Bulan Syawal, Bulan ini dalam penanggalan atau Kalender Hijriah islam,
adalah bulan ke-10. Arti kata syawal adalah naik, ringan, atau membawa
(mengandung). Disebut demikian karena dahulu, ketika bulan-bulan
hijriyah masih ‘disesuaikan’ dengan musim (praktek interkalasi), suhu
meningkat karena berada pada musim panas seperti halnya Ramadhan. Selain
itu, biasanya orang Arab mengamati bahwa pada bulan inilah unta-unta
mengandung atau menaikkan ekornya sebagai tanda tidak mau dikawini.
Karenanya, orang Arab juga memiliki kepercayaan bahwa bulan ini ‘tidak
baik’ dan melihat pernikahan di bulan Syawal akan berakhir sial.
Kepercayaan ini dihapus oleh islam dengan peristiwa pernikahan Nabi
Muhammad saw.
Bulan syawal juga berada setelah bulan ramadhan dimana bulan ramadhan
adalah bulan yang penuh berkah, rahmat serta idkuminannar, dimana
khususnya umat muslim digembleng langsung oleh Allah, nah dari arti kata
diatas saja kalaulah kita memang ingin mendapatkan petunjuk dari Allah
maka bukanlah suatu kebetulan semata. bulan ini juga terkenal dengan
hari dimana kita meraih kemenangan setelah melaksanakan pertempuran
melawan jin, syetan, iblis yang ingin menggoda manusia, dan dibulan ini
pula konon katanya manusia menjadi seperti bayi yang baru dilahirkan.
Makna Syawal secara Bahasa
Ibnul ‘Allan asy Syafii mengatakan, “Penamaan bulan Syawal itu diambil
dari kalimat Sya-lat al Ibil yang maknanya onta itu mengangkat atau
menegakkan ekornya. Syawal dimaknai demikian, karena dulu orang-orang
Arab menggantungkan alat-alat perang mereka, disebabkan sudah dekat
dengan bulan-bulan haram, yaitu bulan larangan untuk berperang.”(Dalil
al Falihin li Syarh Riyadh al Shalihin).
Ada juga yang mengatakan, dinamakan bulan syawal dari kata syalat
an-Naqah bi Dzanabiha [arab: شالت الناقةُ بذنَبِها], artinya onta betina
menaikkan ekornya. (Lisan Al-Arab, 11/374). Bulan syawal adalah masa di
mana onta betina tidak mau dikawini para pejantan. Ketika didekati
pejantan, onta betina mengangkat ekornya. Keadaan ini menyebabkan
munculnya keyakinan sial di tengah masyarakat jahiliyah terhadap bulan
syawal. Sehingga mereka menjadikan bulan syawal sebagai bulan pantangan
untuk menikah. Ketika islam datang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam justru menikahi istri beliau di bulan syawal. Untuk membantah
anggapan sial masyarakat jahiliyah.
Memahami hal ini, kurang tepat jika dikatakan bahwa sebab mengapa bulan
ini dinamakan syawal adalah karena bulan ini jatuh seusai ramadhan. Dan
ketika itu manusia melakukan peningkatan dalam beramal dan berbuat baik.
Ini jelas pemahaman yang tidak benar. Karena nama bulan “syawal” sudah
ada sejak zaman jahiliyah (sebelum datangnya islam), sementara
masyarakat jahiliyah belum mengenal syariat puasa di bulan ramadhan.
Dengan demikian, tidak terdapat hubungan antara makna bahasa tersebut
dengan pemahaman bahwa syawal adalah bulan peningkatan dalam beramal.
Mengingatkan masyarakat untuk meningkatkan ibadah dan amal soleh
termasuk nasehat baik, hanya saja, tidak perlu kita kaitkan dengan nama
bulan syawal, karena dua hal ini tidak saling berhubungan.
Peristiwa Ibadah Di Syawal
Hari pertama di bulan Syawal, tentu saja merupakan Hari Raya Idul Fitri
bagi umat islam setelah puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan. Pada 1
Syawal, kaum muslimin keluar rumah untuk melaksanakan sholat Idul Fitri.
Hari-hari berikutnya di bulan Syawal merupakan kesempatan untuk
‘menyempurnakan’ puasa ramadhan dengan Puasa Enam Hari di bulan Syawal.
Dengan tambahan puasa enam hari ini, kaum muslimin bisa memperoleh
pahala setara dengan puasa satu tahun.
Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rosululloh bersabda, “Barangsiapa yang
berpuasa Romadhon kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia
seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).
Bulan Syawal juga merupakan awal dimulainya bulan-bulan ibadah haji,
karena sejak bulan inilah diperbolehkan berniat ihram untuk melakukan
ibadah haji. Umrah yang dilakukan pada bulan ini juga bisa digabung
dengan ibadah haji di bulan Dzulhijjah sehingga menjadi Haji Tammatu.
Peristiwa Sejarah
27 Syawal, Perjalanan Nabi saw. ke Thaif, tahun ke-10 kenabian.
13 Syawal, kelahiran ahli hadits Imam Bukhari
Syawal 1 H, Perang Bani Qainuqa
17 Syawal 3 H, Perang Uhud
Kelahiran Siti Aisyah dan pernikahannya dengan Nabi Muhammad saw. terjadi di bulan Syawal.
29 Syawal, pernikahan Fatimah dengan Ali ra.
Syawal 4 H, Pernikahan Nabi saw. dengan Ummu Salamah
Syawal 4 H, Kelahiran cucu Nabi saw., Hussain.
18 Syawal 5 H, Perang Khandaq (Ahzab, Parit)
6 Syawal 8 H, Perang Hunain
Demikianlah, semoga kita bisa mengambil pelajaran dari berbagai
peristiwa ibadah dan sejarah di dalam islam yang terjadi di bulan Syawal
ini.
Polemik Dalam Makna Bulan Syawal
Dalam kalender Hijriyah, bulan yang mengiringi Ramadhan dinamai Syawal,
bulan ini adalah merupakan bulan yang kesepuluh. Banyak orang memaknai
Syawal sebagai bulan peningkatan, benarkah asumsi tersebut?… mengenai
hal ini terdapat pro kontra yang menyebar di masyarakat Indonesia, untuk
mengetahui lebih lanjut mari kita simak paparan di bawah ini.
Kelompok pertama menyebutkan bahwa Syawal adalah bulan peningkatan,
mereka berdalil dengan makna dari Syawal itu sendiri yaitu irtifa’, naik
dan meningkat.
Kemudian ada dua alasan yang lainnya adalah: pertama, meningginya
derajat kaum Muslimin setelah mereka ikhlas dalam menunaikan shaum
Ramadhan dan mendapatkan maghfiroh ampunan dari Allah, sebagaimana sabda
Nabi:
“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan tulus karena
Allah, maka dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah.” (HR. al-Bukhori dan
Muslim)
Kedua, karena secara moral dan spiritual kaum Muslim harus
mempertahankan dan meningkatkan nilai-nilai amaliyah Ramadhan pada bulan
ini dan bulan-bulan berikutnya hingga datang Ramadhan tahun depan.
Dalam perspektif ini, Syawal justru bermakna bulan peningkatan ibadah
dan amal solih sebagai kelanjutan logis dari pendidikan moral dan
spiritual yang dilakukan selama Ramadhan.
Adapun kelompok kedua, mereka mengatakan Syawal bukanlah bulan
peningkatan, mereka berdalil dengan makna Syawal yang dikemukakan oleh
Ibnul ‘Allan asy-Syafii al-Makki dalam kitabnya Dalil al Falihin li
Thuruq Riyadh al-Shalihin-Syarh Riyadh al Sholihin-, jilid 4 hal 63,
terbitan Darul Fikr Beirut:
“Penamaan bulan Syawal itu diambil dari kalimat Syalat al-Ibil yang
maknanya onta itu mengangkat atau menegakkan ekornya. Syawal dimaknai
demikian karena dulu orang-orang Arab menggantungkan alat-alat perang
karena sudah dekat dengan bulan-bulan haram (yang merupakan bulan
terlarang perang di masa jahiliyyah.”
Jadi penamaan Syawal bukan karena bulan ini adalah bulan peningkatan
amal, namun disebut Syawal karena di bulan ini orang-orang Arab
mengangkat atau meninggikan alat-alat perang yang mereka miliki atau
dengan bahasa lain gencatan senjata.
Mereka menggantungkan pedang, tombak dan lainnya karena dikhawatirkan
akan terjadinya peperangan antar sesama mereka yang tentunya hal itu
diharamkan mengingat bulan Syawal merupakan salah satu bulan dari
bulan-bulan yang diharamkan di dalamnya untuk berperang. Jika mereka
masing-masing menenteng pedang dan senjata yang lainnya di bulan Syawal
sangat dimungkinkan mereka akan melanggar larangan berperang di bulan
tersebut.
Inilah dua kubu yang saling berseberangan dalam memahami makna Syawal.
Yang lebih penting dari itu perbedaan pemahaman tentang Syawal akan
berimbas kepada rutinitas ibadah yang dilakukan selama Ramadhan.
Kelompok pertama tentu akan mengatakan “Ramadhan telah lewat amal ibadah
dan pahala yang Allah berikan tidak akan dilipat gandakan lagi, jadi
tidak perlu berlebihan dalam ibadah layaknya bulan Ramadhan”.
Sedang kelompok kedua akan mengatakan sebaliknya “Syawal adalah bulan
peningkatan ibadah setelah satu bulan digembleng dalam ketakwaan, bulan
ini adalah bulan bukti keimanan dan ketakwaan kita bertambah dari bulan
sebelum Ramadhan, maka dari itu kita harus meningkatkan ibadah kita
dibulan ini”.
Terlepas dari itu semua, ibadah yang kita latih selama satu bulan yang
pelatihnya langsung dari Allah, sebenamya aplikasinya pada 11 bulan ke
depan, bukan hanya Syawal saja. Ibarat seseorang atau sekelompok orang
mengikuti pelatihan yang berlangsung selama satu bulan maka, diharapkan
para peserta dapat memperaktikan hasil pelatihan tersebut yang telah
dilaksanakannnya.
Nah, sebagai ummat Islam yang telah menyelesaikan shaum dan berbagai
ibadah lainnya di bulan Ramadhan karena Allah semata bukan yang lainnya.
Mari lestarikan amal salih tersebut dan harus bisa ditambah jangan
sampai berkurang apalagi hilang.
Prinsip kita sebagai Muslim yang ikhlas adalah: tak peduli apakah bulan
Ramadhan atau bukan semua aktifitas ibadah tetap dilakukan, hanya saja
mungkin di bulan Ramadhan ada tambahan waktu mengingat di bulan ini
semua amal ibadah Allah lipat gandakan, sebagaimana sabda Nabi:
Allah berfirman: “Setiap amal perbuatan anak Adam yamj berupa kebaikan
akan dilipatgandakan pahalanya dengan sepuluh kali sehingga tujuh ratus
kali lipat. Kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku
dan Aku yang afcan memberikan balasannya” (HR. Muslim)
Ketika masa-masa pelatihan usai, kita buktikan akan peningkatan keimanan
dan keislaman kita dengan menjaga kesucian dan keluhuran diri. Iman dan
takwa yang diraih pada buian Ramadhan dipelihara hingga bertemu dengan
bulan Ramadhan berikutnya jangan sampai menyusut, segala amal perbuatan
yang tidak ada gunanya atau bahkan melalaikan dibuang jauh-jauh,
terlebih yang haram terbersit dalam hati saja tidak apalagi dilirik.
Tentunya, ini semua dilakukan demi meraih bukti peningkatan keislaman
kita, sebagaimana sabda Nabi:
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah pernah bersabda: “Sebagian
tanda dari baiknya keislaman seseorang ialah ia meninggalkan sesuatu
yang tidak berguna baginya.” (HR. at-Tirmidzi dan lainnya)
Ketika kontinyu dalam ibadah dan amal solih sekalipun diluar Romadhon,
maka indikasi istiqomah pun ada dalam diri kita. Sedang istiqomah itu
sendiri adalah salah satu alamat meningkatnya derajat seorang Muslim
Mu’min.
Terakhir, semoga tulisan ini bisa merubah beberapa paradigma: pertama,
paradigma lama tentang Ramadhan yang menyebar di masyarakat. Ibadah
Ramadhan jangan diartikan sebagai bulan ketakwaan saja tanpa ada bukti
yang jelas setelah berakhirnya bulan tersebut.
Kedua dengan merubah paradigma tersebut akan berpengaruh terhadap
kontinuitas aktifitas amal solih yang dilakukan diluar Ramadhan, ketiga
hendaknya Ramadhan yang telah dilalui dijadikan ajang latihan menempa
diri agar lebih bertakwa untuk menghadapi sebelas bulan berikutnya.
Demikianlah ulasan ringkas sekitar polemik Syawal, jangan kita melihat
apa arti bulan tersebut tapi bagaimana kita menyikapi bulan tersebut dan
bulan-bulan sesudahnya setelah satu bulan penuh kita berada dalam
karantina ketakwaan. Mudah-mudahan kita bisa mengambil ibroh dari ini
semua dengan tetap istiqomah dalam ketakwaan kepada Allah kapan saja dan
dimana saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar