Apakah Benar pada bulan Sya’ban nilai amalan kita akan di laporkan ?
Amalan harian manusia di laporkan setiap bada shubuh dan ashar, amalan
mingguannya setiap hari senin dan amalan tahunan pada bulan sya’ban
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ
حَدَّثَنَا ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ أَبُو الْغُصْنِ شَيْخٌ مِنْ أَهْلِ
الْمَدِينَةِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيُّ قَالَ
حَدَّثَنِي أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ
أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ
شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ
أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
Telah mengabarkan kepada kami [‘Amr bin ‘Ali] dari [‘Abdurrahman] dia
berkata; telah menceritakan kepada kami [Tsabit bin Qais Abu Al Ghushn] –
seorang syaikh dari penduduk Madinah – dia berkata; telah menceritakan
kepadaku [Abu Sa’id Al Maqburi] dia berkata; telah menceritakan kepadaku
[Usamah bin Zaid] dia berkata; Aku bertanya; “Wahai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, aku tidak pernah melihat engkau berpuasa
dalam satu bulan sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya’ban?” Beliau
bersabda: “Itulah bulan yang manusia lalai darinya; -ia bulan yang
berada- di antara bulan Rajab dan Ramadlan, yaitu bulan yang disana
berisikan berbagai amal, perbuatan diangkat kepada Rabb semesta alam,
aku senang amalku diangkat ketika aku sedang berpuasa.” (Nasai 2317)
Secara nilai hadis di atas adalah sahih dan diperkuat lagi dengan hadis di bawah ini :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا ثَابِتُ بْنُ
قَيْسٍ أَبُو غُصْنٍ حَدَّثَنِي أَبُو سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيُّ حَدَّثَنِي
أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ الْأَيَّامَ يَسْرُدُ حَتَّى يُقَالَ لَا
يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ الْأَيَّامَ حَتَّى لَا يَكَادَ أَنْ يَصُومَ إِلَّا
يَوْمَيْنِ مِنْ الْجُمُعَةِ إِنْ كَانَا فِي صِيَامِهِ وَإِلَّا
صَامَهُمَا وَلَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنْ شَهْرٍ مِنْ الشُّهُورِ مَا يَصُومُ
مِنْ شَعْبَانَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ تَصُومُ لَا تَكَادُ
أَنْ تُفْطِرَ وَتُفْطِرَ حَتَّى لَا تَكَادَ أَنْ تَصُومَ إِلَّا
يَوْمَيْنِ إِنْ دَخَلَا فِي صِيَامِكَ وَإِلَّا صُمْتَهُمَا قَالَ أَيُّ
يَوْمَيْنِ قَالَ قُلْتُ يَوْمُ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمُ الْخَمِيسِ قَالَ
ذَانِكَ يَوْمَانِ تُعْرَضُ فِيهِمَا الْأَعْمَالُ عَلَى رَبِّ
الْعَالَمِينَ وَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ قَالَ
قُلْتُ وَلَمْ أَرَكَ تَصُومُ مِنْ شَهْرٍ مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ
مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَاكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ
وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ يُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ
الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
Telah menceritakan kepada kami [Abdurrahman bin Mahdi], telah
menceritakan kepada kami [Tsabit bin Qais Abu Ghushn], telah
menceritakan kepadaku [Abu Sa`id Al Maqburi], telah menceritakan
kepadaku [Usamah bin Zaid] ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam berpuasa beberapa hari berturut-turut, sampai-sampai dikatakan,
beliau tidak pernah berbuka. Dan beliau juga berbuka beberapa hari
hingga hamir beliau tidak puasa kecuali dua hari dalam sepekan, yaitu
dua hari yang biasa beliau gunakan untuk berpuasa, jika tidak (berpuasa
terus menerus), maka beliau akan berpuasa dua hari itu. Dan tidaklah
beliau banyak berpuasa kecuali di bulan Sya’ban, Aku bertanya; ‘Wahai
Rasulullah, engkau berpuasa seakan-akan engkau tidak pernah berbuka dan
engkau berbuka seakan engkau tidak berpuasa kecuali dua hari saja, yaitu
Senin dan Kamis.” Beliau bersabda: “Itulah dua hari yang amalan seorang
hamba ditampakkan di hadapan Rabb semesta alam, aku senang ketika
amalanku ditampakkan, diriku sedang berpuasa.” Usamah melanjutkan;
kataku selanjutnya; “Dan kami tidak melihat engkau banyak berpusa
kecuali di bulan Sya’ban?.” Beliau bersabda: “Itulah bulan yang
orang-orang banyak yang lalai antara bulan Rajab dan Ramadhan, yaitu
bulan ditampakkannya amalan-amalan, dan aku suka ketika amalanku
diperlihatkan dihadapan Rabbku, sedangkan aku dalam keadaan berpuasa.”
(Ahmad 20758)
Pada bulan sya’ban pun Aisyah banyak mengqodo puasa ramadhan, sebagaimana dituangkan dalam hadis.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
تَقُولُ كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ
أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ قَالَ يَحْيَى الشُّغْلُ مِنْ
النَّبِيِّ أَوْ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Yunus] telah menceritakan
kepada kami [Zuhair] telah menceritakan kepada kami [Yahya] dari [Abu
Salamah] berkata; Aku mendengar [‘Aisyah radliallahu ‘anha] berkata:
“Aku berhutang puasa Ramadhan dan aku tidak bisa mengqadha’nya kecuali
pada bulan Sya’ban“. Yahya berkata: “Karena dia sibuk karena atau
bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “. (Bukhari 1814)
Diriwayatkan juga Muslim 1933, Abu Dawud 2047, Tirmidzi 714, Nasai 2280,
Ibnu Majah 1659, Malik 600, Ahmad 23781, Ahmad 23850 dan Ahmad 24289.
Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi di nomor 599
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ
حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ مُوسَى عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ سُئِلَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الصَّوْمِ أَفْضَلُ
بَعْدَ رَمَضَانَ فَقَالَ شَعْبَانُ لِتَعْظِيمِ رَمَضَانَ قِيلَ فَأَيُّ
الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ قَالَ صَدَقَةٌ فِي رَمَضَانَ قَالَ أَبُو عِيسَى
هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ وَصَدَقَةُ بْنُ مُوسَى لَيْسَ عِنْدَهُمْ بِذَاكَ
الْقَوِيِّ
Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Isma’il] telah menceritakan
kepada kami [Musa bin Isma’il] telah menceritakan kepada kami [Shadaqah
bin Musa] dari [Tsabit] bin [Anas] dia berkata, Nabi Shallallaahu
‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa yang paling utama setelah
Ramadlan, Beliau menjawab: “Bulan Sya’ban untuk memuliakan Ramadlan, ”
Beliau ditanya lagi, lalu Shadaqah apa yang paling utama? Beliau
menjawab: “Shadaqah di bulan Ramadlan.” Abu ‘Isa berkata, ini adalah
hadits gharib dan menurut ahlul hadits Shadaqah bin Musa bukanlah rawi
yang kuat.
Hadis di atas dhaif atau lemah, namun boleh kah puasa di bulan sya’ban ?
tentu saja boleh, karena di hadis lain yang shohih di atas, rasulullah
melakukan puasa di bulan tersebut. Namun ada batas waktunya, yaitu
sampai dengan tengah bulan sya’ban atau tanggal 15. Apakah haram puasa
pada tanggal setelah 15 ? misal tanggal 16 sya’ban ? jawabannya hadis
berikut :
حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ
يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ
ذَلِكَ الْيَوْمَ
Telah menceritakan kepada kami [Muslim bin Ibrahim] telah menceritakan
kepada kami [Hisyam] telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Abu
Katsir] dari [Abu Salamah] dari [Abu Hurairah radliallahu ‘anhu] dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah seorang dari
kalian mendahului bulan Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari
kecuali apabila seseorang sudah biasa melaksanakan puasa (sunnat) maka
pada hari itu dia dipersilahkan untuk melaksanakannya“. (Bukhari 1781)
Perhatikan kalimat diatas, bagi mereka yang terbiasa puasa, misal puasa
daud maka diperbolehkan untuk melanjutkan puasa setelah pertengahan
bulan sya’ban, jadi tergantung masing-masing, kalau biasa puasa maka
lanjutin, atau yang punya hutang puasa juga diperbolehkan.
Keutamaan Malam Nisfu Sya'ban
Nisfu Sya’ban berarti pertengahan bulan sya’ban. Adapun didalam sejarah
kaum muslimin ada yang berpendapat bahwa pada saat itu terjadi
pemindahan kiblat kaum muslimin dari baitul maqdis kearah masjidil
haram, seperti yang diungkapkan Al Qurthubi didalam menafsirkan firman
Allah swt :
سَيَقُولُ السُّفَهَاء مِنَ النَّاسِ مَا وَلاَّهُمْ عَن قِبْلَتِهِمُ
الَّتِي كَانُواْ عَلَيْهَا قُل لِّلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي
مَن يَشَاء إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Artinya : “Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan
berkata: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya
(Baitul Maqdis) yang dahulu mereka Telah berkiblat kepadanya?”
Katakanlah: “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; dia memberi petunjuk
kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”. (QS. Al Baqoroh :
142)
Al Qurthubi mengatakan bahwa telah terjadi perbedaan waktu tentang
pemindahan kiblat setelah kedatangannya saw ke Madinah. Ada yang
mengatakan bahwa pemindahan itu terjadi setelah 16 atau 17 bulan,
sebagaimana disebutkan didalam (shahih) Bukhori. Sedangkan Daruquthni
meriwayatkan dari al Barro yang mengatakan,”Kami melaksanakan shalat
bersama Rasulullah saw setelah kedatangannya ke Madinah selama 16 bulan
menghadap Baitul Maqdis, lalu Allah swt mengetahui keinginan nabi-Nya,
maka turunlah firman-Nya,”Sungguh kami (sering) melihat mukamu
menengadah ke langit.”. Didalam riwayat ini disebutkan 16 bulan, tanpa
ada keraguan tentangnya.
Imam Malik meriwayatkan dari Yahya bin Said dari Said bin al Musayyib
bahwa pemindahan itu terjadi dua bulan sebelum peperangan badar. Ibrahim
bin Ishaq mengatakan bahwa itu terjadi di bulan Rajab tahun ke-2 H.
Abu Hatim al Bistiy mengatakan bahwa kaum muslimin melaksanakan shalat
menghadap Baitul Maqdis selama 17 bulan 3 hari. Kedatangan Rasul saw ke
Madinah adalah pada hari senin, di malam ke 12 dari bulan Rabi’ul Awal.
Lalu Allah swt memerintahkannya untuk menghadap ke arah ka’bah pada hari
selasa di pertengahan bulan sya’ban. (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an jilid I
hal 554)
Allah berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ * فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
“Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Quran di malam yang berkah, dan
sesungguhnya Kami yang memberi peringatan. () Di malam itu diturunkan
setiap takdir dari Yang Maha Bijaksana.”(QS. Ad-Dukkhan: 3 – 4).
Diriwayatkan dari Ikrimah – rahimahullah– bahwa yang dimaksud malam pada
ayat di atas adalah malam nisfu syaban. Ikrimah mengatakan:
أن هذه الليلة هي ليلة النصف من شعبان ، يبرم فيها أمر السنة
Sesungguhnya malam tersebut adalah malam nisfu syaban. Di malam ini
Allah menetapkan takdir setahun. (Tafsir Al-Qurtubi, 16/126).
Sementara itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa malam yang disebutkan
pada ayat di atas adalah lailatul qadar dan bukan nisfu syaban.
Sebagaimana keterangan Ibnu Katsir, setelah menyebutkan ayat di atas,
beliau mengatakan:
يقول تعالى مخبراً عن القرآن العظيم أنه أنزله في ليلة مباركة ، وهي ليلة
القدر كما قال عز وجل :{ إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْر} وكان
ذلك في شهر رمضان، كما قال: تعالى: { شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزلَ
فِيهِ الْقُرْآنُ }
Allah berfirman menceritakan tentang Al-Quran bahwa Dia menurunkan kitab
itu pada malam yang berkah, yaitu lailatul qadar. Sebagaimana yang
Allah tegaskan di ayat yang lain, (yang artinya); “Sesungguhnya Kami
menurunkan Al-Quran di lailatul qadar.”Dan itu terjadi di bulan
ramadhan, sebagaimana yang Allah tegaskan, (yang artinya); “Bulan
ramadhan, yang mana di bulan ini diturunkan Al-Quran.” (Tafsir Ibn
Katsir, 7/245).
Selanjutnya Ibnu Katsir menegaskan lebih jauh:
ومن قال : إنها ليلة النصف من شعبان -كما روي عن عكرمة-فقد أبعد النَّجْعَة فإن نص القرآن أنها في رمضان
Karena itu, siapa yang mengatakan, yang dimaksud malam pada ayat di atas
adalah malam nisfu syaban – sebagaimana riwayat dari Ikrimah – maka itu
pendapat yang terlalu jauh, karena nash Al-Quran dengan tegas bahwa
malam itu terjadi di bulan ramadhan. (Tafsir Ibn Katsir, 7/246).
Dengan demikian, pendapat yang kuat tentang malam yang berkah, yang
disebutkan pada surat Ad-Dukhan di atas adalah lailatul qadar di bulan
ramadhan dan bukan malam nisfu Syaban. Karena itu, ayat dalam surat
Ad-Dukhan di atas, tidak bisa dijadikan dalil untuk menunjukkan
keutamaan malam nisfu Syaban.
Hadis seputar nisfu syaban
Terdapat beberapa hadis yang menunjukkan keutamaan nisfu syaban. Ada yang shahih, ada yang dhaif, bahkan ada yang palsu.
Berikut beberapa hadis tentang nisfu syaban yang tenar di masyarakat;
Pertama,
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا وَصُوْمُوْا
نَهَارَهَا فَإِنَّ اللهَ يَنْزِلُ فِيْهَا لِغُرُوْبِ الشَّمْسِ إِلَى
سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُوْلُ أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِيْ فَأَغْفِرَ
لَهُ أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلاَ مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ
كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Jika datang malam pertengahan bulan Sya’ban, maka lakukanlah qiyamul
lail, dan berpuasalah di siang harinya, karena Allah turun ke langit
dunia saat itu pada waktu matahari tenggelam, lalu Allah berfirman,
‘Adakah orang yang minta ampun kepada-Ku, maka Aku akan ampuni dia.
Adakah orang yang meminta rezeki kepada-Ku, maka Aku akan memberi rezeki
kepadanya. Adakah orang yang diuji, maka Aku akan selamatkan dia,
dst…?’ (Allah berfirman tentang hal ini) sampai terbit fajar.” (HR. Ibnu
Majah, 1/421; HR. al-Baihaqi dalam Su’abul Iman, 3/378)
Keterangan:
Hadits di atas diriwayatkan dari jalur Ibnu Abi Sabrah, dari Ibrahim bin
Muhammad, dari Mu’awiyah bin Abdillah bin Ja’far, dari ayahnya, dari
Ali bin Abi Thalib, secara marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam).
Hadits dengan redaksi di atas adalah hadits maudhu’ (palsu), karena
perawi bernama Ibnu Abi Sabrah statusnya muttaham bil kadzib (tertuduh
berdusta), sebagaimana keterangan Ibnu Hajar dalam At-Taqrib. Imam Ahmad
dan gurunya (Ibnu Ma’in) berkomentar tentang Ibnu Abi Sabrah, “Dia
adalah perawi yang memalsukan hadits.”[ Lihat Silsilah Dha’ifah, no.
2132]
Kedua,
Riwayat dari A’isyah, bahwa beliau menuturkan:
فقدت النبي صلى الله عليه وسلم فخرجت فإذا هو بالبقيع رافعا رأسه إلى
السماء فقال: “أكنت تخافين أن يحيف الله عليك ورسوله” فقلت يا رسول الله
ظننت أنك أتيت بعض نسائك فقال: ” إن الله تبارك وتعالى ينزل ليلة النصف من
شعبان إلى السماء الدنيا فيغفر لأكثر من عدد شعر غنم كلب
Aku pernah kehilangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian aku
keluar, ternyata beliau di Baqi, sambil menengadahkan wajah ke langit.
Nabi bertanya; “Kamu khawatir Allah dan Rasul-Nya akan
menipumu?”(maksudnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberi
jatah Aisyah). Aisyah mengatakan: Wahai Rasulullah, saya hanya menyangka
anda mendatangi istri yang lain. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:“Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada malam
nisfu syaban, kemudian Dia mengampuni lebih dari jumlah bulu domba bani
kalb.”
Keterangan:
Hadis ini diriwayatkan At-Turmudzi, Ibn Majah dari jalur Hajjaj bin
Arthah dari Yahya bin Abi Katsir dari Urwah bin Zubair dari Aisyah.
At-Turmudzi menegaskan: “Saya pernah mendengar Imam Bukhari mendhaifkan
hadis ini.” Lebih lanjut, imam Bukhari menerangkan: “Yahya tidak
mendengar dari Urwah, sementara Hajaj tidak mendengar dari Yahya.” (Asna
Al-Mathalib, 1/84).
Ibnul Jauzi mengutip perkataan Ad-Daruquthni tentang hadis ini:
“Diriwayatkan dari berbagai jalur, dan sanadnya goncang, tidak kuat.” (Al-Ilal Al-Mutanahiyah, 3/556).
Akan tetapi hadis ini dishahihkan Al-Albani, karena kelemahan dalam
hadis ini bukanlah kelemahan yang parah, sementara hadis ini memiliki
banyak jalur, sehingga bisa terangkat menjadi shahih dan diterima.
(lihat Silsilah Ahadits Dhaifah, 3/138).
Ketiga,
Hadis dari Abu Musa Al-Asy’ari, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إن الله ليطلع ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن
“Sesungguhnya Allah melihat pada malam pertengahan Sya’ban. Maka Dia
mengampuni semua makhluknya, kecuali orang musyrik dan orang yang
bermusuhan.”
Keterangan:
Hadis ini memiliki banyak jalur, diriwayatkan dari beberapa sahabat,
diantaranya Abu Musa, Muadz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al-Khusyani, Abu
Hurairah, dan Abdullah bin Amrradhiyallahu ‘anhum. Hadis dishahihkan
oleh Imam Al-Albani dan dimasukkan dalam Silsilah Ahadits Shahihah, no.
1144. Beliau menilai hadis ini sebagai hadis shahih, karena memiliki
banyak jalur dan satu sama saling menguatkan. Meskipun ada juga ulama
yang menilai hadis ini sebagai hadis lemah, dan bahkan mereka
menyimpulkan semua hadis yang menyebutkan tentang keutamaan nisfu syaban
sebagai hadis dhaif.
Sikap ulama terkait nisfu syaban
Berangkat dari perselisihan mereka dalam menilai status keshahihan
hadis, para ulama berselisish pendapat tentang keutamaan malam nisfu
Syaban. Setidaknya, ada dua pendapat yang saling bertolak belakang dalam
masalah ini. Berikut ini rinciannya:
Pendapat pertama: Tidak ada keutamaan khusus untuk malam nishfu Sya’ban.
Statusnya sama dengan malam-malam biasa lainnya. Mereka menyatakan bahwa
semua dalil yang menyebutkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah
hadis lemah. Al-Hafizh Abu Syamah mengatakan, “Al-Hafizh Abul Khithab
bin Dihyah, dalam kitabnya tentang bulan Sya’ban, mengatakan, ‘Para
ulama ahli hadis dan kritik perawi mengatakan, ‘Tidak terdapat satu pun
hadis sahih yang menyebutkan keutamaan malam nishfu Sya’ban.””
(Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’, hlm. 33)
Dalam nukilan yang lain, Ibnu Dihyah mengatakan:
لم يصح في ليلة نصف من شعبان شيء ولا نطق بالصلاة فيها ذو صدق من الرواة وما أحدثه إلا متلاعب بالشريعة المحمدية راغب في زي المجوسية
“Tidak ada satupun riwayat yang shahih tentang malam nisfu syaban, dan
para perowi yang jujur tidak menyampaikan adanya shalat khusus di malam
ini. Sementara yang terjadi di masyarakat berasal dari mereka yang suka
mempermainkan syariat Muhammad yang masih mencintai kebiasaan orang
majusi (baca: Syiah). (Asna Al-Mathalib, 1/84)
Hal yang sama juga dinyatakan oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz. Beliau
mengingkari adanya keutamaan malam nishfu Sya’ban. Beliau mengatakan,
“Terdapat beberapa hadis dhaif tentang keutamaan malam nishfu Sya’ban,
yang tidak boleh dijadikan landasan. Adapun hadis yang menyebutkan
keutamaan shalat di malam nishfu Sya’ban, semuanya statusnya palsu,
sebagaimana keterangan para ulama (pakar hadis).” (At-Tahdzir min
Al-Bida’, hlm. 11)
Pendapat kedua: Ada keutamaan khusus untuk malam nishfu Sya’ban.
Para ulama yang menilai shahih beberapa dalil tentang keutamaan nisfu
syaban, mereka mengimaninya dan menegaskan adanya keutamaan malam
tersebut. Diantara hadis pokok yang mereka jadikan landasan adalah hadis
dari Abu Musa Al-Asy’ari;
إن الله ليطلع ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن
“Sesungguhnya Allah melihat pada malam pertengahan Sya’ban. Maka Dia
mengampuni semua makhluknya, kecuali orang musyrik dan orang yang
bermusuhan.” (H.R. Ibnu Majah dan Ath-Thabrani; dinilai sahih oleh
Al-Albani)
Diantara jajaran ulama ahlus sunah yang memegang pendapat ini adalah
ahli hadis abad ini, Imam Muhammad Nasiruddin Al-Albani. Bahkan beliau
menganggap sikap sebagian orang yang menolak semua hadis tentang malam
nisfu syaban termasuk tindakan yang gegabah. Setelah menyebutkan salah
satu hadis tentang keutamaan malam nisfu syaban, Syaikh Al-Albani
mengatakan:
فما نقله الشيخ القاسمي رحمه الله تعالى في ” إصلاح المساجد ” (ص 107) عن
أهل التعديل والتجريح أنه ليس في فضل ليلة النصف من شعبان حديث صحيح، فليس
مما ينبغي الاعتماد عليه، ولئن كان أحد منهم أطلق مثل هذا القول فإنما أوتي
من قبل التسرع وعدم وسع الجهد لتتبع الطرق على هذا النحو الذي بين يديك.
والله تعالى هو الموفق
Keterangan yang dinukil oleh Syekh Al-Qosimi –rahimahullah– dalam buku
beliau; ‘Ishlah Al-Masajid’ dari beberapa ulama ahli hadis, bahwa tidak
ada satupun hadis shahih tentang keutamaan malam nisfu syaban, termasuk
keterangan yang tidak layak untuk dijadikan sandaran. Sementara, sikap
sebagian ulama yang menegaskan tidak ada keutamaan malam nisfu syaban
secara mutlak, sesungguhnya dilakukan karena terlalu terburu-buru dan
tidak berusaha mencurahkan kemampuan untuk meneliti semua jalur untuk
riwayat ini, sebagaimana yang ada di hadapan anda. Dan hanyalah Allah
yang memberi taufiq. (Silsilah Ahadits Shahihah, 3/139)
Setelah menyebutkan beberapa waktu yang utama, Syekhul Islam mengatakan,
“… Pendapat yang dipegang mayoritas ulama dan kebanyakan ulama dalam
Mazhab Hanbali adalah meyakini adanya keutamaan malam nishfu Sya’ban.
Ini juga sesuai keterangan Imam Ahmad. Mengingat adanya banyak hadis
yang terkait masalah ini, serta dibenarkan oleh berbagai riwayat dari
para shahabat dan tabi’in ….” (Majmu’ Fatawa, 23/123)
Ibnu Rajab mengatakan, “Terkait malamnishfu Sya’ban, dahulu para tabi’in
penduduk Syam, seperti Khalid bin Ma’dan, Mak-hul, Luqman bin Amir, dan
beberapa tabi’in lainnya memuliakannya dan bersungguh-sungguh dalam
beribadah di malam itu ….” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 247)
Kesimpulan:
Dari keterangan di atas, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan:
Pertama, malam nishfu syaban termasuk malam yang memiliki keutamaan. Hal
ini berdasarkan hadis, sebagaimana yang telah disebutkan. Meskipun
sebagian ulama menyebut hadis ini hadis yang dhaif, namun, insya Allah
yang lebih kuat adalah penilaian Syekh Al-Albani, yaitu bahwa hadis
tersebut berstatus sahih.
Kedua, belum ditemukan satu pun riwayat yang shahih, yang menganjurkan
amalan khusus maupun ibadah tertentu ketika nishfu Syaban, baik berupa
puasa atau shalat. Hadis shahih tentang malam nisfu syaban hanya
menunjukkan bahwa Allah mengampuni semua hamba-Nya di malam nishfu
sya’ban, tanpa dikaitkan dengan amal tertentu. Karena itu, praktek
sebagian kaum muslimin yang melakukan shalat khusus di malam itu dan
dianggap sebagai shalat malam nisfu syaban adalah anggapan yang tidak
benar.
Ketiga, Ulama berselisih pendapat tentang apakah dianjurkan menghidupkan
malam nishfu Sya’ban dengan banyak beribadah? Sebagian ulama
menganjurkan, seperti sikap beberapa ulama tabi’in yang
bersungguh-sungguh dalam ibadah. Sebagian yang lain menganggap bahwa
mengkhususkan malam nishfu Sya’ban untuk beribadah adalah bid’ah.
Keempat, Ulama yang memperbolehkan memperbanyak amal di malam nishfu
Sya’ban menegaskan bahwa tidak boleh mengadakan acara khusus, atau
ibadah tertentu, baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri, di malam
nisfu syaban, karena tidak ada amalan sunah khusus di malam nishfu
Sya’ban. Untuk itu, menurut pendapat ini, seseorang diperbolehkan
memperbanyak ibadah secara mutlak, apa pun bentuk ibadah tersebut.
Terdapat beberapa hadits dengan lafadz yang hampir sama, mulai dari
derajat hasan hingga shahih. Diantara hadits-hadits tersebut adalah ;
إذا كان ليلةُ النصفِ من شعبانَ اطَّلَع اللهُ إلى خلقِهِ فيغفر للمؤمنين ويُمْلِى للكافرين ويدعُ أهلَ الحِقْدِ بحقدِهم حتى يدعوه
“Pada malam nisfu sya’ban Alloh muncul (melihat) kepada hamba-Nya, Dia
mengampuni seluruh orang beriman dan meninggalkan orang-orang kafir
serta membiarkan pendendam dengan rasa dendamnya hingga ia
meninggalkanya.”
Hadits di atas bersumber dari Abu Tsa’labah, Al Baihaqi mengeluarkanya
dalam Syu’abul Iman (3/381 no. 3832), demikian pula Ibnu Abi Ashim
(1/244 no. 511). Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini ‘hasan’.
Semisal dengan itu juga hadits :
في ليلة النصف من شعبان يغفر الله عز وجل لأهل الأرض إلا مشرك أو مشاحن
“Pada malam nisfu sya’ban Alloh Azza wa Jalla mengampuni penduduk bumi kecuali orang musyrik dan orang suka bermusuhan.”
Hadits ini bersumber dari Katsir bin Murrah yang di riwayatkan oleh Al
Baihaqi secara mursal, dan beliau mengatakan ; “Ini hadits mursal yang
bagus”. Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ hadits no. 4268
mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Puasa Sya'ban
Bulan Sya’ban adalah bulan yang disukai untuk memperbanyak puasa sunah.
Dalam bulan ini, Rasulullah SAW memperbanyak puasa sunah. Bahkan beliau
hampir berpuasa satu bulan penuh, kecuali satu atau dua hari di akhir
bulan saja agar tidak mendahului Ramadhan dengan satu atau dua hari
puasa sunah. Berikut ini dalil-dalil syar’i yang menjelaskan hal itu:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا
قَالَتْ: وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا
رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ
Dari Aisyah R.A berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW
melakukan puasa satu bulan penuh kecuali puasa bulan Ramadhan dan aku
tidak pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa sunah melebihi (puasa
sunah) di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)
Dalam riwayat lain Aisyah berkata:
كَانَ أَحَبُّ الشُّهُورِ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ يَصُومَهُ شَعْبَانَ، ثُمَّ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ
“Bulan yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW untuk berpuasa sunah
adalah bulan Sya’ban, kemudian beliau menyambungnya dengan puasa
Ramadhan.” (HR. Abu Daud no. 2431 dan Ibnu Majah no. 1649)
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ : مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ إِلَّا شَعْبَانَ
وَرَمَضَانَ
Dari Ummu Salamah R.A berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW
berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali bulan Sya’ban dan Ramadhan.”
(HR. Tirmidzi no. 726, An-Nasai 4/150, Ibnu Majah no.1648, dan Ahmad
6/293)
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani menulis: “Hadits ini merupakan dalil
keutamaan puasa sunah di bulan Sya’ban.” (Fathul Bari Syarh Shahih
Bukhari)
Imam Ash-Shan’ani berkata: Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW
mengistimewakan bulan Sya’ban dengan puasa sunnah lebih banyak dari
bulan lainnya. (Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, 2/239)
Maksud berpuasa dua bulan berturut-turut di sini adalah berpuasa sunah
pada sebagian besar bulan Sya’ban (sampai 27 atau 28 hari) lalu berhenti
puasa sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadhan, baru dilanjutkan
dengan puasa wajib Ramadhan selama satu bulan penuh. Hal ini selaras
dengan hadits Aisyah yang telah ditulis di awal artikel ini, juga
selaras dengan dalil-dalil lain seperti:
A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan,
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ
صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا
مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
“.. saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berpuasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan, saya juga tidak
melihat beliau berpuasa yang lebih sering ketika di bulan Sya’ban.” (HR.
Bukhari 1969 dan Muslim 782).
Dalam hadis lain, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, bahwa
beliau pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Wahai Rasulullah, saya belum pernah melihat anda berpuasa dalam satu
bulan sebagaimana anda berpuasa di bulan Sya’ban. Kemudian Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ
شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ
أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Ini adalah bulan yang sering dilalaikan banyak orang, bulan antara
Rajab dan Ramadhan. Ini adalah bulan dimana amal-amal diangkat menuju
Rab semesta alam. Dan saya ingin ketika amal saya diangkat, saya dalam
kondisi berpuasa.” (HR. Ahmad 21753, Nasa’i 2357, dan dihasankan Syuaib
al-Arnauth).
Jika kita perhatikan dari semua hadis di atas, kita menyimpulkan bahwa
puasa sya’ban yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah puasa sebulan penuh. Bukan khusus di pertengahan bulan sya’ban.
Orang yang secara sengaja mengkhususkan puasa hanya di nishfu sya’ban,
sementara dia tidak puasa di tanggal-tanggal yang lain, tidak sesuai
dengan praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.
Hadist Khusus Anjuran Puasa Nisfu Syaban
Terdapat satu hadis khusus yang menganjurkan untuk berpuasa ketika nisfu
syaban, hanya saja pakar hadis menilai hadis ini sebagai hadis lemah.
Hadis itu menyatakan,
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَقُومُوا لَيْلَهَا
وَصُومُوا نَهَارَهَا، فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ
الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا، فَيَقُولُ: أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ
لِي فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَا مُبْتَلًى
فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا، حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Jika masuk malam pertengahan bulan Sya’ban maka shalat-lah di malam
harinya dan berpuasalah di siang harinya. Karena Allah turun ke langit
dunia ketika matahari terbenam. Dia berfirman: Mana orang yang meminta
ampunan, pasti Aku ampuni, siapa yang minta rizki, pasti Aku beri rizki,
siapa…. sampai terbit fajar.”
Status Hadis:
Hadis ini diriwayatkan Ibn Majah dalam Sunannya no 1388. Dari jalur Ibnu
Abi Sabrah dari Ibrahim bin Muhammad, dari Mu’awiyah bin Abdillah bin
Ja’far.
Para pakar hadis mempermasalahkan Ibnu Abi Sabrah.
Kata al-Haitami:
أبو بكر ابن أبي سبرة وهو متروك
Abu Bakr Ibnu Abi Sabrah, perawi yang ditinggalkan. (Majma’ Zawaid, 1/213).
Fuad Abdul Baqi menukil keterangan Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in tentang Ibnu Abi Sabrah,
قال فيه أحمد بن حنبل وابن معين يضع الحديث
Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in menilai Ibnu Abi Sabrah: Dia telah memalsu hadis. (Ta’liq ‘ala Sunan Ibnu Majah, 1/444).
Dari keterangan di atas, para ulama menilai hadis di atas sebagai hadis
palsu atau lemah sekali, sehingga tidak bisa dijadikan dalil.
Riwayat Imam Ibnu Majah yang lain dan serupa (1378)
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا ابْنُ أَبِي سَبْرَةَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ
مُحَمَّدٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ
شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللَّهَ
يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ
أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِي فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مُسْتَرْزِقٌ
فَأَرْزُقَهُ أَلَا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا
حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Telah menceritakan kepada kami [Al Hasan bin Ali Al Khallal] berkata,
telah menceritakan kepada kami [Abdurrazaq] berkata, telah memberitakan
kepada kami [Ibnu Abu Sabrah] dari [Ibrahim bin Muhammad] dari
[Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far] dari [Bapaknya] dari [Ali bin Abu
Thalib] ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Apabila malam nisfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban), maka shalatlah
di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah
turun ke langit bumi pada saat itu ketika matahari terbenam, kemudian
Dia berfirman: “Adakah orang yang meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan
mengampuninya? Adakah orang yang meminta rizki maka Aku akan memberinya
rizki? Adakah orang yang mendapat cobaan maka Aku akan menyembuhkannya?
Adakah yang begini, dan adakah yang begini…hingga terbit fajar. “
Hadis di atas bernilai dhaif, terus boleh gak puasa di nifsu sya’ban ?
jawabannya boleh, ada keutamaannya apa gak ? jawabannya gak ada. Jadi
berdasarkan fiqih, diperbolehkan puasa nifsu sya’ban.
Oleh karena itu, tidak ada puasa khusus untuk pertengahan sya’ban. Yang
ada adalah memperbanyak puasa selama bulan sya’ban, sebagaimana yang
dipraktekkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Doa Khusus Bulan Sya'ban
حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عَنْ
زَائِدَةَ بْنِ أَبِي الرُّقَادِ عَنْ زِيَادٍ النُّمَيْرِيِّ عَنْ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا دَخَلَ رَجَبٌ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ
وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ وَكَانَ يَقُولُ لَيْلَةُ
الْجُمُعَةِ غَرَّاءُ وَيَوْمُهَا أَزْهَرُ
Telah menceritakan kepada kami Abdullah telah menceritakan kepada kami
[Ubaidullah bin Umar] dari [Za`idah bin Abu Ar Ruqad] dari [Ziyad An
Numairi] dari [Anas bin Malik], ia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam apabila memasuki bulan Rajab, maka beliau mengatakan:
“ALLAHUMMA BARIK LANA FI RAJABI WA SYA’BAN WA BARIK LANA FI RAMADLAN (ya
Allah, berkahilah kami di rajab dan sya’ban dan berkahilah kami di
ramadhan) ” beliau bersabda: “Malam jum’at adalah mulia dan harinya
terang benderang.” (Ahmad 2228)
Hadis di atas bernilai dhaif, namun diperbolehkan untuk dilaksanakan, karena berdoa kan gak dilarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar