Di antara kemudahan dalam syar’at Islam adalah memberi keringanan kepada
wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa. Jika wanita hamil takut
terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut
terhadap bayi yang dia sapih –misalnya takut kurangnya susu- karena
sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan
hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ
وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk
musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.”
[HR. An Nasai no. 2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4/347. ]
Puasa di bulan ramadhan adalah salah satu rukun islam yang wajib
dikerjakan oleh setiap umat muslim. Para ulama telah sepakat bahwa bagi
orang tua renta yang sudah tidak bisa menjalankan ibadah puasa karena
udzur dan tidak mungkin menggantinya di hari yang lain maka baginya
boleh tidak berpuasa di bulan ramadhan.
Namun, muncul pertanyaan bagaimana hukumnya puasa ramadhan bagi wanita
hamil dan menyusui. Yang mana masih memungkinkan baginya untuk
mengqadhanya di hari setelah dia tidak hamil dan menyusui lagi. Apakah
wajib baginya qadha puasa saja ataukah juga harus membayar fidyah
(memberi makan faqir miskin).
Dalam hal ini wanita yang hamil dan menyusui mengalami tiga macam
keadaan. Yang Pertama adakalanya dia hanya khawatir terhadap dirinya
sendiri jika berpuasa. Kemudian yang kedua adakalanya dia khawatir
terhadap dirinya dan buah hatinya. Dan yang ketiga adakalanya dia hanya
khawatir terhadap buah hatinya saja.
Mari kita simak langsung saja pemaparan para ulama 4 madzhab mengenai wanita yang hamil dan menyusui dibulan ramadhan.
Madzhab Hanafi
Ibnul Humam (w. 681 H) dalam kitab Fathul Qadir mengatakan bahwa seorang
wanita yang hamil dan menyusui di bulan ramadhan jika dia khawatir
terhadap dirinya atau anaknya maka boleh baginya tidak berpuasa dan
hanya mengqadha di hari lain saja. Tidak perlu baginya membayar fidyah.
والحامل والمرضع إذا خافتا على أنفسهما أو ولديهما أفطرتا وقضتا دفعا للحرج
. ولا كفارة عليهما لأنه إفطار بعذر ولا فدية عليهما خلافا للشافعي - رحمه
الله - فيما إذا خافت على الولد، هو يعتبره بالشيخ الفاني. ولنا أن الفدية
بخلاف القياس في الشيخ الفاني، والفطر بسبب الولد ليس في معناه لأنه عاجز
بعد الوجوب، والولد لا وجوب عليه أصلا
Wanita yang hamil dan menyusui jika dia khawatir atas dirinya atau
anaknya maka baginya untuk berbuka dan mengqadhanya dihari yang lain.
Tidak wajib baginya membayar fidyah.
Ibnu Abdin (w. 1252 H) dalam kitab Radd Al-Muhtar ala Ad-Dur Al-Mukhtar
mengatakan bahwa seorang wanita yang hamil dan menyusui di bulan
ramadhan maka boleh baginya tidak berpuasa dan hanya mengqadha di hari
lain saja. Tidak perlu baginya membayar fidyah. Dalam hal ini beliau
sependapat dengan Ibnul Humam.
فصل في العوارض المبيحة لعدم الصوم وقد ذكر المصنف منها خمسة وبقي الإكراه
وخوف هلاك أو نقصان عقل ولو بعطش أو جوع شديد ولسعة حية (لمسافر) سفرا
شرعيا ولو بمعصية (أو حامل أو مرضع) لو جاء رمضان الثاني (قدم الأداء على
القضاء) ولا فدية لما مر خلافا للشافعي
Faslun : hal hal yang dibolehkan untuk tidak berpuasa salah satunya
adalah wanita hamil dan menyusui. Jika sampai datang bulan ramadhan
berikutnya maka baginya cukup dengan mengqadha saja tanpa membayar
fidyah. Berbeda dengan Imam Syafiiy.
Madzhab Maliki
Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) dalam kitab Al-Istidzkar mengatakan bahwa
wanita yang hamil dan menyusui di bulan ramadhan boleh baginya tidak
berpuasa dan hanya dibebani untuk membayar fidyah saja. Dan tidak perlu
baginya mengqadha di hari yang lain.
أن الحامل والمرضع والشيخ الكبير والمفرط في رمضان حتى يدخل عليه رمضان آخر
لا يؤمر واحد منهم بعتق ولا صيام مع القضاء وإنما يؤمر بالإطعام فالإطعام
له مدخل من الصيام ونظائر من الأصول فهذا ما اختاره مالك وأصحابه
Sesungguhnya wanita hamil dan menyusui, orang tua renta yang tidak
berpuasa hingga akhirnya dia melewati bulan ramadhan berikutnya maka
baginya hanya membayar fidyah saja. Tidak wajib baginya mengqadha dihari
yang lain. Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh imam Malik dan
para sahabatnya.
Al-Qorofi (w. 684 H) dalam kitab Adz-Dzakhiroh membedakan antara ibu
hamil dan ibu menyusui. Seorang ibu yang hamil boleh baginya tidak
berpuasa dan baginya hanya mengqadha’ saja. Adapun ibu yang menyusui
boleh baginya tidak berpuasa dan baginya hanya membayar fidyah saja.
الثالث خوف المرضع على ولدها في الكتاب إن لم يقبل غيرها أو قبله وعجزت عن
إجارته أفطرت وأطعمت لكل يوم مسكينا مدا. الرابع الخوف على الحمل في الكتاب
إن خافت على ولدها فأفطرت لا تطعم وتقضي لأنها مريضة
Yang ketiga : kekhawatiran seorang ibu yang menyusui anaknya jika bainya
tidak mau disusui oleh orang lain atau mau disusui orang lain tapi sang
ibu tidak mampu membayar biaya menyusui maka baginya boleh tidak
berpuasa dan harus membayar fidyah satu mud kepada orang miskin. Ang
keempat : seorang ibu yang khawatir terhadap kahamilannya maka boleh
baginya tidak berpuasa dan harus mengqadha dihari yang lain tanpa harus
membayar fidyah. Karena dia diibaratkan seperti orang yang sakit.
Madzhab Asy-Syafi’i
Imam An-Nawawi (w. 676 H) dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab
mengatakan bahwa wanita yang hamil dan menyusui di bulan ramadhan jika
dia khawatir akan dirinya saja maka baginya boleh tidak berpuasa dan
harus mengqadha dengan tanpa membayar fidyah. Dan jika dia khawatir
terhadap dirinya dan buah hatinya maka boleh tidak berpuasa dan harus
mengqodho dengan tanpa membayar fidyah. Namun jika dia hanya khawatir
terhadap buah hatinya saja maka baginya harus mengqadha puasa dan wajib
membayar fidyah.
قال أصحابنا: الحامل والمرضع إن خافتا من الصوم على أنفسهما أفطرتا وقضتا
ولا فدية عليهما كالمريض وهذا كله لا خلاف فيه وإن خافتا على أنفسهما
وولديهما فكذلك بلا خلاف صرح به الدارمي والسرخسي وغيرهما وإن خافتا على
ولديهما لا على أنفسهما أفطرتا وقضتا بلا خلاف وفي الفدية هذه الأقوال التي
ذكرها المصنف (أصحها) باتفاق الأصحاب وجوبها كما صححه المصنف وهو المنصوص
في الأم والمختصر وغيرهما قال صاحب الحاوى: هو نصه في القديم والجديد
Ashabuna mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui jika dia khawatir
akan dirinya saja maka baginya mangqadha tanpa membayar fidyah.dan jika
dia khawatir akan dirinya dan buah hatinya maka baginya juga mengqadha
tanpa membaar fidyah. Dan jika dia khawatir terhadap anaknya maka
baginya wajib mengqadha dan membayar fidyah. Inilah yang dinaskan dalam
kitab al-umm. Bahkan juga terdapat dalam qoul qodim dan qoul jadid.
Imam Abdurrahman al-Juzairi:
اَلشَّافِعِيَّةُ قَالُوا اَلْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا
بِالصَّوْمِ ضَرَرًا لَا يُحْتَمَلُ سَوَاءٌ كَانَ الْخَوْفُ عَلَى
أَنْفُسِهِمَا وَوَلِدَيْهِمَا مَعًا أَوْ عَلَى أَنْفُسِهِمَا فَقَطْ أَوْ
عَلَى وَلَدَيْهِمَا فَقَطْ وَجَبَ عَلَيْهِمَا الْفِطْرُ وَعَلَيْهِمَا
الْقَضَاءُ فِي الْأَحْوَالِ الثَّلَاثَةِ وَعَلَيْهِمَا أَيْضًا
اَلْفِدَيَةُ مَعَ الْقَضَاءِ فِي الْحَالَةِ الْأَخِيرَةِ وَهِيَ مَا
إِذَا كَانَ الْخَوْفُ عَلَى وَلَدِهِمَا فَقَطْ
“Madzhab syafii berpendapat, bahwa perempuan hamil dan menyusui ketika
dengan puasa khawatir akan adanya bahaya yang tidak diragukan lagi, baik
bahaya itu membahayakan dirinnya beserta anaknya, dirinya saja, atau
anaknya saja. Maka dalam ketiga kondisi ini mereka wajib meninggalkan
puasa dan wajib meng-qadla`nya. Namun dalam kondisi ketiga yaitu ketika
puasa itu dikhawatirkan memmbayahakan anaknya saja maka mereka juga
diwajibkan membayar fidyah”. (Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala
Madzahib al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-2, h.
521).
Madzhab Hanbali
Ibnu Qudamah (w. 620 H) di dalam kitab Al-Mughni mengatakan bahwa wanita
yang hamil dan menyusui jika khawatir terhadap buah hatinya maka
baginya boleh tidak berpuasa dan harus mengqadha dan membayar fidyah.
Namun jika keduanya hanya khawatir terhadap dirinya saja maka bagi
mereka qadha puasa saja tanpa harus membayar fidyah.
مسألة: قال: (والحامل إذا خافت على جنينها، والمرضع على ولدها، أفطرتا،
وقضتا، وأطعمتا عن كل يوم مسكينا) وجملة ذلك أن الحامل والمرضع، إذا خافتا
على أنفسهما، فلهما الفطر، وعليهما القضاء فحسب. لا نعلم فيه بين أهل العلم
اختلافا؛ لأنهما بمنزلة المريض الخائف على نفسه. وإن خافتا على ولديهما
أفطرتا، وعليهما القضاء وإطعام مسكين عن كل يوم. وهذا يروى عن ابن عمر. وهو
المشهور من مذهب الشافعي
Masalah : wanita yang hamil jika khawatir terhadap janinnya dan wanita
menyusui khawatir terhadap anaknya maka baginya untuk tidak puasa dan
harus mengqadha dan membayar fidyah.satu hari satu faqir miskin. Dan
jika keduanya khawatir terhadap dirinya maka bagi keduanya untuk
mengqadha saja.karena dalam hal ini seperti orang yang sedang sakit.
Madzhab Adz-Dzahiri
Ibnu Hazm (w. 456 H) berpendapat di dalam kitab Al-Muhalla bil Atsar
bahwa wanita yang hamil dan menyusui jika khawatir akan buah hatinya
maka baginya boleh tidak berpuasa tanpa harus mengqadha dan membayar
fidyah.
مسألة: - والحامل، والمرضع، والشيخ الكبير كلهم مخاطبون بالصوم فصوم رمضان
فرض عليهم، فإن خافت المرضع على المرضع قلة اللبن وضيعته لذلك ولم يكن له
غيرها، أو لم يقبل ثدي غيرها، أو خافت الحامل على الجنين، أو عجز الشيخ عن
الصوم لكبره: أفطروا ولا قضاء عليهم ولا إطعام، فإن أفطروا لمرض بهم عارض
فعليهم القضاء
Masalah : wanita yang hamil, wanita yang menyusui dan orang tua renta
wajib bagi mereka berpuasa. Jika wanita yang hamil dan menyusui khawatir
terhadap buah hatinya maka bagi keduanya tidak perlu qadha dan tidak
pula membayar fidyah. Tapi jika mereka tidak puasa itu karena sakit maka
wajib bagi mereka untuk mengqadha.
Inilah pendapat para ulama pada tiap tiap madzhab mengenai wanita yang
hamil dan menyusui di bulan ramadhan. Jika kita perhatikan ternyata
pendapat Mahzhab Dzohiri ini sangat berbeda jauh sekali dibanding dengan
madzhab-madzhab yang lain. Karena menurut pendapat Madzhab Dzohiri
bahwa wanita yang hamil dan menyusui itu tidak wajib baginya puasa,qadha
dan fidyah.
Perselisihan Ulama
Namun apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa,
apakah ada qodho’ ataukah mesti menunaikan fidyah? Inilah yang
diperselisihkan oleh para ulama.
Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Para ulama salaf telah berselisih
pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat. ‘Ali berpendapat
bahwa wanita hamil dan menyusui wajib qodho’ jika keduanya tidak
berpuasa dan tidak ada fidyah ketika itu. Pendapat ini juga menjadi
pendapat Ibrahim, Al Hasan dan ‘Atho’. Ibnu ‘Abbas berpendapat cukup
keduanya membayar fidyah saja, tanpa ada qodho’. Sedangkan Ibnu ‘Umar
dan Mujahid berpendapat bahwa keduanya harus menunaikan fidyah sekaligus
qodho’.”[Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al Jashshosh, 1/224,
Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, Beirut, 1405.]
Lengkapnya dalam masalah ini ada lima pendapat.
Pendapat pertama: wajib mengqodho’ (mengganti) puasa dan memberi makan
kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat
Imam Asy Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad. Namun menurut ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah, jika wanita hamil dan menyusui takut sesuatu
membahayakan dirinya (tidak anaknya), maka wajib baginya mengqodho’
puasa saja karena keduanya disamakan seperti orang sakit.
Pendapat kedua: cukup mengqodho’ saja. Inilah pendapat Al Auza’i, Ats
Tsauriy, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Abu Tsaur dan Abu ‘Ubaid.
Pendapat ketiga: cukup memberi makan kepada orang miskin tanpa
mengqodho’. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu ‘Umar, Ishaq, dan Syaikh Al
Albani.
Pendapat keempat: mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita
menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin
bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Malik dan ulama
Syafi’iyah.
Pendapat kelima: tidak mengqodho’ dan tidak pula memberi makan kepada
orang miskin. Inilah pendapat Ibnu Hazm.[Lihat Bidayatul Mujtahid wa
Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd Al Qurthubi Al Andalusi, hal. 276, Darul
Kutub Al ‘Ilmiyah, cetakan ketiga, 1428 H; Shahih Fiqh Sunnah, Abu
Malik Kamal bin As Sayid Salim, 2/125-126, Al Maktabah At Taufiqiyah.]
Dalil Ulama yang Mengharuskan Penunaian Fidyah
Firman Allah Ta’ala,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS.
Al Baqarah: 184). Menurut ulama yang berpendapat seperti ini, mereka
mengatakan bahwa kewajiban fidyah masih berlaku bagi orang yang sudah
tua renta, juga bagi wanita hamil dan menyusui.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
رخص للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة في ذلك وهما يطيقان الصوم أن يفطرا إن
شاءا ويطعما كل يوم مسكينا ولا قضاء عليهما ثم نسخ ذلك في هذه الاية : (
فمن شهد منكم الشهر فليصمه ) وثبت للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة لذا كانا
لا يطيقان الصوم والحبلى والمرضع إذا خافتا أفطرتا وأطعمتا كل يوم مسكينا
“Keringanan dalam hal ini adalah bagi orang yang tua renta dan wanita
tua renta, lalu mereka mampu berpuasa. Mereka berdua berbuka jika mereka
mau dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari yang
ditinggalkan, pada saat ini tidak ada qodho’ bagi mereka. Kemudian hal
ini dihapus dengan ayat (yang artinya): “Karena itu, barang siapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Namun hukum fidyah ini masih
tetap ada bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta jika mereka
tidak mampu berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika
khawatir mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan
memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.”
[Dikeluarkan oleh Ibnul Jarud dalam Al Muntaqho dan Al Baihaqi. Lihat
Irwa’ul Gholil 4/18]
Dalam riwayat Abu Daud,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ
مِسْكِينٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ
الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا
مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا
خَافَتَا – قَالَ أَبُو دَاوُدَ يَعْنِى عَلَى أَوْلاَدِهِمَا –
أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا.
Dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman Allah (yang artinya), “Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin,” beliau
mengatakan, “Ayat ini menunjukkan keringanan bagi laki-laki dan
perempuan yang sudah tua renta dan mereka merasa berat berpuasa, mereka
dibolehkan untuk tidak berpuasa, namun mereka diharuskan untuk memberi
makan setiap hari satu orang miskin sebagai ganti tidak berpuasa. Hal
ini juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir
–Abu Daud mengatakan: khawatir pada keselamatan anaknya-, mereka
dibolehkan tidak berpuasa, namun keduanya tetap memberi makan (kepada
orang miskin).”[HR. Abu Daud no. 2318. Ibnul Mulaqqin mengatakan bahwa
hadits ini shahih atau hasan sebagaimana dalam Tuhfatul Muhtaaj,
2/102.]
Dalam perkataan lainnya, Ibnu ‘Abbas menyamakan wanita hamil dan
menyusui dengan tua renta yaitu sama dalam membayar fidyah. Dari Ibnu
‘Abbas, beliau dulu pernah menyuruh wanita hamil untuk tidak berpuasa di
bulan Ramadhan. Beliau mengatakan,
أنت بمنزلة الكبير لا يطيق الصيام ، فأفطري وأطعمي عن كل يوم نصف صاع من حنطة
“Engkau seperti orang tua yang tidak mampu berpuasa, maka berbukalah dan
berilah makan kepada orang miskin setengah sho’ gandum untuk setiap
hari yang ditinggalkan.”[Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq dengan sanad
yang shahih]
Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Dari Nafi’, dia berkata,
كانت بنت لابن عمر تحت رجل من قريش وكانت حاملا فأصابها عطش في رمضان فأمرها إبن عمر أن تفطر وتطعم عن كل يوم مسكينا
“Putri Ibnu Umar yang menikah dengan orang Quraisy sedang hamil. Ketika
berpuasa di bulan Ramadhan, dia merasa kehausan. Kemudian Ibnu ‘Umar
memerintahkan putrinya tersebut untuk berbuka dan memberi makan orang
miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.”[Lihat Irwa’ul Gholil, 4/20.
Sanadnya shahih]
Dalil Ulama yang Mengharuskan Qodho’
Alasan pertama: Dari Anas bin Malik, ia berkata,
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa
dari wanita hamil dan menyusui.” [HR. An Nasai no. 2274 dan Ahmad 5/29.]
Al Jashshosh rahimahullah menjelaskan,
“Keringanan separuh shalat tentu saja khusus bagi musafir. Para ulama
tidak ada beda pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui bahwa mereka
tidak dibolehkan mengqoshor shalat. … Keringanan puasa bagi wanita hamil
dan menyusui sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. … Dan
telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa
adalah mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang
demikian pada wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan antara wanita hamil dan menyusui jika keduanya
khawatir membahayakan dirinya atau anaknya (ketika mereka berpuasa)
karena Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal
ini.”[Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al Jashshosh, 1/224]
Perkataan Al Jashshosh ini sebagai sanggahan terhadap pendapat keempat
yaitu ulama yang berpendapat wajib mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan
bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada
orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.
Alasan kedua: Selain alasan di atas, ulama yang berpendapat cukup
mengqodho’ saja (tanpa fidyah) menganggap bahwa wanita hamil dan
menyusui seperti orang sakit. Sebagaimana orang sakit boleh tidak puasa,
ia pun harus mengqodho’ di hari lain. Ini pula yang berlaku pada wanita
hamil dan menyusui. Karena dianggap seperti orang sakit, maka mereka
cukup mengqodho’ sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)
Pendapat ini didukung pula oleh ulama belakangan
“الحامل والمرضع حكمهما حكم المريض ، إذا شق عليهما الصوم شرع لهما الفطر ،
وعليهما القضاء عند القدرة على ذلك ، كالمريض ، وذهب بعض أهل العلم إلى
أنه يكفيهما الإطعام عن كل يوم : إطعام مسكين ، وهو قول ضعيف مرجوح ،
والصواب أن عليهما القضاء كالمسافر والمريض ؛ لقول الله عز وجل : ( فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
) البقرة/184” اهـ
“Hukum wanita hamil dan menyusui jika keduanya merasa berat untuk
berpuasa, maka keduanya boleh berbuka (tidak puasa). Namun mereka punya
kewajiban untuk mengqodho (mengganti puasa) di saat mampu karena mereka
dianggap seperti orang yang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa
cukup baginya untuk menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang
miskin) untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa. Namun pendapat ini
adalah pendapat yang lemah. Yang benar, mereka berdua punya kewajiban
qodho’ (mengganti puasa) karena keadaan mereka seperti musafir atau
orang yang sakit (yaitu diharuskan untuk mengqodho’ ketika tidak
berpuasa, -pen). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya),
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)
Sanggahan untuk Ulama yang Menggabungkan antara Fidyah dan Qodho’
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah ketika menjelaskan perselisihan
ulama mengenai puasa wanita hamil dan menyusui, beliau mengatakan,
فمنهم من ذهب إلى أنهما تفطران وتطعمان وتقضيان من هؤلاء سفيان ومالك والشافعي وأحمد ، ولا أعلم لهذا الفريق دليلا من الكتاب والسنة
“Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa wanita hamil dan
menyusui boleh tidak puasa, namun ia harus menggantinya dengan
menunaikan fidyah dan mengqodh0’ (mengganti) puasanya. Yang berpendapat
seperti ini adalah Sufyan, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad. Aku tidak
mengetahui adanya dari Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah mengenai
pendapat ini.”[Jaami’ Ahkamin Nisa’, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi,
5/223-224, Darus Sunnah, cetakan pertama, 1413 H.]
Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa diharuskannya mengqodho’ bagi
yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan
memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan,
maka disanggah oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Beliau mengatakan,
وقال مالك: أما المرضع فتفطر وتطعم عن كل يوم مسكنا وتقضى مع ذلك، وأما
الحامل فتقضى ولا اطعام عليها ولا يحفط هذا التقسيم عن احد من الصححابة
والتابعين
“Imam Malik berpendapat bahwa adapun wanita menyusui, maka ia dibolehkan
untuk tidak berpuasa dan diharuskan untuk mengganti puasannya dengan
menunaikan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap
hari yang ditinggalkan, dan ia juga diharuskan untuk mengqodho’
puasanya. Sedangkan untuk wanita hamil ia cukup mengqodho’, tanpa
menunaikan fidyah. Mengenai pembagian semacam ini sama sekali tidak
diketahui adanya sahabat dan tabi’in yang berpegang dengannya.”[Al
Muhalla, Ibnu Hazm, 6/264, Mawqi’ Ya’sub.]
Ibnu Rusyd Al Maliki rahimahullah mengatakan,
ومن أفرد لهما أحد الحكمين أولى – والله أعلم – ممن جمع كما أن من أفردهما
بالقضاء أولى ممن أفردهما بالاطعام فقط، لكون القراءة غير متواترة فتأمل
هذا، فإنه بين.
“Barangsiapa yang memilih qodho’ saja atau fidyah saja itu lebih utama
–wallahu a’lam- daripada menggabungkan antara keduanya. Adapun memilih
mengqodho’ saja itu lebih utama daripada memilih menunaikan fidyah saja.
Alasannya karena qiro’ah (yang menyebabkan adanya hukum fidyah saja
bagi wanita hamil-menyusui) adalah riwayat yang tidak mutawatir.
Renungkanlah hal ini karena hal tersebut begitu jelas.” [Lihat Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, hal. 277.]
Sanggahan untuk Ulama yang Menyatakan Tidak Ada Qodho’ dan Tidak Ada Fidyah
Yang berpendapat semacam ini adalah Ibnu Hazm rahimahullah. Pendapat ini
beralasan bahwa hukum asalnya adalah seseorang terlepas dari kewajiban.
Ibnu Hazm rahimahullah –nama kunyahnya Abu Muhammad- berkata,
فلم يتفقوا على ايجاب القضاء ولا على ايجاب الاطعام فلا يجب شئ من ذلك إذ لا نص في وجوبه ولا اجماع
“Para ahli fiqih pun belum sepakat adanya kewajiban qodho’ dan fidyah
(memberi makan pada orang miskin). Sehingga tidak ada sama sekali
kewajiban (bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa, -pen)
karena tidak ada satu pun dalil yang mewajibkannya dan tidak ada pula
klaim ijma’ (kesepakatan ulama) dalam hal ini.”[ Al Muhalla, 6/264]
Namun perkataan di atas dapat saja disanggah dengan kita katakan bahwa
sesungguhnya perselisihan semata tidak bisa menggugurkan suatu dalil,
namun hendaknya mengambil pendapat dari orang yang memiliki dalil yang
lebih kuat. Seandainya setiap perselisihan yang terjadi antara ahli fiqh
itu dijadikan sebab untuk menghukumi gugurnya suatu dalil yang menjadi
sandaran hukum, niscaya tidak akan ada hukum syar’i yang bertahan
kecuali sedikit.
Pendapat Ibnu Hazm juga disanggah
فمن المسائل المنسوبة إليكم القول بسقوط القضاء والإطعام عن الحامل والمرضع
مع أنه لا قائل من أهل العلم بسقوط القضاء والإطعام عنهما سوى ابن حزم في
المحلى ، وقوله هذا شاذ مخالف للأدلة الشرعية ولجمهور أهل العلم فلا يلتفت
إليه ولا يعول عليه ، مع العلم بأن أرجح الأقوال في ذلك وجوب القضاء عليهما
من دون إطعام لعموم الأدلة الشرعية في حق المريض والمسافر ، وهما من
جنسهما ، ولحديث أنس بن مالك الكعبي في ذلك .
“Tidak ada satu pun ulama yang berpendapat gugurnya qodho’ dan fidyah
bagi wanita hamil dan menyusui selain Ibnu Hazm dalam Al Muhalla.
Pendapatnya ini adalah pendapat yang syadz (menyimpang), yaitu
menyelisihi dalil-dalil syar’i yang digunakan oleh mayoritas ulama. Oleh
karena itu, pendapat tersebut tidak perlu diperhatikan dan tidak perlu
diikuti. Pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah diwajibkan untuk
qodho’ bagi wanita hamil dan menyusui, tanpa perlu menunaikan fidyah.
Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits syar’i yang membicarakan
wajibnya qodho’ bagi orang yang sakit dan musafir (ketika ia tidak
berpuasa). Wanita hamil dan menyusui adalah semisal orang sakit dan
musafir. Dasar dari hal ini disebutkan dalam hadits Anas bin Malik Al
Ka’bi.”
Mengkritisi Pendapat Ibnu ‘Abbas
Sebagaimana yang telah kami nukilkan di awal tulisan, Ibnu ‘Abbas
berpendapat bahwa hukum yang disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 184
belumlah dihapus yaitu masih disyariatkan fidyah pada wanita hamil dan
menyusui. Inilah alasan ulama yang menyatakan bahwa wanita hamil dan
menyusui yang tidak berpuasa cukup menunaikan fidyah saja, tanpa
mengqodho’. Ayat yang dimaksud adalah,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS.
Al Baqarah: 184).
Namun pendapat yang benar, ayat di atas telah dinaskh (dihapus) dengan ayat,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”
(QS. Al Baqarah: 185)
Surat Al Baqarah ayat 184 yang disebutkan di atas menerangkan bahwa
orang yang mampu untuk berpuasa, maka ia punya pilihan untuk berpuasa
ataukah menunaikan fidyah. Ayat ini telah dihapus dengan ayat
setelahnya, yaitu ayat 185, yang menerangkan mengenai penegesan wajibnya
puasa. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Salamah bin Al
Akwa’. [Lihat Shahih Al Bukhari pada Bab firman Allah Ta’ala “Wa
‘alalladziina yuthiqunahu fidyah”.]
Namun kenapa Ibnu ‘Abbas berpendapat adanya fidyah bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa?
Ini berasal dari qiro’ah ayat 184 yang dipilih oleh Ibnu ‘Abbas. Sebagaimana disebutkan riwayat dalam Shahih Al Bukhari,
حَدَّثَنِى إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ
إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عَطَاءٍ سَمِعَ ابْنَ
عَبَّاسٍ يَقْرَأُ ( وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ
مِسْكِينٍ ) . قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ ، هُوَ
الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ
يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
Dari ‘Atho’, ia mendengar Ibnu ‘Abbas membaca ayat tersebut dengan bacaan,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang dibebani menjalankannya
(yuthowwaquunahu) [Demikianlah maksudyuthowwaquunahu yaitu orang yang
dibebani sedangkan ia tidak mampu. Berarti wanita hamil dan menyusui pun
masih dikenakan fidyah berdasarkan qiro’ah Ibnu ‘Abbas ini. Lihat
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 8/180, Darul Ma’rifah, 1379.]
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” Lantas Ibnu
‘Abbas mengatakan, “Ayat ini tidaklah dimansukh (dihapus). Ayat ini
masih berlaku pada laki-laki yang sudah tua renta, pada perempuan yang
sudah tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa. Maka mereka punya
kewajiban untuk menunaikan fidyah, yaitu memberi makan pada orang miskin
bagi setiap hari yang ditinggalkan.[HR. Bukhari no. 4505, Bab firman
Allah “Ayyamam Ma’duudaat …”]
Ibnu Hajar dalam Al Fath ketika menjelaskan riwayat di atas, beliau menerangkan,
هَذَا مَذْهَب اِبْن عَبَّاس ، وَخَالَفَهُ الْأَكْثَر ، وَفِي هَذَا الْحَدِيث الَّذِي بَعْده مَا يَدُلّ عَلَى أَنَّهَا مَنْسُوخَة
“Inilah yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas, namun qiro’ah ini diselisihi
oleh kebanyakan ulama. Hadits yang disebutkan oleh Al Bukhari setelah
ini menunjukkan bahwa ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 184) telah
dimansukh.”[Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 8/180, Darul Ma’rifah,
1379.]
Selain berargumen dengan alasan di atas, mengenai pendapat yang
menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui cukup menunaikan fidyah saja
ketika tidak berpuasa, kita katakan bahwa pendapat tersebut hanyalah
pendapat sahabat yaitu Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, dan bukanlah riwayat
marfu’ sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Takhtimah
Setelah panjang lebar membahas dalil-dalil yang digunakan oleh
masing-masing pihak dan menyanggah pendapat yang dinilai kurang tepat,
maka kami menyimpulkan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa wanita hamil
dan menyusui –ketika tidak berpuasa- cukup mengqodho’ tanpa menunaikan
fidyah karena kuatnya dalil yang disampaikan oleh ulama yang berpegang
dengan pendapat ini.
Kondisi ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui yang masih
mampu menunaikan qodho’. Dalam kondisi ini dia dianggap seperti orang
sakit yang diharuskan untuk mengqodho’ di hari lain ketika ia tidak
berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu untukk mengqodho’ puasa,
karena setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat
lagi, maka kondisi mereka dianggap seperti orang sakit yang tidak
kunjung sembuhnya. Pada kondisi ini, ia bisa pindah pada penggantinya
yaitu menunaikan fidyah, dengan cara memberi makan pada satu orang
miskin setiap harinya.
Catatan penting yang perlu diperhatikan bahwa wanita hamil dan menyusui
boleh tidak berpuasa jika memang ia merasa kepayahan, kesulitan, takut
membahayakan dirinya atau anaknya. Al Jashshosh rahimahullahmengatakan,
“Jika wanita hamil dan menyusui berpuasa, lalu dapat membahayakan diri,
anak atau keduanya, maka pada kondisi ini lebih baik bagi keduanya untuk
tidak berpuasa dan terlarang bagi keduanya untuk berpuasa. Akan tetapi,
jika tidak membawa dampak bahaya apa-apa pada diri dan anak, maka lebih
baik ia berpuasa, dan pada kondisi ini tidak boleh ia tidak
berpuasa.”[Ahkamul Qur’an, Al Jashshosh, 1/223.]
Untuk mengetahui apakah puasa perempuan yang sedang menyusui itu
membahayakan atau tidak, dapat diketahui berdasarkan kebiasaan
sebelum-sebelumnya, keterangan medis atau dugaan yang kuat. Hal ini
sebagaimana dikemukakan as-Sayyid Sabiq:
مَعْرِفَةُ ذَلِكَ بِالتَّجْرِبَةِ أَوْ بِإِخْبَارِ الطَّبِيبِ الثِّقَةِ أَوْ بِغَلَبَةِ الظَّنِّ
“Untuk mengetahui apakah puasa tersebut bisa membahayakan (bagi dirinya
beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja)bisa melalui kebiasaan
sebelum-sebelumnya, keterangan dokter yang terpecaya, atau dengan dugaan
yang kuat” (As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Kairo-Fath al-I’lam
al-‘Arabi, 2001, juz, 2, h. 373)
Setelah kita mengetahui kedudukan hukum berpusa bagi orang yang sedang
menyusui. Lantas bagaimana dengan waktu pelaksanaan qadla` sekaligus
pembayaran fidyah, jika ia meninggalkan puasa dengan alasan apabila
tetap melakukan puasa akan membahayakan anaknya.
Bahwa alasan kewajiban untuk meninggalkan puasa bagi orang yang sedang
menyusui adalah adanya kekhawatiran akan membahayakan dirinya beserta
anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja.
Dari sini dapat dipahami bahwa kewajiban qadla`tersebut bisa dilakukan
setelah bulan ramadlan dan di luar waktu menyusui. Sedang mengenai
teknis pembayaran fidyah boleh diberikan kepada satu orang miskin.
Misalnya jika yang ditinggalkan ada 10 hari maka ia wajib memberikan 10
mud. Sepuluh mud ini boleh diberikan kepada satu orang miskin atau
faqir.
وَلَهُ صَرْفُ أَمْدَادٍ مِنْ الْفِدْيَةِ إلَى شَخْصٍ وَاحِدٍ لِأَنَّ كُلَّ يَوْمٍ عِبَادَةٌ مُسْتَقِلَّةٌ
“Baginya boleh mendistribusikan semua jumlah fidyah kepada satu orang
karena setiap hari adalah ibadah yang independen”. (Muhammad Khatib
asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj,
Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 1, h. 442)
Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, dan semoga bermanfaat.
Saran kami bagi Ibu yang sedang menyusui untuk selalu memperhatikan
kesehatannya, begitu juga kesehatan sang buah hati. Dan jika merasa
masih kuat berpuasa tetapi kemudian ada masalah kesehatan segeralah
berkonsultasi kepada dokter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar