Bagi muslim yang diterima puasanya karena mampu menundukan hawa nafsu
duniawi selama bulan Ramadhan dan mengoptimalkan ibadah dengan penuh
keikhlasan, maka Idul Fitri adalah hari kemenangan sejati, dimana hari
ini Allah Swt akan memberikan penghargaan teramat istimewa yang selalu
dinanti-nanti oleh siapapun, termasuk para nabi dan orang-orang shaleh,
yaitu ridha dan magfirahNya, sebagai ganjaran atas amal baik yang telah
dilakukannya. Allah Swt juga pernah berjanji, tak satupun kaum muslimin
yang berdoa pada hari raya Idul Fitri, kecuali akan dikabulkan.
Pertanyaannya, kira-kira puasa kita diterima apa tidak? Atau yang kita
lakukan ini hanya ritual-simbolik, sebatas menahan lapar dan haus,
seperti yang pernah disinyalir Nabi Muhamad Saw? Jawabnya, Allahu ‘alam,
kita tak tahu sejatinya. Tapi menurut para ulama, ada beberapa
indikasi, seseorang dianggap berhasil dalam menjalankan ibadah puasa:
ketika kualitas kesalehan individu dan sosialnya meningkat. Ketika
jiwanya makin dipenuhi hawa keimanan. Ketika hatinya sanggup berempati
dan peka atas penderitaan dan musibah saudaranya di ujung sana. Artinya
penghayatan mendalam atas Ramadhan akan membawa efek fantastik,
individu, maupun sosial.
Penghayatan dan pengamalan yang baik terhadap bulan ini akan mendorong
kita untuk kembali kepada fitrah sejati sebagai makhluk sosial, yang
selain punya hak, juga punya kewajiban, individu dan sosial. Sudahkan
kita merasakannya? Itulah rahasia kenapa selamat hari raya Idul Fitri
seringkali diakhiri dengan ucapan Minal ‘Âidîn wal Faizîn (Semoga kita
termasuk orang-orang yang kembali pada fitrah sejati manusia dan
mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat). Selain sebagai doa dan
harapan, ucapan ini juga bak pengingat, bahwa puncak prestasi tertinggi
bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa paripurna, lahir dan bathin,
adalah kembali kepada fitrahnya (suci tanpa dosa).
Idul fitri adalah hari raya umat Islam yangdirayakan pada 1 syawal
setelah sebelumnya melewati madrasah ruhaniah ramadhan selama sebulan
penuh. Menurut pengamatan empiris, maka kita akan sepakat bahwa semua
manusia yang meyakini keEsaan Allah SWT, kenabian Muhammad SAW dan
kepastian eskatologi akan merayakan idul fitri dan alunan takbir ALLAHU
AKBAR akan menggema di setiap penjuru angkasa raya.
Balutan busana bernuansa Islam serentak membanjiri jalan, lapangan dan
mesjid-mesjid, tali silaturrahmi kembali terasa erat dan tak jarang air
mata membasahi pipi saat rangkulan penuh kasih sesama umat Islam
terjalin. Tidak ada yang bisa pungkiri bahwa umat nabi Muhammad SAW.
telah merayakan idul fitri dan menegaskan bahwa salah satu sunnah beliau
masih terjaga. Namun ketika kita melepaskan pandangan empiris kita dan
menutup mata sejenak sambil merenungi hakikat idul fitri maka pertanyaan
mendasar muncul dari dalam jiwa dan keluar bersama helaan nafas,
“Adakah kita termasuk dari mereka yang benar-benar memanifestasikan
hakikat idul fitri sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT yang
disampaikan kepada kita melalui kekasihnya nabi Muhammad SAW? ataukah
kita adalah umat yang secara praktis mewarisi budaya idul fitri namun
nilai-nilainya sangat jauh dari sebenarnya.” Untuk itu mari kita secara
bersama-sama melihat idul fitri itu sebenarnya seperti apa.
Arti Idul Fitri secara Bahasa
Idul fitri berasal dari dua kata; id [arab: عيد] dan al-fitri [arab: الفطر].
Id secara bahasa berasal dari kata aada – ya’uudu [arab: عاد – يعود],
yang artinya kembali. Hari raya disebut ‘id karena hari raya terjadi
secara berulang-ulang, dimeriahkan setiap tahun, pada waktu yang sama.
Ibnul A’rabi mengatakan,
سمي العِيدُ عيداً لأَنه يعود كل سنة بِفَرَحٍ مُجَدَّد
Hari raya dinamakan id karena berulang setiap tahun dengan kegembiraan yang baru. (Lisan Al-Arab, 3/315).
Ada juga yang mengatakan, kata id merupakan turunan kata Al-Adah [arab:
العادة], yang artinya kebiasaan. Karena masyarakat telah menjadikan
kegiatan ini menyatu dengan kebiasaan dan adat mereka. (Tanwir
Al-Ainain, hlm. 5).
Selanjutnya kita akan membahas arti kata fitri.
Perlu diberi garis sangat tebal dengan warna mencolok, bahwa fitri TIDAK
sama dengan fitrah. Fitri dan fitrah adalah dua kata yang berbeda. Beda
arti dan penggunaannya. Namun, mengingat cara pengucapannya yang hampir
sama, banyak masyarakat indonesia menyangka bahwa itu dua kata yang
sama. Untuk lebih menunjukkan perbedaannnya, berikut keterangan
masing-masing,
Pertama, Kata Fitrah
Kata fitrah Allah sebutkan dalam Al-Quran,
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ
Hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak
ada peubahan pada fitrah Allah. (QS. Ar-Rum: 30).
Ibnul Jauzi menjelaskan makna fitrah,
الخلقة التي خلق عليها البشر
“Kondisi awal penciptaan, dimana manusia diciptakan pada kondisi tersebut.” (Zadul Masir, 3/422).
Dengan demikian, setiap manusia yang dilahirkan, dia dalam keadaan
fitrah. Telah mengenal Allah sebagai sesembahan yang Esa, namun kemudian
mengalami gesekan dengan lingkungannya, sehingga ada yang menganut
ajaran nasrani atau agama lain. Ringkasnya, bahwa makna fitrah adalah
keadaan suci tanpa dosa dan kesalahan.
Kedua, kata Fitri
Kata fitri berasal dari kata afthara – yufthiru [arab: أفطر – يفطر],
yang artinya berbuka atau tidak lagi berpuasa. Disebut idul fitri,
karena hari raya ini dimeriahkan bersamaan dengan keadaan kaum muslimin
yang tidak lagi berpuasa ramadhan.
Terdapat banyak dalil yang menunjukkan hal ini, diantaranya
1. Hadis tentang anjuran untuk menyegerahkan berbuka,
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يزال الدين ظاهراً، ما عجّل النّاس الفطر؛ لأنّ اليهود والنّصارى يؤخّرون
“Agama Islam akan senantiasa menang, selama masyarakat (Islam)
menyegerakan berbuka. Karena orang yahudi dan nasrani mengakhirkan waktu
berbuka.” (HR. Ahmad 9810, Abu Daud 2353, Ibn Hibban 3509 dan statusnya
hadia hasan).
Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تزال أمَّتي على سُنَّتي ما لم تنتظر بفطرها النّجوم
“Umatku akan senantiasa berada di atas sunahku, selama mereka tidak
menunggu waktu berbuka dengan terbitnya bintang.” (HR. Ibn Khuzaimah
dalam Shahihnya 3/275, dan sanadnya shahih).
Kata Al-Fithr pada hadis di atas maknanya adalah berbuka, bukan suci.
Makna hadis ini menjadi aneh, jika kata Al-Fithr kita artikan suci.
“Umatku akan senantiasa berada di atas sunahku, selama mereka tidak menunggu waktu berSUCI dengan terbitnya bintang”
Dan tentu saja, ini keluar dari konteks hadis.
2. Hadis tentang cara penentuan tanggal 1 ramadhan dan 1 syawal
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
“Hari mulai berpuasa (tanggal 1 ramadhan) adalah hari di mana kalian
semua berpuasa. Hari berbuka (hari raya 1 syawal) adalah hari di mana
kalian semua berbuka.” (HR. Turmudzi 697, Abu Daud 2324, dan dishahihkan
Al-Albani).
Makna hadis di atas akan menjadi aneh, ketika kita artikan Al-Fithr dengan suci.
“Hari suci adalah hari dimana kalian semua bersuci”.dan semacam ini tidak ada dalam islam.
Karena itu sungguh aneh ketika fitri diartikan suci, yang sama sekali tidak dikenal dalam bahasa arab.
Suci Seperti Bayi?
Selanjutnya kita bahas konsekuensi dari kesalahan mengartikan idul
fitri. Karena anggapan bahwa idul fitri = kembali suci, banyak orang
keyakinan bahwa ketika idul fitri, semua orang yang menjalankan puasa
ramadhan, semua dosanya diampuni dan menjadi suci.
Keyakinan semacam ini termasuk kekeliruan yang sangat fatal. Setidaknya ada 2 alasan untuk menunjukkan salahnya keyakinan ini,
Pertama, keyakinan bahwa semua orang yang menjalankan puasa ramadhan,
dosanya diampuni dan menjadi suci, sama dengan memastikan bahwa seluruh
amal puasa kaum muslimin telah diterima oleh Allah, dan menjadi kaffarah
(penghapus) terhadap semua dosa yang meraka lakukan, baik dosa besar
maupun dosa kecil. Padahal tidak ada orang yang bisa memastikan hal ini,
karena tidak ada satupun makhluk yang tahu apakah amalnya diterima oleh
Allah ataukah tidak.
Terkait dengan penilaian amal, ada 2 hal yang perlu kita bedakan, antara keabsahan amal dan diterimanya amal.
1. Keabsahan amal.
Amal yang sah artinya tidak perlu diulangi dan telah menggugurkan
kewajibannya. Manusia bisa memberikan penilaian apakah amalnya sah
ataukah tidak, berdasarkan ciri lahiriah. Selama amal itu telah memenuhi
syarat, wajib, dan rukunnya maka amal itu dianggap sah.
2. Diterimanya amal
Untuk yang kedua ini, manusia tidak bisa memastikannya dan tidak bisa
mengetahuinya. Karena murni menjadi hak Allah. Tidak semua amal yang sah
diterima oleh Allah, namun semua amal yang diterima oleh Allah,
pastilah amal yang sah.
Karena itulah, terkait diterimanya amal, kita hanya bisa berharap dan
berdoa. Memohon kepada Allah, agar amal yang kita lakukan diterima
oleh-Nya. Seperti inilah yang dilakukan orang shaleh masa silam. Mereka
tidak memastikan amalnya diterima oleh Allah, namun yang mereka lakukan
adalah memohon dan berdoa kepada Allah agar amalnya diterima.
Siapakah kita??? dibandingkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Seusai
memperbaiki bangunan Ka’bah, beliau tidak ujub dan memastikan amalnya
diterima. Namun yang berliau lakukan adalah berdoa,
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Ya Allah, terimalah amal dari kami. Sesungguhnya Engkau Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 127).
Demikian pula yang dilakukan oleh para sahabat dan generasi pengikut
mereka. Yang mereka lakukan adalah berdoa dan bukan memastikan.
Mu’alla bin Fadl mengatakan:
كانوا يدعون الله تعالى ستة أشهر أن يبلغهم رمضان يدعونه ستة أشهر أن يتقبل منهم
“Dulu para sahabat, selama enam bulan sebelum datang bulan Ramadhan,
mereka berdoa agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan.
Kemudian, selama enam bulan sesudah Ramadhan, mereka berdoa agar Allah
menerima amal mereka ketika di bulan Ramadhan.” (Lathaiful Ma›arif, Ibnu
Rajab, hal.264)
Karena itu, ketika bertemu sesama kaum muslimin seusai ramadhan, mereka saling mendoakan,
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُم
“Semoga Allah menerima amal kami dan kalian”
Inilah yang selayaknya kita tiru. Berdoa memohon kepada Allah agar amalnya diterima dan bukan memastikan amal kita diterima.
Kedua, sesungguhnya ramadhan hanya bisa menghapuskan dosa kecil, dan
bukan dosa besar. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ
إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ
الْكَبَائِر
“Antara shalat 5 waktu, jumatan ke jumatan berikutnya, ramadhan hingga
ramadhan berikutnya, akan menjadi kaffarah dosa yang dilakukan diantara
amal ibadah itu, selama dosa-dosa besar dijauhi.”(HR. Ahmad 9197 dan
Muslim 233).
Kita perhatikan, ibadah besar seperti shalat lima waktu, jumatan, dan
puasa ramadhan, memang bisa menjadi kaffarah dan penebus dosa yang kita
lakukan sebelumnya. Hanya saja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutkan syarat: ‘selama dosa-dosa besar dijauhi.’ Adanya syarat ini
menunjukkan bahwa amal ibadah yang disebutkan dalam hadis, tidak
menggugurkan dosa besar dengan sendirinya. Yang bisa digugurkan hanyalah
dosa kecil.
Lantas bagaimana dosa besar bisa digugurkan?
Caranya adalah dengan bertaubat secara khusus, memohon ampun kepada
Allah atas dosa tersebut. Sebagaimana Allah telah tunjukkan hal ini
dalam Al-Quran,
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang
kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu
(dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia
(surga). (QS. An-Nisa: 31)
Makna Idul Fitri
Ada tiga pengertian tentang idul fitri. Di kalangan ulama ada yang
mengartikan idul fitri dengan kembali kepada kesucian. Artinya setelah
selama bulan Ramadhan umat Islam melatih diri menyucikan jasmani dan
ruhaninya, dan dengan harapan pula dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT,
maka memasuki hari lebaran mereka telah menjadi suci lahir dan batin.
Ada yang mengartikan idul fitri dengan kembali kepada fitrah atau naluri
religius. Hal ini sesuai dengan Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 183,
bahwa tujuan puasa adalah agar orang yang melakukannya menjadi orang
yang takwa atau meningkat kualitas religiusitasnya.
Adapula yang mengartikan idul fitri dengan kembali kepada keadaan dimana
umat Islam diperbolehkan lagi makan dan minum di siang hari seperti
biasa.
Dari ketiga makna tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam memasuki idul
fitri umat Islam diharapkan mencapai kesucian lahir batin dan meningkat
kualitas religiusitasnya. Salah satu ciri manusia religius adalah
memiliki kepedulian terhadap nasib kaum yang sengsara. Dalam surah
Al-Ma’un ayat 1-3 disebutkan bahwa, “Tahukah kamu (orang) yang
mendustakan agama?, maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan
tidak mendorong mereka memberi makan orang miskin.” Penyebutan anak
yatim dalam ayat ini merupakan representasi dari kaum yang sengsara.
Oleh karena itu dapat kita pahami, bahwa umat Islam yang mampu, wajib
memberikan zakat fitrah kepada kaum fakir miskin, pemberian zakat
tersebut paling lambat sebelum pelaksanaan shalat idul fitri. Aturan ini
dimaksudkan agar pada waktu umat Islam yang mampu bergembira ria
merayakan idul fitri, orang-orang miskin pun dapat merasakan hal yang
sama.
Agama Islam sangat menekankan harmonisasi hubungan antara si kaya dan si
miskin. Orang-orang kaya diwajibkan mengeluarkan zakat mal (harta)
untuk dibagikan kepada kaum fakir miskin. Dan dapat dilihat dari ayat di
atas bagaimana penekanan untuk menghindari adanya kesenjangan sosial,
dimana ketika menyebutkan anak yatim dan orang miskin. Dapat dilihat
bahwa anak yatim dan orang miskin tidak hanya untuk orang Islam tapi
seluruh manusia yang menyandang yatim dan kemiskinan.
Dari uraian di muka dapat disimpulkan, bahwa idul fitri merupakan puncak
dari suatu metode pendidikan mental yang berlangsung selama satu bulan
untuk mewujudkan profil manusia yang suci lahir batin, memiliki kualitas
keberagamaan yang tinggi, dan memelihara hubungan sosial yang
harmonis.
Apa Yang Tertinggal Setelah Idul Fitri Berlalu
Seiring hari-hari yang bergerak kian ke depan, suasana Idul Fitri
semakin memudar dari kehidupan kita. Simbol-simbol lebaran dan ramadhan
yang beberapa waktu lalu digembar-gemborkan, dikibar-kibarkan demikian
kencang diberbagai media baik cetak maupun elektronik kini satu-persatu
mulai raib. Tetapi adakah spirit ramadhan dan idul fitri tetap tegar
menggaung di lubuk jiwa kita?. Kita bergegas, ranah-ranah kebudayaan
bergegas, pasar bergegas, budaya pop kita bergegas memburu sesuatu yang
lebih baru, tersedot oleh segala yang lebih segar, trendy dan top.
Mungkin kita kembali kepada kesibukan kita yang dulu, problem-problem
yang dulu dan juga kebiasaan-kebiasaan yang dulu, juga kriminalitas yang
tetap seperti dulu.
Harus kita akui, bahwa kelemahan kita dalam masalah keberagamaan bukan
sekedar tekstualisme atau skriptualisme yang sempit dan stagnan, tetapi
juga momentualisme yang tidak berefek dan seremonial belaka. Selama ini
ramadahan dan IdulFitri bukan menjadi berkontemplasi dengan intens dan
penuh kesungguhan, tetapi kesempatan untuk berpesta simbol. Sikap
seperti ini kemudian dikawinkan dengan kebiasaan yang sangat buruk.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang mengidap amnesia sejarah.
Sebuah tragedi nasional datang hari ini, idul fitri seakan telah menjadi
sesuatu yang “out of date” sehingga rasanya mungkin membosankan dan tak
penting lagi. Benarkah…..?
Idul fitri secara formal memang bagian dari hukum dan ajaran agama umat
Islam. Tetapi secara perenial dan estoteris ia adalah milik semua
manusia. Dan saling memaafkan adalah proses menuju perdamaian dan
kedamaian itu.
Memaafkan yang Tak Termaafkan
“Memaafkan (sejatinya) adalah memaafkan yang tak ter-maafkan” ujar
Jacques Terrida dalam buku “On Cosmopolitanism and Forgiveness”. Bila
kita memaafkan perbuatan salah orang lain yang levelnya kecil, maka itu
adalah hal biasa.
Tetapi bila kita sanggup memaafkan perbuatanmanusia bahkan yang paling
kejam dan tak ter-ampunkan kepada kita, maka disinilah sesungguhnya
makna memaafkan yang hakiki, yang benar-benar menantang sejauh mana
keluasan hati kita untuk keluar dari luka sejarah, baik pribadi ataupun
kolektif. Dengan tradisi saling memaafkan, kita mungkin selesai dan
clear dalam persoalan-persoalan personal, tetapi selesai jugakah kita
dalam problem-problem struktural? Misalnya, konflik etnis dan konflik
horizontal antar-agama di Poso. Bila dihitung dengan logika
‘untung-rugi’, rasanya sulit—apalagi seandainya kita menjadi orang yang
terlibat dalam konflik-konflik itu, untuk memaafkan berbagai perbuatan
kejam dan tak manusiawi yang menimpa kita.
Tetapi, bisakah—dengan ‘kegilaan’ dan keluasan hati kita melupakan luka
sejarah yang teramat pahit itu? Memaafkan adalah suatu hal yang
melampaui keadilan. Keadilan dalam arti tertentu menuntut suatu
pembalasan atau hukuman yang (dianggap) setimpal dengan perbuatan
melanggar etika sang pelaku kejahatan. Hukuman itu biasanya dimaksudkan
untuk kejeraan si pelaku. Dapat dikatakan, hukuman yang setimpal adalah
syarat dari keadilan. Tetapi hukuman dari memaafkan adalah ‘hukuman yang
bijak’ yang membuat si pelaku menjadi malu untuk mengulangi kejahatan
serupa. Dengan memaafkan nurani pelaku—yang menghukum dirinya sendiri
itu, akan berdaya telak berkali lipat. Tidakkah justru ini hakikat
hukuman dan keadilan yang sesungguhnya?
Memaafkan pun membutuhkan suatu keahlian untuk ‘melupakan’, tetapi
tentunya bukan ‘lupa’ dalam artian keliru. Melupakan di sini berarti
melupakan semua kesalahan orang lain, dan memandang hari esok adalah
hari baru yang terbebas dari jejak masa lampau yang buruk.
Tidak mungkinkah hal ini diaplikasikan pada ranah kehidupan yang lebih
besar lagi? Misalnya memaafkan dalam konteks konflik politik regional,
atau bahkan mungkin konflik politik global. Konflik-konflik dunia yang
bekepanjangan—sehingga menjadi labirin konflik, menunjukkan bahwa
manusia sangat lemah untuk memaafkan. Kelihatannya utopis, memang.
Tetapi bukankah filsuf Jerman, Ernst Broch mengatakan bahwa hakikat
utopia adalah “the not-yet ontology”, yakni suatu bentuk ontologi yang
belum ada, tetapi ia sangat mungkin untuk ada? Mungkin proses kolosal
memaafkan akan kita mulai dengan suatu awalan yang amat puitis dan
terkesan amat aneh; memaafkan adalah ketika kita bangun tidur dan
mendapati hidup serta dunia seakan-akan baru saja dimulai. Tak ada masa
lalu, tak ada sejarah, tak ada hasrat untuk menjajah yang lain, tak ada
hasrat untuk memperumit perseteruan. Percayalah, bahwa segala yang bisa
diharapkan, bisa terjadi. Seberapa utopis pun itu.
Saatnya kita memilih, apakah momentum ritual keberagamaan akan kita
posisikan semata sebagai momentum atau seremoni ataukah kita ingin
sungguh-sungguh menjadikannya sebagai kaldera waktu dimana kita akan
meraih kekuatan untuk menjadikannya sebagai spirit baru untuk meraih
hari esok yang cerah yakni dunia yang damai dan merdeka dari luka
sejarah.
Dengan spirit perdamaian dan etos memaafkan yang sungguh-sungguh
diterapkan sebagai prinsip fundamental dalam paradigma setiap lini
kebudayaan kita, perdamaian dunia niscaya bukan angan-angan lagi. Waktu
kosmologis kita mungkin telah melaju meningalkan 1 Syawal. Tetapi waktu
spiritual kita selalu berporos kepadanya. Hati kita ber-Idul Fitri
setiap saat. Semoga.
Mari kita telaah bersama sebuah kisah dari Ali bin Abi Thalib kw,
Dalam suasana Idul Fitri, seseorang berkunjung ke rumah Ali bin Abi
Thalib kw. Didapatinya, Ali sedang memakan roti keras. Lalu orang itu
berkata : “Dalam suasana hari raya engkau memakan roti keras ? ” Ali,
tokoh ilmuan di zaman Rasulullah ini menjawab,
“Hari ini adalah Id orang yang diterima puasanya, disyukuri usahanya dan
diampuni dosanya. Hari ini Id bagi kami, demikian juga esok, malah
setiap hari yang engkau tidak membuat durhaka kepada Allah, itu menurut
pandangan kami adalah Id.”
Jadi menurut ayah dari dua cucu kesayangan Nabiullah Muhammad SAW ini,
setiap hari yang dilalui dapat diisi dengan ketaatan kepada Allah dan
menjauhi dosa maka ia merupakan hari kegembiraan, Id yang bukan Idul
Fitri dan Idul Adha. Dengan kata lain, kilah Allahuma Yarham Nawawi
Dusky dalam tulisannya ‘Falsafah Idul Fitri’ : “Idul Fitri adalah
manifestasi kesanggupan pribadi Mukmin untuk mentaati Allah dengan
berpuasa siang dan beribadah malam hari.” Kemampuan demikian disambut
dengan kegembiraan Id. Sehingga ada seorang ahli hikmah bertutur : “Hari
demi hari mendatang merupakan lembaran hidup yang bersih, maka
abdikanlah dia dengan amal karya yang indah.”
Jadi adakah idul fitri yang kita lakoni ini bukan hanya sekedar
rutinitas tahunan saja dan adakah sesuatu yang membekas di jiwa
setelahnya?
Adakah kita termasuk orang yang pantas merayakan Idul Fitri atau kita
hanyalah orang-orang yang merasa pantas untuk itu? Dan jawabannya ada
pada diri kita masing-masing.
Kesalahan Besar Dalam Perayaan Idul Fitri
Adalah kesalahan besar apabila Idul Fitri dimaknai dengan ‘Perayaan
kembalinya kebebasan makan dan minum‘ sehingga tadinya dilarang makan di
siang hari, setelah hadirnya Idul Fitri akan balas dendam, atau
dimaknai sebagai kembalinya kebebasan berbuat maksiat yang tadinya
dilarang dan ditinggalkan kemudian. Karena Ramadhan sudah usai maka
kemaksiatan kembali ramai-ramai digalakkan.
Ringkasnya kesalahan itu pada akhirnya menimbulkan sebuah fenomena umat
yang shaleh mustman, bukan umat yang berupaya mempertahankan kefitrahan
dan nilai ketaqwaan.
Ketika merayakan Idul Fitri setidaknya ada tiga sikap yang harus kita punyai, yaitu:
1- Rasa penuh harap kepada Allah SWT (Raja’). Berharap akan diampuni
dosa-dosa yang telah lalu. Janji Allah SWT akan ampunan itu sebagai buah
dari “kerja keras” sebulan lamanya menahan hawa nafsu dengan berpuasa.
2- Melakukan evaluasi diri pada ibadah puasa yang telah dikerjakan.
Apakah puasa yang kita lakukan telah sarat dengan makna, atau hanya
puasa menahan lapar dan dahaga saja. Di siang bulan Ramadhan kita
berpuasa, tetapi hati kita, lidah kita tidak bisa ditahan dari perbuatan
atau perkataan yang menyakitkan orang lain. Kita harus memahami sabda
Nabi SAW yang mengatakan banyak orang yang hanya sekedar berpuasa saja:
“Banyak sekali orang yang berpuasa, yang hanya puasanya sekedar menahan
lapar dan dahaga“.
3- Mempertahankan nilai kesucian yang baru saja diraih. Tidak kehilangan
semangat dalam ibadah karena lewatnya bulan Ramadhan, sebab predikat
taqwa nantinya berkelanjutan hingga akhir hayat. Firman Allah SWT: “Hai
orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa
kepada-Nya dan janganlah sekali-kati kamu mati melainkan dalam keadaan
ber-agama Islam ” (QS. Ali Imran: 102).
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar