Sebagian berpendapat bahwa dimakruhkan berpuasa dari tanggal 1
Dzulhijjah sampai tanggal 9 Dzulhijjah secara berurutan, mereka berdalih
dan berdalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah
mengerjakannya dan menganjurkannya kecuali tanggal 9 Dzulhijjahnya
yaitu hari Arafah.
Salah satu dalil yang dipakai adalah:
عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- لَمْ يَصُمِ الْعَشْرَ.
Artinya: “Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berpuasa pada 10 hari (pertama
Dzulhijjah-pen).” HR. Muslim.
TETAPI, PENDAPAT YANG LEBIH KUAT ADALAH BAHWA DIPERBOLEHKAN BAHKAN
DIANJURKAN UNTUK BERPUASA DARI TANGGAL 1 SAMPAI TANGGAL 8 DZULHIJJAH,
BAIK YANG MENUNAIKAN IBADAH HAJI ATAU TIDAK DAN SANGAT DITEKANKAN
BERPUASA TANGGAL 9 DZULHIJJAH BAGI YANG TIDAK MENUNAIKAN IBADAH HAJI
SAJA, ADAPUN YANG SEDANG MENUNAIKAN IBADAH HAJI DAN WUKUF DI ARAFAH
DIMAKRUHKAN BERPUASA PADA HARI INI. WALLAHU A’LAM.
Dalil-dalil yang menunjukkan akan penguatan pendapat di atas adalah:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ
مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ ». فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ
الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ
بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».
Artinya: Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Tiada hari-hari, amal shalih di
dalamnya lebih dicintai Allah daripada hari-hari ini". yakni 10 hari
pertama dari bulan Dzulhijjah, mereka (para shahabat) bertanya: "Wahai
Rasulullah, dan tidak juga berjihad di jalan Allah (lebih utama
darinya)?", beliau bersabda: "Dan tidak juga berjihad di jalan Allah
(lebih utama darinya), kecuali seseorang yang berjuang dengan dirinya
dan hartanya lalu ia tidak kembali dengan apapun". HR. Bukhari.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ :« مَا
مِنْ عَمَلٍ أَزْكَى عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلاَ أَعْظَمَ أَجْراً
مِنْ خَيْرٍ تَعْمَلُهُ فِى عَشْرِ الأَضْحَى ». قِيلَ : وَلاَ الْجِهَادُ
فِى سَبِيلِ اللَّهِ. قَالَ :« وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ
بِشَىْءٍ ». قَالَ : وَكَانَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ إِذَا دَخَلَ أَيَّامُ
الْعَشْرِ اجْتَهَدَ اجْتِهَاداً شَدِيداً حَتَّى مَا يَكَادُ يَقْدِرُ
عَلَيْهِ.
Artinya: Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Tiada dari amalan lebih suci di
sisi Allah Azza wa Jalla dan lebih besar pahalanya dari sebuah kebaikan
yang kamu kerjakan pada sepuluh hari pertama”, beliau ditanya: "Dan
tidak juga berjihad di jalan Allah (lebih utama darinya)?", beliau
bersabda: "Dan tidak juga berjihad di jalan Allah (lebih utama darinya),
kecuali seseorang yang berjuang dengan dirinya dan hartanya lalu ia
tidak kembali dengan apapun". Beliau berkata: “ Sa’id bin Jibair jika
memasuki sepuluh hari pertama Dzulhijjah, sangat bersungguh-sungguh
sekali samapi-sampai tidak ada yang mampu sepertinya.” HR. Ad Darimi dan
dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab IRwa Al Ghalil, no. 890.
Penjelasan para ulama terhadap hadits-hadits di atas:
Ibnu Hazm berkata:
(( ونستحب صيام أيام العشر من ذي الحجة قبل النحر ، لما حدثنا . . . - ،
وذكر الحديث ، ثم قال -: قال أبو محمد : وهو عشر ذي الحجة ، والصوم عمل بر ،
فصوم عرفة يدخل فيه أيضا )) .
“Dan kami menganjurkan berpuasa pada sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah
sebelum hari Idul Adha…”, kemudian beliau menyebutkan hadits, lalu
berkata: “berkata Abu Muhammad:Ia adalah sepuluh hari pertama bulan
Dzulhijjah dan berpuasa adalah amal baik dan puasa hari Arafah masuk di
dalamnya juga.” Lihat kitab Al Muhalla, 7/19.
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah:
(( وقد دل حديث ابن عباس على مضاعفة جميع الأعمال الصالحة في العشر من غير استثناء شيء منها )) .
“Dan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma telah menunjukkan atas
pelipatan pahala seluruh amal-amal shalih pada sepuluh hari pertama
tanpa pengecualian darinya sedikitpun.” Lihat kitab Lathaif Al Ma’arif,
hal. 460.
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah:
(( واستدل به - يعني بحديث ابن عباس - على فضل صيام عشر ذي الحجة ، لاندراج الصوم في العمل )) .
“Dan dijadikan dalil dengannya yaitu hadits Abdullah bin Abbas atas
keutamaan berpuasa sepuluh hari pertama Dzulhijjah, karean berpuasa
masuk dalam amal.” Lihat kitab Fath Al Bary, 2/534.
Berkata Asy Syaukany rahimahullah:
(( وقد تقدم في كتاب العيدين أحاديث تدل على فضيلة العمل في عشر ذي الحجة على العموم ، والصوم مندرج تحتها )) .
“Dan telah lewat di dalam kitab Al ‘Idain hadits-hadits yang menunjukkan
atas keutamaan beramal di dalam sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah
secara umum, dan puasa masuk di bawahnya.” Lihat kitab Nail Al Awthar,
5/347.
Adapun bagaimana cara menanggapi perkataan Ummu Al Mukminin ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha, mari lihat penjelasan para ulama rahimahumullah;
Berkata An Nawawi rahimahullah:
فيتأول قولها : لم يصم العشر , أنه لم يصمه لعارض مرض أو سفر أو غيرهما ,
أو أنها لم تره صائماً فيه , ولا يلزم عن ذلك عدم صيامه في نفس الأمر ,
ويدل على هذا التأويل حديث هنيدة بن خالد عن امرأته عن بعض أزواج النبي -
صلى الله عليه وسلم - قالت : كان رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يصوم
تسع ذي الحجة , ويوم عاشوراء , وثلاثة أيام من كل شهر : الاثنين من الشهر
والخميس ) ورواه أبو داود وهذا لفظه وأحمد والنسائي وفي روايتهما ( وخميسين
) والله أعلم )
“Ditafsirkan perkataan beliau (‘Aisyah radhiyallahu ‘anha) “Tidak
berpuasa pada sepuluh hari Dzulhijjah”, bahwa beliau tidak berpuasa
padanya karena suatu halangan sakit atau safar atau selain kedunya atau
beliau tidak melihatnya sedang berpuasa di dalamnya dan tidak
mengharuskan hal itu tidak berpuasanya beliau pada saat yang bersamaan,
dan yang menunjukkan tafsiran ini adalah hadits Hunaidah bin Khalid ia
meriwayatkan dari istrinya, meriwayatkan dari salah satu istri Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata: “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam senantiasa berpuasa pada sembilan hari (pertama-pen)
Dzulhijjah, hari ‘Asyura, tiga hari dari setiap bulan; hari senin dari
bulan dan hari kamis”, hadits riwayat Abu Daud dan ini adalah lafazh
darinya, Ahmad dan An Nasai di dalam dua riwayatnya menyebutkan “Dua
hari Kamis”. Wallahu a’lam. Lihat kitab Syarah Shahih Muslim, Karya An
Nawawi, 3/251.
Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalny rahimahullah:
[ واستدل به على فضل صيام عشر ذي الحجة لاندراج الصوم في العمل , واستشكل
بتحريم الصوم يوم العيد , وأجيب بأنه محمول على الغالب , ولا يرد على ذلك
ما رواه أبو داود وغيره عن عائشة قالت ( ما رأيت رسول الله - صلى الله عليه
وسلم - صائماً العشر قط ) لاحتمال أن يكون ذلك لكونه كان يترك العمل وهو
يحب أن يعمله خشية أن يفرض على أمته , كما رواه الصحيحان من حديث عائشة
أيضاً ]
“Dan dijadikan dalil dengannya yaitu hadits Abdullah bin Abbas atas
keutamaan berpuasa sepuluh hari pertama Dzulhijjah, karean berpuasa
masuk dalam amal, dan dipermasalahkan dengan pengharaman berpuasa pada
hari Idul Adha, (dapat) dijawab bahwa disebutkan secara kebanyakan, dan
tidak bertentangan atas itu apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan
selainnya dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: “Aku tidak
pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
berpuasa pada sepuluh hari pertma Dzulhijjah.” Karena dimungkinkan itu
terjadi, karena belia senantiasa meninggalkan sebuah amalan padahal
beliau menyukai untuk mengamalkannya, karena takut akan diwajibkan atas
umatnya, sebagaimana yang diriwayatkan dari hadits riwayat Bukhari dan
Muslim, dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga.” Lihat kitab Fath
Al Bary, 2/593.
JADI, PENDAPAT YANG LEBIH KUAT ADALAH BAHWA DIPERBOLEHKAN BAHKAN
DIANJURKAN UNTUK BERPUASA DARI TANGGAL 1 SAMPAI TANGGAL 8 DZULHIJJAH,
BAIK YANG MENUNAIKAN IBADAH HAJI ATAU TIDAK DAN SANGAT DITEKANKAN
BERPUASA TANGGAL 9 DZULHIJJAH BAGI YANG TIDAK MENUNAIKAN IBADAH HAJI
SAJA, ADAPUN YANG SEDANG MENUNAIKAN IBADAH HAJI DAN WUKUF DI ARAFAH
DIMAKRUHKAN BERPUASA PADA HARI INI.
Puasa Arafah yaitu puasa pada tanggal 9 bulan Dzulhijjah, sedangkan
puasa tarwiyah adalah puasa pada tanggal 8 bulan Dzulhijjah. Puasa
sunnah itu berdasarkan dalil berikut:
Dari Abi Qatadah Radhiyallahu ‘Anhu berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفر سنة ماضية
"Puasa hari Arafah menghapuskan dosa dua tahun, yaitu tahun sebelumnya
dan tahun sesudahnya. Puasa Asyura’ menghapuskan dosa tahun sebelumnya".
(HR. Jamaah, kecuali Bukhari dan Tirmizy)
Puasa hari Arafah (9 Dzulhijjjah) ini disepakati sunnah bagi yang tidak
menunaikan haji. Sedangkan bagi yang wukuf di Arafah hukumnya
diperselisihkan dikarenakan dalil yang melarang puasa bagi jamaah haji
yang wukuf dipermasalahkan.
1. Haram Puasa Bagi Yang Wukuf
Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan:
وقد استحب أهل العلم صيام يوم عرفة إلا بعرفة
Para ulama telah menganjurkan berpuasa pada hari ‘Arafah, kecuali bagi
yang sedang di ‘Arafah. (Sunan At Tirmidzi, komentar hadits No. 749)
Apa dasarnya bagi yang sedang wuquf di ‘Arafah dilarang berpuasa?
Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَاتٍ
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang berpuasa pada hari
‘Arafah bagi yang sedang di ‘Arafah.” (HR. Abu Daud No. 2440, Ibnu Majah
No. 1732, Ahmad No. 8031, An Nasa’i No. 2830, juga dalam As Sunan Al
Kubra No. 2731, Ibnu Khuzaimah No. 2101, Al Hakim dalam Al Mustadrak No.
1587)
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim, katanya: “Shahih sesuai
syarat Bukhari dan Muslim tapi keduanya tidak meriwayatkannya.” (Al
Mustadrak No. 1587) Imam Adz Dzahabi menyepakati penshahihannya.
Dishahihkan pula oleh Imam Ibnu Khuzaimah, ketika beliau memasukkannya
dalam kitab Shahihnya. Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar: Aku berkata: Ibnu
Khuzaimah telah menshahihkannya, dan Mahdi telah ditsiqahkan oleh Ibnu
Hibban. (At Talkhish, 2/461-462)
2. Boleh Berpuasa Meski Wukuf
Mereka menyanggah tashhih (penshahihan) tersebut, karena perawi hadits
ini yakni Syahr bin Hausyab dan Mahdi Al Muharibi bukan perawi Bukhari
dan Muslim sebagaimana yang diklaim Imam Al Hakim.
Imam Al Munawi mengatakan: Berkata Al Hakim: “Sesuai syarat Bukhari,”
mereka (para ulama) telah menyanggahnya karena terjadi ketidakjelasan
pada Mahdi, dia bukan termasuk perawinya Bukhari, bahkan Ibnu Ma’in
mengatakan: majhul. Al ‘Uqaili mengatakan: “Dia tidak bisa diikuti
karena kelemahannya.” (Faidhul Qadir, 6/431) Lalu, Mahdi Al Muharibi –
dia adalah Ibnu Harb Al Hijri, dinyatakan majhul (tidak diketahui)
keadaannya oleh para muhadditsin.
Syaikh Al Albani berkata: Aku berkata: isnadnya dhaif, semua sanadnya
berputar pada Mahdi Al Hijri, dan dia majhul. (Tamamul Minnah Hal. 410)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata: Isnadnya dhaif, karena ke-majhul-an
Mahdi Al Muharibi, dia adalah Ibnu Harbi Al Hijri, dan Ibnu Hibban
menyebutkannya dalam kitab Ats Tsiqaat (orang-orang terpercaya), dia
(Ibnu Hibban) memang yang menggampangkannya (untuk ditsiqahkan, pen).
(Ta’liq Musnad Ahmad No. 8041)
Telah masyhur bagi para ulama hadits, bahwa Imam Ibnu Hibban adalah imam
hadits yang dinilai terlalu mudah men-tsiqah-kan perawi yang majhul.
Majhulnya Mahdi Al Muharibi juga di sebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar.
(At Talkhish Al Habir, 2/461), Imam Al ‘Uqaili mengatakan dalam Adh
Dhuafa: “Dia tidak bisa diikuti.” (Ibid)
Imam Yahya bin Ma’in dan Imam Abu Hatim mengatakan: Laa A’rifuhu – saya
tidak mengenalnya. (Imam Ibnu Mulqin, Al Badrul Munir, 5/749)
Imam Ibnul Qayyim mengatakan: Dalam isnadnya ada yang perlu
dipertimbangkan, karena Mahdi bin Harb Al ‘Abdi bukan orang yang
dikenal. (Zaadul Ma’ad, 1/61), begitu pula dikatakan majhul oleh Imam
Asy Syaukani. (Nailul Authar, 4/239)
Maka, pandangan yang lebih kuat adalah tidak ada yang shahih larangan
berpuasa pada hari ‘Arafah bagi yang sedang di ‘Arafah. Oleh karenanya
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: Tidak ada yang shahih bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang berpuasa pada hari ini ( 9
Dzhulhijjah). (Ta’liq Musnad Ahmad, No. 8031)
Tetapi, di sisi lain juga tidak ada yang shahih bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam pernah berpuasa ketika wuquf di ‘Arafah.
Rasulullah Wukuf dan Tidak Berpuasa Arafah
Diriwayatkan secara shahih:
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ أَنَّهُمْ شَكُّوا فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَرَفَةَ فَبَعَثَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحٍ
مِنْ لَبَنٍ فَشَرِبَهُ
Dari Ummu Al Fadhl, bahwa mereka ragu tentang berpuasanya Nabi
Shalllallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari ‘Arafah, lalu dikirimkan
kepadanya segelas susu, lalu dia meminumnya. (HR. Bukhari No. 5636)
Oleh karenanya Imam Al ‘Uqaili mengatakan: Telah diriwayatkan dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sanad-sanad yang baik, bahwa Beliau
belum pernah berpuasa pada hari ‘Arafah ketika berada di sana, dan
tidak ada yang shahih darinya tentang larangan berpuasa pada hari itu.
(Adh Dhuafa, No. 372)
Para sahabat yang utama pun juga tidak pernah berpuasa ketika mereka di
‘Arafah. Disebutkan oleh Nafi’ –pelayan Ibnu Umar, sebagai berikut: Dari
Nafi’, dia berkata: Ibnu Umar ditanya tentang berpuasa hari ‘Arafah
ketika di ‘Arafah, dia menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam tidak berpuasa, begitu pula Abu Bakar, Umar, dan Utsman.” (HR. An
Nasa’i, As Sunan Al Kubra No. 2825)
Maka, larangan berpuasa pada hari ‘Arafah bagi yang di ‘Arafah tidaklah
pasti, di sisi lain, Nabi pun tidak pernah berpuasa ketika sedang di
‘Arafah, begitu pula para sahabat setelahnya. Oleh karena itu,
kemakruhan berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah bagi yang sedang wuquf telah
diperselisihkan para imam kaum muslimin. Sebagian memakruhkan dan pula
ada yang membolehkan.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau tidak pernah melakukannya, tetapi
juga tidak melarang puasa ‘Arafah bagi yang wuquf di ‘Arafah.
سئل بن عمر عن صوم يوم عرفة فقال حججت مع النبي صلى الله عليه و سلم فلم
يصمه وحججت مع أبي بكر فلم يصمه وحججت مع عمر فلم يصمه وحججت مع عثمان فلم
يصمه وأنا لا أصومه ولا أمر به ولا أنهى عنه
Ibnu Umar ditanya tentang berpuasa pada hari ‘Arafah, beliau menjawab:
“Saya haji bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau tidak
berpuasa, saya haji bersama Abu Bakar, juga tidak berpuasa, saya haji
bersama Umar, juga tidak berpuasa, saya haji bersama ‘Utsman dia juga
tidak berpuasa, dan saya tidak berpuasa juga, saya tidak memerintahkan
dan tidak melarangnya.”(Sunan Ad Darimi No. 1765. Syaikh Husein Salim
Asad berkata: isnaduhu shahih.)
Kalangan Hanafiyah mengatakan, boleh saja berpuasa ‘Arafah bagi jamaah
haji yang sedang wuquf jika itu tidak membuatnya lemah. (Syaikh Wahbah
Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 3/25)
Syaikh Wahbah Az Zuhaili menyebutkan bahwa tidak dianjurkan mereka
berpuasa, walaupun kuat fisiknya, tujuannya agar mereka kuat berdoa: Ada
pun para haji, tidaklah disunahkan berpuasa pada hari ‘Arafah, tetapi
disunahkan untuk berbuka walau pun dia orang yang kuat, agar dia kuat
untuk banyak berdoa, dan untuk mengikuti sunah. (Ibid, 3/24) Jadi,
menurutnya “tidak disunahkan”, dan tidak disunahkan bukan bermakna tidak
boleh.
Keutamaan Puasa Tanggal 1-9 Dzulhijjah
Disebutkan Dalam Kitab Durrotunnasihin Tentang Keutamaan Puasa Dzulhijjah
في اول يوم من ذي الحجة غفر الله فيه لآدم ومن صام هذا اليوم غفر الله له كل ذنب
و في اليوم الثاني استجاب الله لسيدنا يوسف, ومن صام هذا اليوم كمن عبد الله سنة و لم يعص الله طرفة عين
و في اليوم الثالث استجاب الله دعاء زكريا , ومن صام هذا اليوم استجاب الله لدعاه
و في اليوم الرابع ولد سيدنا عيسى عليه السلام, ومن صام هذا اليوم نفى الله
عنه الياس و الفقر و في يوم القيامة يحشر مع السفرة الكرام
و في اليوم الخامس ولد سيدنا موسى عليه السلام, و من صام هذا اليوم برئ من النفاق و عذاب القبر
و في اليوم السادس فتح الله لسيدنا محمد عليه الصلاة و السلام بالخير,و من صامه ينظر الله اليه بالرحمة و لا يعذبه أبدا
و في اليوم السابع تغلق فيه أبواب جهنم, و من صامه أغلق الله له ثلاثون بابا من العسر و فتح الله له ثلا ثين بابا من الخير
و في اليوم الثامن المسمى بيوم التروية و من صامه أعطي له من الأجر ما لا يعلمه إلا الله
و في اليوم التاسع و هو يوم عرفة من صامه يغفر الله له سنة من قبل و سنة من بعد
و في اليوم العاشر يكون عيد الأضحى و فيه قربان و ذبح ذبيحة و عند أول قطرة
من دماء الذبيحة يغفر الله ذنوبه وذنوب أولاده. ومن أطعم فيه مؤمنا و تصدق
بصدقة بعثه الله يوم القيامة آمنا و يكون ميزانه أثقل من جبل أحد
“Di hari pertama bulan Dzulhijjah Allah mengampuni Adam dan barangsiapa
yang berpuasa pada hari tersebut Allah akan mengampuni seluruh dosanya”
“Di hari kedua Allah mengabulkan doa sayyidina Yusuf, dan barangsiapa
yang berpuasa di hari itu pahalanya seperti beribadah kepada Allah
setahun penuh dan tidak bermaksiat walau sekejap mata”
“Di hari ketiga Allah mengabulkan doa Zakaria, dan barangsiapa yang berpuasa pada hari itu Allah akan mengabulkan doanya”
“Di hari keempat lahir sayyidina ‘Isa ‘alaihissalam, dan barangsiapa
berpuasa pada hari itu Allah akan menghilangkan kefakiran darinya dan
pada hari kiamat ia akan dikumpulkan bersama As Safarat Al Kiram
(malaikat yang mulia –pent)
“Di hari kelima lahirlah Musa ‘alaihissalam, dan barangsiapa berpuasa
pada hari itu ia akan dibebaskan dari sifat munafik dan adzab kubur”
“Di hari keenam Allah membukakan sayyidina Muhammad ‘alaihis sholatu
wassalam kebaikan, dan barangsiapa berpuasa pada hari itu Allah akan
melihatnya dengan rahmat-Nya dan ia tidak akan diadzab”
“Di hari ketujuh ditutup pintu-pintu jahannam, dan barangsiapa berpuasa
pada hari itu Allah akan tutup baginya 30 pintu kesulitan dan Allah
bukakan baginya 30 pintu kebaikan”
“Di hari kedelapan yang disebut juga dengan hari Tarwiyah, barangsiapa
berpuasa pada hari itu akan diberi balasan yang tidak diketahui oleh
siapapun kecuali Allah”
“Di hari kesembilan yaitu hari Arafah barangsiapa berpuasa pada hari itu
Allah akan mengampuni dosanya selama setahun sebelumnya, dan setahun
sesudahnya”
“Di hari kesepuluh yaitu Idul Adha, di dalamnya terdapat qurban,
penyembelihan, dan pengaliran darah (hewan qurban), Allah akan
mengampuni dosa anak-anaknya (yaitu orang yang berpuasa tadi –pent).
Barangsiapa yang member makan orang mukmin dan bershadaqah Allah akan
mengutus baginya pada hari kiamat, keamanan dan timbangannya lebih berat
dari Gunung Uhud”
Takhtimah
Di antara alasan kenapa dianjurkan berpuasa karena amalan tersebut ada
kekhususan di mana Allah melipatgandakan pahalanya, amalan tersebut
hanya untuk Allah dan Dia yang akan membalasnya. Keutamaan tersebut
disebutkan dalam hadits berikut,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى
سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ
فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ
أَجْلِى
“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan
dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan
puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya.
Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku...” (HR.
Muslim no. 1151)
Dalam riwayat lain dikatakan,
قَالَ اللَّهُ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ ، فَإِنَّهُ لِى
“Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Setiap amalan manusia adalah
untuknya kecuali puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku”.” (HR. Bukhari no.
1904)
Dalil yang mendukung anjuran puasa di 10 hari pertama Dzulhijjah adalah
hadits dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ
وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْر.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan
hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga
hari setiap bulannya (hijriyah), …” (HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal
Dzulhijah adalah ‘Abdullah bin ‘Umar –radhiyallahu ‘anhuma-. Ulama lain
seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan
keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat
mayoritas ulama. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 461)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar