidak. Juga berdasarkan riwayat
bahwa Umar bin khattab yang pernah mengadu kepada Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bahwa dia mencium isterinya saat berpuasa, maka beliau
mengatakan bahwa hal itu tidak apa-apa, seperti orang yang berkumur
saat berpuasa. (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Al-Arna'uth)
- Diluar perdebatan itu, tentu saja menghindari perbuatan ini, mencium
dan mencumbu, lebih utama dan lebih terjaga dari hal-hal yang dapat
merusak puasa.
- Diperdebatkan pula terkait dengan hadits ini, apakah mencium
atau mencumbu isteri dapat membatalkan puasa atau tidak. Sebagian
berpendapat bahwa mencium isteri saat berpuasa membatalkan secara
mutlak, dia harus mengqadha puasa hari itu setelah Ramadan. Sedangkan
yang lainnya berpendapat bahwa mencium dan mencumbu, selagi tidak keluar
mani, maka hal tersebut tidak membatalkan puasa. Pendapat terakhir ini
yang dikuatkan sebagian ulama. Kurang lebih, landasan pendapat dan
argumentasinya merujuk kepada hadits di atas.
- Terkait dengan masalah keluar mani, para ulama membedakan
masalahnya. Jika seseorang mengalami keluar mani karena perbuatan yang
disengaja secara sadar seperti mencium, mencumbu, masturbasi, memandang
terus menerus, dan semacamnya, maka jumhur ulama berpendapat bahwa hal
tersebut membatalkan puasa. Dia harus mengqadha puasa hari itu. Namun
tidak diwajibkan membayar kafarat sebagaimana halnya orang yang
berjimak.
- Adapun jika akibat perbuatan tersebut keluar mazi saja, para
ulama berbeda pendapat. Sebagian menyatakan batal puasanya, sebagian
lainnya menyatakan tidak. Pendapat terakhir (tidak membatalkan)
dikuatkan oleh sejumlah ulama termasuk di antaranya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiah dan Al-Lajnah Da'imah dalam fatwanya (9222) juga menyatakan
demikian.
- Di luar itu, dia harus bertaubat atas tindakannya yang dapat
merusak atau mengurangi pahala puasanya . Juga hendaknya bertaubat jika
pebuatan yang dilakukan termasuk perkara yang diharamkan seperti
masturbasi.
- Adapun jika keluar mani tanpa perbuatan yang disengaja dan
disadari, seperti mimpi junub di siang hari Ramadan, atau memandang
sekilas tanpa diulangi lalu timbul syahwat hingga keluar mani. Maka
keluar mani seperti ini tidak membatalkan puasa. Hanya saja orang
tersebut wajib mandi junub untuk melakukan ibadah shalat dan lainnya.
Sementara syarat tidak boleh keluar mani adalah hadis yang menyebutkan
keutamaan puasa. Dalam hadis tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutkan sifat orang yang berpuasa, dia tinggalkan makanan, minuman,
dan syahwatnya, dalam hadis qudsi tersebut Allah berfirman:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ: فَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى
سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ، إِلَّا الصِّيَامَ هُوَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ،
إِنَّهُ يَتْرُكُ الطَّعَامَ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي
“Semua amal Ibnu Adam itu miliknya, dan setiap ketaatan dilipatkan
sepuluh kali sampai 700 kali. Kecuali puasa, yang itu milik-Ku dan aku
sendirilah yang akan membalasnya. Dia tinggalkan makanan dan syahwatnya
karena-Ku.” (HR. Ad-Darimi, At-Thabrani, Ibnu Khuzaimah, dll)
Allah sifati orang yang berpuasa adalah orang yang meninggalkan
syahwatnya. Artinya jika dia sampai keluar mani ketika mencumbu istrinya
maka dia telah menunaikan syahwatnya, sehingga puasanya batal.
Semakna dengan hadis ini adalah riwayat dari Jabir bin Abdillah
radhiallahu ‘anhuma bahwa Umar bin Khothab radhiallahu ‘anhu, beliau
mengatakan:
هَشَشتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا
فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ
“Suatu hari nafsuku bergejolak maka aku-pun mencium (istriku) padahal
aku puasa, kemudian aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Aku berkata: Aku telah melakukan perbuatan yang berbahaya pada hari ini,
aku mencium sedangkan aku puasa. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتُ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ
“Apa pendapatmu kalau kamu berkumur dengan air padahal kamu puasa?” Aku
jawab: Boleh. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Lalu kenapa mencium bisa membatalkan puasa?” (HR. Ahmad dan
dishahihkan Syu’aib Al Arnauth)
Dalam hadis Umar di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
meng-qiyaskan (analogi) antara bercumbu dengan berkumur. Keduanya
sama-sama rentan dengan pembatal puasa. Ketika berkumur, orang sangat
dekat dengan menelan air. Namun selama dia tidak menelan air maka
puasanya tidak batal. Sama halnya dengan bercumbu. Suami sangat dekat
dengan keluarnya mani. Namun selama tidak keluar mani maka tidak batal
puasanya.
Pendapat Para Ulama
Muhammad Al Hishni rahimahullah berkata, “Termasuk pembatal jika
mengeluarkan mani baik dengan cara yang haram seperti mengeluarkan mani
dengan tangan sendiri (onani) atau melakukan cara yang tidak haram
seperti onani lewat tangan istri atau budaknya.” Lalu beliau katakan
bahwa bisa dihukumi sebagai pembatal karena maksud pokok dari hubungan
intim (jima’) adalah keluarnya mani. Jika jima’ saat puasa diharamkan
dan membuat puasa batal walau tanpa keluar mani, maka mengeluarkan mani
seperti tadi lebih-lebih bisa dikatakan sebagai pembatal. Juga beliau
menambahkan bahwa keluarnya mani dengan berpikir atau karena ihtilam
(mimpi basah) tidak termasuk pembatal puasa. Para ulama tidak berselisih
dalam hal ini, bahkan ada yang mengatakan sebagai ijma’ (konsensus
ulama).” (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 251).
Al Baijuri menyebutkan bahwa keluarnya madzi tidak membatalkan puasa
walau karena bercumbu. (Lihat Hasyiyah Al Baijuri, 1: 560).Sementara
menurut Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho berkata, “Diharamkan mencium
pasangan saat puasa Ramadhan bagi yang tinggi syahwatnya karena hal ini
dapat mengantarkan pada rusaknya puasa. Sedangkan bagi yang syahwatnya
tidak bergejolak, maka tetap lebih utama ia tidak mencium pasangannya.”
(Lihat Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 344).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa bercumbu dengan
istri diperbolehkan ketika puasa dengan syarat tidak sampai keluar mani,
karena jika keluar mani maka akan membatalkan puasa. Oleh karena itu,
untuk pasangan yang memiliki syahwat yang tinggi maka hindari bercumbu
saat puasa, karena dikhawatirkan akan merusak puasanya. Sehingga untuk
kehati-hatian, alangkah lebih baik jika kita tetap bersabar ‘melakukan
itu’ sampai waktu berbuka puasa tiba. Waallahu’alam.
Adapun keadaan yang pertama (tidak sampai menjadikannya keluar mani
atau madzi), Ulama telah berbeda pendapat dalam hukum orang tersebut,
dalam beberapa pendapat:
Pertama, Puasanya tidak menjadi batal. Dan dia diperbolehkan melakukan
hubungan semisal mencium dan menggauli istrinya namun tidak sampai
melakukan jima’.
Pendapat ini adalah pendapat Aisyah, Umar bin al-Khaththab, Abu Sa’id
al-Khudri, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Hudzaifah,
Ali bin Abi Thalib, Ummu Salamah, Atikah, Ikrimah, al-Hasan al-Bashri,
Abu Salamah bin Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’id bin Jubair,
asy-Sya’bi dan Masruq.
Dalil sandaran pendapat ini adalah beberapa dalil dari sunnah, diantaranya,
Hadist Aisyah -radhiallahu ‘anha-, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mencium dan berhubungan dengan istri beliau,
disaat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang menjalankan
puasa. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang
paling sanggup mengendalikan dirinya.”
(HR. al-Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 777)
Dan juga hadits dari Aisyah -radhiallahu ‘anha-, beliau mengatakan,
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian dari
istri beliau disaat beliau sedang berpuasa.”
(HR. al-Bukhari no. 1928)
Dan hadits Hafshah -radhiallahu ‘anha-, beliau berkata, “Adalah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium -istrinya- disaat
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berpuasa.”
(HR. Muslim no. 1107, an-Nasa`i 2/502 dan Ibnu Majah no. 1685)
Dan Masruq meriwayatkan bahwa dia bertanya kepada Aisyah
-radhiallahu ‘anha-, “Apakah yang diperbolehkan bagi seorang
laki-laki terhadap istrinya disaat dia sedang berpuasa?”
Aisyah menjawab, “Segala sesuatu -dibolehkan- selain jima’.”
(HR. Abdurrazzaq 4/ no. 8439 dan Ibnu Abi Syaibah 3/63)
Dan dari Atha` bin Yasar dari seseorang dari kaum Anshar, bahwa dia
mengabarkan kepadanya, “Bahwa dia telah mencium istrinya di zaman Nabi r
sementara dia tengah berpuasa. Lalu dia menyuruh istrinya agar bertanya
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Rasulullah melakukan hal itu.”
Istri orang tersebut lalu mengabarkan sabda beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepadanya. Maka suaminya berkata, “Sesungguhnya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diberi keringanan pada
beberapa hal. Kembalilah dan tanyakan hal itu kepada beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam.”
Istrinya lalu kembali menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan menyebutkan perkataan suaminya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saya adalah
yang paling bertakwa diantara kalian dan yang paling mengetahui akan
hukum-hukum Allah.”
(HR. Abdurrazzaq 4/184)
Zhahir hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah melakukan hal tersebut, yakni mencium dan
menggauli istrinya selain jima’.
Dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan
pembolehan, sedangkan klaim pengkhususan hanya pada diri Nabi r
juga terbantahkan dengan hadits yang diriwayatkan dari Atha` bin Yasar
dari seseorang sahabat Anshar.
Kedua, bahwa hubungan tersebut menggugurkan puasanya.
Pendapat ini adalah mazhab ulama Malikiyah dan Hanafiyah. Serta
diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, Ibnu Umar, Ali bin Abi Thalib,
Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Abu Qilabah, Ibnu al-Hanafiyah, Abu Rafi’,
Masruq dan Ibnu Syabramah.
Mereka berdalilkan dengan beberapa dalil, diantaranya; Firman Allah ta’ala,
“Dan sekarang gaulilah mereka dan carilah segala yang Allah
telah haruskan bagi kalian. Dan makan dan minumlah kalian
hingga menjadi jelas bagi kalian benarng putih dari benang hitam
dari fajar. Setelah itu sempurnakanlah puasa hingga waktu malam.”
(al-Baqarah: 187)
Dan hadits Jabir bin Abdullah, dimana disebutkan bahwa Umar bin
al-Khaththab berkata, “Saya telah terbawa luapan gembira hingga mencium
istriku sedangkan saya sedang berpuasa. Maka saya bertanya,
“Wahai Rasulullah, saya telah melakukan sebuah dosa besar pada hari
ini, saya telah mencium istriku, sedangkan saya sedang berpuasa.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bagaimanakah
pendapat anda jika anda berkumur-kumur dengan air disaat anda sedang
berpuasa?”
Saya menjawab, “Tidak mengapa.” Beliau bersabda, “Lalu ada gerangan apa -dengan mencium istri- !?”
(HR. Abu Dawud no. 2385, Ahmad 1/21, 215, ad-Darimi no. 1724 dan Ibnu Khuzaimah no. 1999)
Dan juga dengan atsar Umar bin al-Khaththab, beliau berkata, “Saya
melihat berjumpa dengan Rasulullah di saat saya mimpi di malam hari dan
beliau sama sekali tidak menoleh kepadaku. Lantas saya berkata, “Wahai
Rasulullah, ada apakah denganku?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bukankah engkau telah mencium istrimu disaat engkau sedang berpuasa?”
Maka saya berkata, “Demi yang mengutus Anda dengan kebenaran,
saya tidak akan mencium istriku lagi setelah itu disaat saya berpuasa.”
(Disebutkan oleh Ibnu Hazm didalam al-Muhalla 4/342)
Ketiga, bahwa hubungan tersebut suatu yang makruh, secara mutlak.
Pendapat ini merupakan pendapat Imam Malik, dan juga diriwayatkan dari
Sa’id bin al-Musayyab, an-Nakha’i, Abdullah bin al-Mughaffal,
Sa’id bin Jubair, Urwah dan dari Ibnu Abbas.
Argumen yang dijadikan sandaran oleh ulama yang mengemukakan pendapat
ketiga ini adalah hadits-hadits pada bab permasalahan ini. Dan mereka
menempuh metode penyelarasan antara hadits-hadits itu, bahwa
kesemuanya menunjukkan hukum makruh. Wallahu a’lam.
Keempat, bahwa hubungan tersebut diperbolehkan bagi seorang yang telah berusia lanjut dan makruh bagi yang masih remaja.
Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, Ibnu Abbas, Abu
Hurairah, Ibnu Umar, Makhul, asy-Sya’bi, Atha` bin Rabah dan az-Zuhri.
Adapun argumentasi ulama pada pendapat yang keempat ini, adalah hadits
yang diriwayatkan dari Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu, beliau
berkata, “Bahwa seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang menggauli istri bagi seorang yang sedang berpuasa, maka
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan baginya.
Kemudian datang seorang lainnya yang menanyakan hal yang sama,
namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.
Dan ternyata yang mendapatkan keringanan adalah seorang yang
telah berusia lanjut, sedangkan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam larang adalah seorang pemuda.”
(HR. Abu Dawud no. 2387)
Dan atsar Ibnu Abbas -radhiallahu ‘anhuma- bahwa beliau ditanya tentang
hukum mencium istri bagi seorang yang sedang berpuasa?Lalu
beliau memberi keringanan bagi yang telah berusia lanju dan membencinya
bagi seorang pemuda.
(HR. Malik didalam al-Muwaththa` 1/93)
Kelima, bahwa hubungan tersebut adalah kekhususan bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalil yang dijadikan sandaran pada pendapat ini adalah hadits ‘Amru bin
Abi Salamah bahwa dia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, bolehkah seseorang mencium istrinya ketika sedang
berpuasa?
Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallamr bersabda kepadanya,
“Tanyakanlah kepadanya -yaitu kepada Ummu Salamah-.” Maka Ummu Salamah
mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan hal itu.
‘Amru bin Abi Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, dosa-dosa anda yang terdahulu dan yang akan datang telah terampuni.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamr bersabda kepadanya,
“Adapun hal tersebut, demi Allah, sesungguhnya saya adalah yang
paling bertakwa kepada Allah diantara kalian dan yang paling takut
kepada Allah diantara kalian.” (Telah disebutkan sebelumnya)
Dan juga dengan hadits Atha` bin Yasar terdahulu.
Keenam, bahwa bagi seseorang yang dapat menahan diri dan syahwatnya maka
berciuman dan berhubungan dengan istri selain jima’ diperbolehkan
baginya. Sedangkan bagi yang tidak dapat menguasai dirinya, hal semacam
itu tidak diperbolehkan.
Pendapat ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Imam asy-Syafi’i.
Mereka berargumen dengan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu- yang
telah disebutkan sebelumnya, tentang seseorang yang bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hukum menggauli
istri bagi seorang yang sedang berpuasa, yang kemudian beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringana kepadanya. Dan
seorang lainnya menanyakan hal yang sama, namun beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam melarangnya. Dan ternyata yang diberi keringanan
adalah seorang yang telah berusia lanjut, sedangkan yang beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang adalah seorang pemuda.
Mereka mengatakan, dikarenakan seorang yang berusia lanjut,
syahwatnya telah berkurang, dan dapat mengendalikan dirinya untuk tidak
tergelincir pada hal yang terlarang, berbeda halnya dengan seorang
pemuda.
Pendapat yang rajih/lebih tepat -insya Allah- adalah pendapat yang
pertama. Bahwa mencium disaat seseorang sedang mengerjakan puasa
tidaklah sampai membatalkan ibadah puasa dan tidak ada kaffarah baginya
dan juga tidak diharuskan mengqadha`. Baik yang melakukannya adalah
seorang yang telah berusia lanjut maupun masih seorang pemuda, baik dia
dapat mengontrol dirinya ataupun tidak, selama dia tidak melakukan
jima’.
(hubungan intim) pada kemaluan istrinya. Pendapat ini yang didukung oleh dalil-dalil syara’.
Adapun ulama yang berpendapat bahwa hal tersebut makruh, hadits-hadits
yang ada pada bab ini adalah sanggahan terhadap pendapat
tersebut.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya, dan
tidaklah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan suatu perbuatan
yang terbenci (makruh).
Sedangkan ayat yang dijadikan sandaran oleh ulama yang
menghukumi batalnya puasa karena mencium dan menggauli istri selain
jima’, ayat tersebut bukanlah dalil bagi pendapat ini. Dan jikalau,
inferensi ayat tersebut diandaikan sesuai pendapat ini, hal
itupun hanya sebatas menunjukkan larangan menggauli istri. Dan
kandungannya sangatlah umum. Mencakup menggauli istri hingga jima’ dan
tidak sampai melakukan jima’. Dan hadits-hadits yang shahih
diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan
maksud ayat, bahwa menggauli istri selain jima’ tidaklah sampai
membatalkan puasa.
Atsar Umar bin al-Khaththab, bahwa beliau bermimpi bertemu dengan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, … dan seterusnya.
Al-‘Allamah Ibnu Hazm -rahimahullah- telah mencela bentuk
argumen semisal ini. Beliau mengatakan, “Syariat-syariat Islam
tidaklah disadur dari mimpi. Terlebih Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah berfatwa kepada Umar disaat beliau sadar
dan Rasulullah r masih hidup, akan pembolehan mencium istri bagi
seseorang yang berpuasa. Maka termasuk kebatilan, jika hukum itu
terhapuskan hanya dengan mimpi belaka. Na’udzu billahi dari hal ini.”
Dan beliau -rahimahullah- juga mengatakan, bahwa pada sanad
atsar tersebut terdapat perawi bernama Umar bin Hamzah bahwa dia perawi
yang tidak dianggap sama sekali.
Hadist Jabir bin Abdillah, dapat dijawab sebagaimana perkataan anNawawi,
” … sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bagaimana
pendapat anda jika anda berkumur-kumur?”
Makna hadits, bahwa berkumur-kumur adalah awal mula minum. Dan
anda telah mengetahui bahwa berkumur-kumur tidaklah membatalkan
puasa, maka demikian halnya dengan mencium yang merupakan awal mula
jima’ juga tidak membatalkan puasa.”
Sedangkan ulama yang membedakan antara seorang yang telah berusia
lanjut dan seorang pemuda, yang berargumen dengan hadits Abu Hurairah,
dapatlah dijawab bahwa hadits yang menjadi sandaran hukum mereka adalah
hadits yang dha’if, pada sanadnya terdapat Abu al-‘Anbas dia perawi yang
majhul.
Imam Ibnu Hazm -rahimahullah- mengatakan, “Dan yang turut mendustakan
pendapat yang mengklaim adanya perbedaan, bahwa hal tersebut
makruh bagi pemuda dan dibolehkan bagi seorang yang telah
berusia lanjut, adalah ‘Amru bin Abi Salamah seorang yang masih remaja
dan dalam gejolak usia remaja beliau. Dimana beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam wafat dan ‘Amru bin Abi Salamah adalah anak Ummu
Salamah ummul-Mukminin. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menikahkannya denan putri Hamzah radhiallahu ‘anhu.
Dan juga telah dikemukakan sebelumnya bahwa Aisyah -radhiallahu
‘anhatelah menyuruh keponakannya untuk mencium istrinya Aisyah
binti Thalhah. Dimana keponakannya saat itu masihlah remaja.”
Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa hal tersebut berlaku
khusus hanya bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dapat
dijawab dengan hadits-hadits lainnya, semisal hadits Aisyah
-radhiallahu ‘anha- dan selainnya yang menunjukkan pembolehan hal
tersebut bagi selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka
klaim pengkhususan tersebut telah gugur dengan sendirinya.
(Lihat didalam al-Umm 2/84, al-Minhaj 3/214, al-Majmu’ 6/323,
al-Muhalla 4/334-338 no. 753, al-Mughni 4/182-183, Zaad al-Ma’ad 2/57,
al-Mawahib 3/331, Kasysyaf al-Qina’ 2/388-389, Subul as-Salam
2/877-879 dan Nail al-Authar 4/236-237)
SAMPAI MENJADIKANNYA KELUAR MANI ATAU MADZI (Tanpa Jima’)
Adapun keadaan yang kedua, jikalau hubungan intim tersebut, yakni
mencium atau menggauli istri namun tidak sampai terjadi
jima’ menyebabkan seseorang yang berpuasa tersebut mengeluarkan mani
atau madzi, apakah membatalkan puasanya atau tidak?
Terdapat dua pendapat dikalangan ulama.
Pendapat sebagian besar ulama, yang juga merupakan mazhab Imam yang
Empat, bahwa mencium dan menggauli istri selain jima’ hingga keluarnya
mani atau madzi dapat membatalkan puasa, walau mereka berbeda
pendapat hukum yang melakukan hal tersebut karena sengaja dan karena
lupa.
Mereka mengatakan, karena hal tersebut serupa dengan jima’.
Sementara telah shahih diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah
ta’ala berfirman, “Dia -seorang yang berpuasa- meninggalkan makan dan
minumnya serta syahwatnya karena mengharapkan pahala dariku.” Dan amalan
ini melazimkan adanya gejolak syahwat.
Sebagian ulama lainnya berpendapat, bahwa hal tersebut tidaklah
membatalkan puasa, baik dia melakukannya dengan niat untuk
mengeluarkan mani atau madzi ataukah tidak. Pendapat ini adalah
pendapat yang dikuatkan oleh al-Faqih Ibnu Hazm, ash-Shan’ani dan
asy-Syaukani -rahimahumullah-. Karena hukum-hukum syara’ (puasa) dalam
hal ini dikaitkan dengan jima’ semata. Dan tidak terdapat satupun
dalil dari al-Qur`an, as-Sunnah, Ijma’ dan pendapat shahabat yang
mendukung pendapat yang menyatakan batalnya puasa karena hal tersebut.
(Lihat al-Muhalla 4/masalah no. 753, al-Majmu’ 6/322-323, al-Mughni
4/182-183, Subul as-Salam 2/877-879 dan Nail al-Authar 4/236-237)
2 Atsar Ali bin Abi Thalib, diriwayatkan dari jalan
Urjufah dari Ali, beliau mengatakan, “Bagi siapa yang berbuka dengan
sengaja pada siang hari Ramadhan maka dia selamanya tidak
mengqadha`nya, sepanjang tahun, tidak sebagaimana yang mereka
katakan apabila seseorang berhubungan intim dengan istrinya pada siang
hari Ramadhan.”
(HR. Ibnu Abi Syaibah didalam al-Mushannaf 2/no. 9785)
3 Atsar Abdullah bin Mas’ud, diriwayatkan dari jalan Abdullah al-Yasykuri, dia
mengatakan, Abdullah berkata, “Barang siapa yang berbuka pada
siang hari Ramadhan dengan sengaja, tanpa -udzur- safar/bepergian jauh
atau sakit, tidaklah dia selamanya mengqadha`nya, walau dia berpuasa
setahun penuh.”
(HR. Ibnu Abi Syaibah 2/no. 9800 dan al-Baihaqi didalam as-Sunan al-Kubra 4/228)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar