Selasa, 18 Februari 2020

Makna Dan Pengertian Syawal


‎Bulan Syawal, Bulan ini dalam penanggalan atau Kalender Hijriah islam, adalah bulan ke-10. Arti kata syawal adalah naik, ringan, atau membawa (mengandung). Disebut demikian karena dahulu, ketika bulan-bulan hijriyah masih ‘disesuaikan’ dengan musim (praktek interkalasi), suhu meningkat karena berada pada musim panas seperti halnya Ramadhan. Selain itu, biasanya orang Arab mengamati bahwa pada bulan inilah unta-unta mengandung atau menaikkan ekornya sebagai tanda tidak mau dikawini. Karenanya, orang Arab juga memiliki kepercayaan bahwa bulan ini ‘tidak baik’ dan melihat pernikahan di bulan Syawal akan berakhir sial. Kepercayaan ini dihapus oleh islam dengan peristiwa pernikahan Nabi Muhammad saw.
Bulan syawal juga berada setelah bulan ramadhan dimana bulan ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, rahmat serta idkuminannar, dimana khususnya umat muslim digembleng langsung oleh Allah, nah dari arti kata diatas saja kalaulah kita memang ingin mendapatkan petunjuk dari Allah maka bukanlah suatu kebetulan semata. bulan ini juga terkenal dengan hari dimana kita meraih kemenangan setelah melaksanakan pertempuran melawan jin, syetan, iblis yang ingin menggoda manusia, dan dibulan ini pula konon katanya manusia menjadi seperti bayi yang baru dilahirkan.
Makna Syawal secara Bahasa
Ibnul ‘Allan asy Syafii mengatakan, “Penamaan bulan Syawal itu diambil dari kalimat Sya-lat al Ibil yang maknanya onta itu mengangkat atau menegakkan ekornya. Syawal dimaknai demikian, karena dulu orang-orang Arab menggantungkan alat-alat perang mereka, disebabkan sudah dekat dengan bulan-bulan haram, yaitu bulan larangan untuk berperang.”(Dalil al Falihin li Syarh Riyadh al Shalihin).
Ada juga yang mengatakan, dinamakan bulan syawal dari kata syalat an-Naqah bi Dzanabiha [arab: شالت الناقةُ بذنَبِها], artinya onta betina menaikkan ekornya. (Lisan Al-Arab, 11/374). Bulan syawal adalah masa di mana onta betina tidak mau dikawini para pejantan. Ketika didekati pejantan, onta betina mengangkat ekornya. Keadaan ini menyebabkan munculnya keyakinan sial di tengah masyarakat jahiliyah terhadap bulan syawal. Sehingga mereka menjadikan bulan syawal sebagai bulan pantangan untuk menikah. Ketika islam datang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam justru menikahi istri beliau di bulan syawal. Untuk membantah anggapan sial masyarakat jahiliyah. 
Memahami hal ini, kurang tepat jika dikatakan bahwa sebab mengapa bulan ini dinamakan syawal adalah karena bulan ini jatuh seusai ramadhan. Dan ketika itu manusia melakukan peningkatan dalam beramal dan berbuat baik. Ini jelas pemahaman yang tidak benar. Karena nama bulan “syawal” sudah ada sejak zaman ‎jahiliyah (sebelum datangnya islam), sementara masyarakat jahiliyah belum mengenal syariat puasa di bulan ramadhan. Dengan demikian, tidak terdapat hubungan  antara makna bahasa tersebut dengan pemahaman bahwa syawal adalah bulan peningkatan dalam beramal. Mengingatkan masyarakat untuk meningkatkan ibadah dan amal soleh termasuk nasehat baik, hanya saja, tidak perlu kita kaitkan dengan nama bulan syawal, karena dua hal ini tidak saling berhubungan.
Peristiwa Ibadah Di Syawal
Hari pertama di bulan Syawal, tentu saja merupakan Hari Raya Idul Fitri bagi umat islam setelah puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan. Pada 1 Syawal, kaum muslimin keluar rumah untuk melaksanakan sholat Idul Fitri.
Hari-hari berikutnya di bulan Syawal merupakan kesempatan untuk ‘menyempurnakan’ puasa ramadhan dengan Puasa Enam Hari di bulan Syawal. Dengan tambahan puasa enam hari ini, kaum muslimin bisa memperoleh pahala setara dengan puasa satu tahun.
Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rosululloh bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).
Bulan Syawal juga merupakan awal dimulainya bulan-bulan ibadah haji, karena sejak bulan inilah diperbolehkan berniat ihram untuk melakukan ibadah haji. Umrah yang dilakukan pada bulan ini juga bisa digabung dengan ibadah haji di bulan Dzulhijjah sehingga menjadi Haji Tammatu.
Peristiwa Sejarah
27 Syawal, Perjalanan Nabi saw. ke Thaif, tahun ke-10 kenabian.
13 Syawal, kelahiran ahli hadits Imam Bukhari
Syawal 1 H, Perang Bani Qainuqa
17 Syawal 3 H, Perang Uhud
Kelahiran Siti Aisyah dan pernikahannya dengan Nabi Muhammad saw. terjadi di bulan Syawal.
29 Syawal, pernikahan Fatimah dengan Ali ra.
Syawal 4 H, Pernikahan Nabi saw. dengan Ummu Salamah
Syawal 4 H, Kelahiran cucu Nabi saw., Hussain.
18 Syawal 5 H, Perang Khandaq (Ahzab, Parit)
6 Syawal 8 H, Perang Hunain
Demikianlah, semoga kita bisa mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa ibadah dan sejarah di dalam islam yang terjadi di bulan Syawal ini.‎
Polemik Dalam Makna  Bulan Syawal 
Dalam kalender Hijriyah, bulan yang mengiringi Ramadhan dinamai Syawal, bulan ini adalah merupakan bulan yang kesepuluh. Banyak orang memaknai Syawal sebagai bulan peningkatan, benarkah asumsi tersebut?… mengenai hal ini terdapat pro kontra yang menyebar di masyarakat Indonesia, untuk mengetahui lebih lanjut mari kita simak paparan di bawah ini.
Kelompok pertama menyebutkan bahwa Syawal adalah bulan peningkatan, mereka berdalil dengan makna dari Syawal itu sendiri yaitu irtifa’, naik dan meningkat.
Kemudian ada dua alasan yang lainnya adalah: pertama, meningginya derajat kaum Muslimin setelah mereka ikhlas dalam menunaikan shaum Ramadhan dan mendapatkan maghfiroh ampunan dari Allah, sebagaimana sabda Nabi:
“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan tulus karena Allah, maka dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah.” (HR. al-Bukhori dan Muslim)
Kedua, karena secara moral dan spiritual kaum Muslim harus mempertahankan dan meningkatkan nilai-nilai amaliyah Ramadhan pada bulan ini dan bulan-bulan berikutnya hingga datang Ramadhan tahun depan.
Dalam perspektif ini, Syawal justru bermakna bulan peningkatan ibadah dan amal solih sebagai kelanjutan logis dari pendidikan moral dan spiritual yang dilakukan selama Ramadhan.
Adapun kelompok kedua, mereka mengatakan Syawal bukanlah bulan peningkatan, mereka berdalil dengan makna Syawal yang dikemukakan oleh Ibnul ‘Allan asy-Syafii al-Makki dalam kitabnya Dalil al Falihin li Thuruq Riyadh al-Shalihin-Syarh Riyadh al Sholihin-, jilid 4 hal 63, terbitan Darul Fikr Beirut:
“Penamaan bulan Syawal itu diambil dari kalimat Syalat al-Ibil yang maknanya onta itu mengangkat atau menegakkan ekornya. Syawal dimaknai demikian karena dulu orang-orang Arab menggantungkan alat-alat perang karena sudah dekat dengan bulan-bulan haram (yang merupakan bulan terlarang perang di masa jahiliyyah.”
Jadi penamaan Syawal bukan karena bulan ini adalah bulan peningkatan amal, namun disebut Syawal karena di bulan ini orang-orang Arab mengangkat atau meninggikan alat-alat perang yang mereka miliki atau dengan bahasa lain gencatan senjata.
Mereka menggantungkan pedang, tombak dan lainnya karena dikhawatirkan akan terjadinya peperangan antar sesama mereka yang tentunya hal itu diharamkan mengingat bulan Syawal merupakan salah satu bulan dari bulan-bulan yang diharamkan di dalamnya untuk berperang. Jika mereka masing-masing menenteng pedang dan senjata yang lainnya di bulan Syawal sangat dimungkinkan mereka akan melanggar larangan berperang di bulan tersebut.
Inilah dua kubu yang saling berseberangan dalam memahami makna Syawal. Yang lebih penting dari itu perbedaan pemahaman tentang Syawal akan berimbas kepada rutinitas ibadah yang dilakukan selama Ramadhan.
Kelompok pertama tentu akan mengatakan “Ramadhan telah lewat amal ibadah dan pahala yang Allah berikan tidak akan dilipat gandakan lagi, jadi tidak perlu berlebihan dalam ibadah layaknya bulan Ramadhan”.
Sedang kelompok kedua akan mengatakan sebaliknya “Syawal adalah bulan peningkatan ibadah setelah satu bulan digembleng dalam ketakwaan, bulan ini adalah bulan bukti keimanan dan ketakwaan kita bertambah dari bulan sebelum Ramadhan, maka dari itu kita harus meningkatkan ibadah kita dibulan ini”.
Terlepas dari itu semua, ibadah yang kita latih selama satu bulan yang pelatihnya langsung dari Allah, sebenamya aplikasinya pada 11 bulan ke depan, bukan hanya Syawal saja. Ibarat seseorang atau sekelompok orang mengikuti pelatihan yang berlangsung selama satu bulan maka, diharapkan para peserta dapat memperaktikan hasil pelatihan tersebut yang telah dilaksanakannnya.
Nah, sebagai ummat Islam yang telah menyelesaikan shaum dan berbagai ibadah lainnya di bulan Ramadhan karena Allah semata bukan yang lainnya. Mari lestarikan amal salih tersebut dan harus bisa ditambah jangan sampai berkurang apalagi hilang.
Prinsip kita sebagai Muslim yang ikhlas adalah: tak peduli apakah bulan Ramadhan atau bukan semua aktifitas ibadah tetap dilakukan, hanya saja mungkin di bulan Ramadhan ada tambahan waktu mengingat di bulan ini semua amal ibadah Allah lipat gandakan, sebagaimana sabda Nabi:
Allah berfirman: “Setiap amal perbuatan anak Adam yamj berupa kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya dengan sepuluh kali sehingga tujuh ratus kali lipat. Kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang afcan memberikan balasannya” (HR. Muslim)
Ketika masa-masa pelatihan usai, kita buktikan akan peningkatan keimanan dan keislaman kita dengan menjaga kesucian dan keluhuran diri. Iman dan takwa yang diraih pada buian Ramadhan dipelihara hingga bertemu dengan bulan Ramadhan berikutnya jangan sampai menyusut, segala amal perbuatan yang tidak ada gunanya atau bahkan melalaikan dibuang jauh-jauh, terlebih yang haram terbersit dalam hati saja tidak apalagi dilirik. Tentunya, ini semua dilakukan demi meraih bukti peningkatan keislaman kita, sebagaimana sabda Nabi:
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah pernah bersabda: “Sebagian tanda dari baiknya keislaman seseorang ialah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.” (HR. at-Tirmidzi dan lainnya)
Ketika kontinyu dalam ibadah dan amal solih sekalipun diluar Romadhon, maka indikasi istiqomah pun ada dalam diri kita. Sedang istiqomah itu sendiri adalah salah satu alamat meningkatnya derajat seorang Muslim Mu’min.
Terakhir, semoga tulisan ini bisa merubah beberapa paradigma: pertama, paradigma lama tentang Ramadhan yang menyebar di masyarakat. Ibadah Ramadhan jangan diartikan sebagai bulan ketakwaan saja tanpa ada bukti yang jelas setelah berakhirnya bulan tersebut.
Kedua dengan merubah paradigma tersebut akan berpengaruh terhadap kontinuitas aktifitas amal solih yang dilakukan diluar Ramadhan, ketiga hendaknya Ramadhan yang telah dilalui dijadikan ajang latihan menempa diri agar lebih bertakwa untuk menghadapi sebelas bulan berikutnya.
Demikianlah ulasan ringkas sekitar polemik Syawal, jangan kita melihat apa arti bulan tersebut tapi bagaimana kita menyikapi bulan tersebut dan bulan-bulan sesudahnya setelah satu bulan penuh kita berada dalam karantina ketakwaan. Mudah-mudahan kita bisa mengambil ibroh dari ini semua dengan tetap istiqomah dalam ketakwaan kepada Allah kapan saja dan dimana saja.‎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar