Puasa adalah amalan yang sangat utama. Dengan puasa seseorang akan
terlepas dari berbagai godaan syahwat di dunia dan terlepas dari siksa
neraka di akhirat. Puasa pun ada yang diwajibkan dan ada yang
disunnahkan. Setelah kita menunaikan yang wajib, maka alangkah bagusnya
kita bisa menyempurnakannya dengan amalan yang sunnah. Ketahuilah bahwa
puasa sunnah nantinya akan menambal kekurangan yang ada pada puasa
wajib. Oleh karena itu, amalan sunnah sudah sepantasnya tidak
diremehkan.
Keutamaan Orang yang Berpuasa
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى
سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ
فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ
أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ
عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ
رِيحِ الْمِسْكِ
“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan
dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan
puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya.
Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi
orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan
ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya.
Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada
bau minyak kasturi.”” (HR. Muslim no. 1151)
Dalam riwayat lain dikatakan,
قَالَ اللَّهُ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ ، فَإِنَّهُ لِى
“Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Setiap amalan manusia adalah
untuknya kecuali puasa. Amalan puasa adalah untuk-Ku”.” (HR. Bukhari no.
1904)
Dalam riwayat Ahmad dikatakan,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ كُلُّ الْعَمَلِ كَفَّارَةٌ إِلاَّ الصَّوْمَ وَالصَّوْمُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ
“Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Setiap amalan adalah
sebagai kafaroh/tebusan kecuali amalan puasa. Amalan puasa adalah
untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya”.” (HR. Ahmad. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai
syarat Muslim)
Di antara ganjaran berpuasa sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
Pahala yang tak terhingga bagi orang yang berpuasa
Amalan puasa khusus untuk Allah
Sebab pahala puasa, seseorang memasuki surga
Dua kebahagiaan yang diraih orang yang berpuasa yaitu kebahagiaan ketika
dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya.
Bau mulut orang yang berpuasa di sisi Allah lebih harum daripada bau minyak kasturi.
Lakukanlah Puasa dengan Ikhlas dan Sesuai Tuntunan Nabi
Agar ibadah diterima di sisi Allah, haruslah terpenuhi dua syarat, yaitu:
Ikhlas karena Allah.
Mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (ittiba’).
Jika salah satu syarat saja yang terpenuhi, maka amalan ibadah menjadi tertolak.
Dalil dari dua syarat di atas adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun
dalam beribadat kepada Tuhannya“.” (QS. Al Kahfi: 110)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh”, maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti
petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen). Dan “janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”, maksudnya
selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya.
Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan
mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam."
Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala menjelaskan mengenai firman Allah,
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.”
(QS. Al Mulk [67] : 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling
ikhlas dan showab (mencocoki tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam).”
Lalu Al Fudhail berkata, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun
tidak mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan
tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan
dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun
tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima.” (Jami’ul Ulum
wal Hikam, hal. 19)
Dalil Anjuran Puasa Senin-Kamis
Dari Abu Qotadah Al Anshori radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, lantas
beliau menjawab,
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ
“Hari tersebut adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkannya wahyu untukku.”[HR. Muslim no. 1162]
Al-Imam At-Tirmidziy -rahimahullah- berkata dalam Sunan-nya (no. 747),
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى ، قَالَ : حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ ،
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ رِفَاعَةَ ، عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ ، عَنْ
أَبِيهِ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ
وَالخَمِيسِ ، فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ.
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي هَذَا البَابِ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ.
“Muhammad bin Yahya telah menceritakan kami, ia berkata, “Abu Ashim
telah menceritakan kami dari Muhammad bin Rifa’ah dari Suhail bin Abi
Sholih dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah -Shallallahu
alaihi wa sallam- bersabda,
“Amalan-amalan dihadapkan pada Hari Senin dan Kamis. Karena itu, aku menyukai kalau amalanku dihadapkan, sedang aku berpuasa”.
At-Tirmidziy berkata, “Hadits Abu Hurairah dalam bab ini adalah hadits hasan ghorib”.
Al-Imam Ahmad dalam Al-Musnad (no. 21781) meriwayatkan dengan sanadnya dari bekas budak Usamah bin Zaid -radhiyallahu anhu-:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ يَعْنِي الدَّسْتُوَائِيَّ،
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ بْنِ
ثَوْبَانَ، أَنَّ مَوْلَى قُدَامَةَ بْنِ مَظْعُونٍ حَدَّثَهُ أَنَّ
مَوْلَى أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، حَدَّثَهُ أَنَّ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ،
كَانَ يَخْرُجُ فِي مَالٍ لَهُ بِوَادِي الْقُرَى فَيَصُومُ الِاثْنَيْنِ
وَالْخَمِيسَ، فَقُلْتُ لَهُ: لِمَ تَصُومُ فِي السَّفَرِ وَقَدْ كَبِرْتَ
وَرَقَقْتَ ؟ فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسَ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللهِ، لِمَ تَصُومُ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسَ ؟ قَالَ: ” إِنَّ
الْأَعْمَالَ تُعْرَضُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ “
“Bahwa beliau (Usamah) pernah keluar karena harta miliknya di Wadi
Al-Quro. Kemudian beliau berpuasa Senin-Kamis. Aku katakan kepadanya,
“Kenapa anda berpuasa di dalam safar, padahal anda telah tua dan lemah?”
Beliau berkata, “Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dulu biasa
berpuasa Senin-Kamis, lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, kenapa anda
berpuasa Senin-Kamis?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya amalan-amalan
dihadapkan pada hari Senin dan Hari Kamis”.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thoyalisiy dalam Al-Musnad (no.
632), Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thobaqot Al-Kubro (4/71), Ibnu Abi Syaibah
dalamAl-Mushonnaf (3/42-43), Ad-Darimiy dalam Sunan-nya (no. 1757),
An-Nasa’iy dalam Al-Kubro (2781 & 2782), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro
(4/293) dan dalam Fadho’il Al-Awqot (291) dari berbagai jalur dari
Hisyam Ad-Dastawa’iy dengan sanad yang sama di atas.
Di dalam sanadnya ada dua rawi yang bermasalah, yaitu bekas budaknya
Qudamah dan bekas budaknya Usamah. Kedua orang ini majhul. Namun hadits
ini shohih li ghoirih dengan adanya syawahid(beberapa penguat) di atas
dan lainnya.
Ibnu Khuzaimah berkata dalam Shohih-nya (2119) dengan membawakan
sanadnya sampai kepada Usamah -radhiyallahu anhu-, beliau berkata,
حدثنا سعيد بن أبي يزيد وراق الفريابي حدثنا محمد ابن يوسف حدثني أبو بكر
بن عياش عن عمر بن محمد حدثني شرحبيل بن سعد عن أسامة قال : كان رسول الله
صلى الله عليه و سلم يصوم الاثنين و الخميس و يقول : إن هذين اليومين تعرض
فيهما الأعمال
“Dahulu Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- biasa berpuasa
Senin-Kamis dan beliau bersabda, “Sesungguhnya kedua hari ini dihadapkan
padanya amalan-amalan”.
Ahli Hadits Negeri Syam, Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata dalam
Al-Irwa’ usai membawakan hadits ini, “Syarohbil bin Sa’ad adalah Abu
Sa’ad Al-Khothmiy Al-Madaniy. Pada dirinya ada kelemahan. Namun hadits
ini dengan adanya tiga jalur ini, tak ragu lagi tentang ke-shohih-annya.
Terlebih lagi ia memiliki syahid (penguat) dari haditsnya Abu Hurairah,
yaitu hadits yang akan datang berikutnya”.
Al-Imam At-Tirmidziy berkata dalam Sunan-nya (no. 745) dengan membawakan sanadnya sampai kepada A’isyah -radhiyallahu anha-
حَدَّثَنَا أَبُو حَفْصٍ ، عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ الفَلاَّسُ ، قَالَ :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ دَاوُدَ ، عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ ، عَنْ
خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ ، عَنْ رَبِيعَةَ الجُرَشِيِّ ، عَنْ عَائِشَةَ
قَالَتْ : ((كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَتَحَرَّى صَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالخَمِيسِ))
وَفِي البَابِ عَنْ حَفْصَةَ ، وَأَبِي قَتَادَةَ ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ ، وَأُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ.
حَدِيثُ عَائِشَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الوَجْهِ.
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- biasa menaruh pilihan berpuasa pada Hari Senin dan Kamis”.
At-Tirmidziy berkata, “Di dalam bab ini (ada hadits-hadits) dari
Hafshoh, Abu Qotadah, Abu Hurairah dan Usamah. Hadits A’isyah adalah
hasan ghorib dari sisi ini”.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh An-Nasa’iy dalamSunan-nya (no. 2360)
dan Ibnu Majah dalamSunan-nya (no. 1739) dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah
(7/123). Syaikh Al Albaniy -rahimahullah- mengatakan bahwa hadits ini
shahih. [LihatShohihul Jami’ (no. 4897)].
Di dalam sanadnya ada seorang rawi bernamaRobi’ah bin Amr atau Robi’ah
Al-Ghoz Al-Jurosyiy. Dia diperselisihkan kedudukannya sebagai sahabat.
Sebagian orang menyangka bahwa tak ada yang menyatakannya tsiqoh,
kecuali Ibnu Hibban. Bahkan beliau di-tsiqoh-kan oleh Ad-Daruquthniy.
[Lihat Al-Khulashoh (hal. 116),Tahdzib At-Tahdzib (12/38) dan Mawsu’ah
Aqwal Ad-Daruquthniy (15/21) oleh As-Sayyid Abul Mu’athi An-Nuri]
Rawi yang demikian halnya derajat haditsnya tak akan turun dari derajat
shohih atau hasan menuju dho’if. Anggaplah hadits ini dho’if (lemah),
tapi ia kuat dengan sebab dua syahid yang berlalu di atas. Karenanya,
Al-Imam Adz-Dzahabiy -rahimahullah- menyatakan hadits ini shohih dalam
Siyar A’lam An-Nubala’ (13/563)
Al-Imam An-Nasa’iy -rahimahullah- berkata dalam Sunan-nya (4/203/no. 2367),
أخبرنا القاسم بن زكريا بن دينار قال حدثنا حسين عن زائدة عن عاصم عن
المسيب عن حفصة قالت : كان رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا أخذ مضجعه
جعل كفه اليمنى تحت خده الأيمن وكان يصوم الإثنين والخميس
“Al-Qosim bin Zakariyya bin Dinar telah mengabari kami, ia berkata,
“Husain telah menceritakan kami dari Za’idah dari Ashim dari Al-Musayyib
dari Hafshoh, ia berkata,
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dahulu -bila hendak tidur-,
maka beliau meletakkan telapak tangan kanannya di bawah pipi kanannya.
Dahulu beliau biasa berpuasa Senin-Kamis”.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf
(1/152/no. 9228), (3/42) & (9/76), Abd bin Humaid dalam Al-Muntakhob
(1545), An-Nasa’iy dalam Al-Kubro (2676, 2787 & 10600) dan dalam
Amal Al-Yawm wa Al-Lailah (no. 764), Abu Ya’la dalam Al-Musnad (no.
7037), Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (no. 347), Ibnus Sunni dalam Amal
Al-Yawm wa Al-Lailah (no. 730) dari jalur Husain bin Ali Al-Ju’fiy
dengan sanad di atas.
Semua rawi hadits ini tak ada yang bermasalah, kecuali Al-Musayyib,
walaupun ia tsiqoh, namun sebagian ulama menyatakan bahwa ia tak pernah
mendengarkan suatu hadits dari seorang sahabat pun, selain Al-Baro’ bin
Azib dan Abu Iyas Amir bin Abdah. Hanya saja hadits ini bisa dijadikan
penguat bagi riwayat yang sebelumnya dan sebaliknya dikuatkan dengannya.
Al-Imam Ath-Thobroniy -rahimahullah- berkata dalam Al-Mu’jam Al-Kabir
(no. 942) dengan membawakan sanadnya sampai kepada Abu Rafi’
-radhiyallahu anhu-,
حدثنا الحسين بن إسحاق التستري ثنا يحيى الحماني ثنا مندل بن علي عن محمد
بن عبيد الله بن أبي رافع عن أبيه عن جده : أن النبي صلى الله عليه و سلم
كان يصوم الإثنين والخميس
“Bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dahulu biasa berpuasa Senin-Kamis”.
Hadits ini lemah, karena di dalamnya terdapat rawi-rawi yang lemah:
Yahya Al-Hammaniy, Mindil bin Ali Al-Kufi (dho’if) dan Muhammad bin
Ubaidillah. Muhammad bin Ubaidillah (dho’if). [Lihat At-Tarikh Al-Kabir
(1/171) oleh Al-Bukhoriy, Al-Asami wal Kuna (5/234) oleh Abu Ahmad
Al-Hakim,Majma’ Az-Zawa’id (3/255)]
Para ahli hadits telah menganggap hadits shohih dan benar datangnya dari
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, berdasarkan hadits-hadits ini dan
amaliah para sahabat sebagaimana anda bisa lihat dalam kitab-kitab
Al-Mushonnaf. Nah, diantara yang menilai hadits tentang hadits puasa
Senin-Kamis adalah shohih, misalnya: Adz-Dzahabiy dalam Siyar A’lam
An-Nubala’, Al-Hafizh dalam Fathul Bari(4/236), Ibnul Mulaqqin dalam
Al-Badrul Munir(5/755), Al-Albaniy, Husain Salim Asad dalamTakhrij
Musnad Abi Ya’laa, Abdul Qodir Al-Arna’uth dalam Takhrij Jami’ Al-Ushul,
Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Al-Musnad.
Hadits-hadits yang menetapkan Puasa Senin-Kamis adalah hadits-hadits
shohih dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, karena ia datang dari
berbagai jalur periwayatan yang saling menguatkan antara satu dengan
yang lainnya.
Hadits-hadits ini telah di-shohih-kan oleh sejumlah ulama hadits
sebagaimana telah berlalu penyebutan nama-nama mereka. Yang kami
sebutkan disini jumlah mereka sedikit. Tapi sebenarnya banyak yang telah
menilainya shohih, entah secara gamblang, maupun tersirat.
Faedah Puasa Senin-Kamis
Puasa senin dan kamis adalah media monitoring aktivitas kesehariaan
dalam sepekan. Dua hari sebagai monitor untuk tujuh hari kedepan dengan
selang tengah, yaitu kamis, merupakan momentum strategis untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Beramal pada waktu utama yaitu ketika catatan amal dihadapkan di hadapan Allah.
Kemaslahatan untuk badan dikarenakan ada waktu istirahat setiap pekannya.
Puasa senin dan kamis adalah pengendali segala hawa nafsu manusia.
Sebagaimana dalam adab berlaku berpuasa, maka dengan berpuasa segala
tindakan dan ucapannya akan jauh dari segala bentuk kegaduhan,
kebohongan dan kelicikan. Orang yang berniat secara sungguh-sungguh
mencari ridha Allah SWT. dalam berpuasa, akan senang tiasa menjaga
lidahnya dari segala ucapan atau perkataan kotor. Demikian juga orang
yang berpuasa akan selalu menjaga perbuatan dan tindakannya dari segala
bentuk kedzaliman, kecurangan, dan segala tipu muslihat.
Puasa senin dan kamis adalah motivator terbesar dalam setiap langkah
kita untuk mencapai tujuan hidup. Dalam kondisi perut lapar, bukan
berarti kita kehabisan energi untuk melaksanakan aktivitas. Justru
sebaliknya dengan kondisi perut yang demikian semangat aktivitas semakin
kreatif dan inovatif. Disamping itu, harapan akan keberhasilan dalam
segala apa yang diusahakannya begitu besar. Dalam kondisi seperti ini,
orang yang dalam keadaan puasa sangat antipati terhadap putus asa dan
pantang menyerah. Segala keberhasilannya ia yakini sebagai limpahan
kemurahan Allah SWT. terhadap dirinya, dan segala kegagalan merupakan
ujian dari Allah. Atau merupakan keberhasilan yang tertunda. Dengan
demikian sifat kesabaran dan tidak putus asa ini akan menyatu dalam
sanubarinya.
Puasa senin dan kamis adalah pembersih hati dan penyuci jiwa dari segala
noda. Peryataan Allah akan pahala bagi orang yang berpuasa tidak
diragukan lagi. Bahwa puasa adalah ibadah untuk Allah dan bukan untuk
diri orang yang berpuasa sendiri, serta Allah sendirilah yang akan
memberikan pahala puasa orang tersebut, bukan melalui malaikat atau
makhluk yang lainnya. Janji Allah tersebut, jika dicermati secara
seksama mengandung harapan dan rasa optimis yang begitu tinggi. Harapan
bagi orang yang berpuasa terhadap janji pahala Allah secara lansung
tersebut membuat hati kian peka terhadap hal-hal yang dilarang Allah
SWT. Segala perbuatannya selalu ditanyakan kepada Qur’an dan Hadits,
apakah hal ini halal atau haram, boleh atau tidak, dibenci atau disukai
oleh Allah SWT.. Hatinya kian tunduk dan taat pada-Nya, serta sangat
takut akan siksa dan azab di akhirat nanti.
Catatan: Puasa senin kamis dilakukan hampir sama dengan puasa wajib di
bulan Ramadhan. Dianjurkan untuk mengakhirkan makan sahur dan
menyegerakan berbuka. Untuk masalah niat, tidak ada lafazh niat
tertentu. Niat cukup dalam hati.
Amalan yang Terbaik adalah Amalan yang Bisa Dirutinkan
Dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang
kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan
selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya.[HR. Muslim no. 783,
Kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat
malam yang kontinu dan amalan lainnya].
Dari ’Aisyah, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam ditanya mengenai amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah.
Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab,
أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ
”Amalan yang rutin (kontinu), walaupun sedikit.”[HR. Muslim no. 782]
’Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ’Aisyah, ”Wahai Ummul
Mukminin, bagaimanakah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam beramal?
Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ’Aisyah
menjawab,
لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً وَأَيُّكُمْ يَسْتَطِيعُ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَطِيعُ
”Tidak. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (rutin dilakukan).
Siapa saja di antara kalian pasti mampu melakukan yang beliau
shallallahu ’alaihi wa sallam lakukan.”[HR. Muslim no. 783]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar