Ketahuilah, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menciptakan semua
makhlukNya dengan kekuasaanya dan menjadikan berbagai macam yang akan
mendukung kebaikan mahklukNya dengan hikmah dan kasih sayang. Allah
menciptakan semua yang ada dibumi untuk kemaslahatan para hambaNya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ ۖ وَسَخَّرَ لَكُمُ
اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ ﴿٣٣﴾ وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنْسَانَ
لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
Dan Dia telah menundukkan bagimu matahari dan bulan yang terus menerus
beredar (dalam orbitnya); dan Dia telah menundukkan malam dan siang
bagimu. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa
yang kamu mohonkan kepadaNya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah,
niscaya kamu tidak akan dapat menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu,
sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).[Ibrâhîm/14:33-34]
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan matahari dan bulan untuk
kemaslahatan kita baik dunia ataupun agama. Allah Azza wa Jalla mengatur
perjalanan dua makhlukNya dengan penuh kesempurnaan. Keduanya tidak
akan keluar dari garis edarnya kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa
Ta’ala , tidak akan naik atau turun atau hilang kercuali dengan izin
Allah Subhanahu wa Ta’ala Keduanya akan terus demikian sampai pada
saatnya nanti, Allah berkehendak matahari terbit dari arah barat. Saat
itu keimanan seseorang tidak bermanfaat kecuali dia telah beriman
sebelumnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menundukkan matahari dan bulan dan
menjadikannya sebagai penentu waktu. Perjalanan matahari akan
memunculkan siang dan malam serta musim-musim. Kalau kita perhatikan,
sejak matahri terbit, ketika matahari semakin tinggi, maka suhu panas
pun meningkat; Dan ketika matahari sudah mendekati tempat tengggelam,
suhu panas pun mulai menghilang. Perjalanan matahari ini, mulai terbit
hingga tenggelam, semua berjalan hanya dengan izin dari Allah Azza wa
Jalla
Begitu halnya dengan bulan, Allah telah menentukan tempat-tempatnya.
Pada setiap malam, bulan berada disatu tempat yang berbeda dengan
sinarnya yang berbeda pula. Pada permulaan bulan, sinarnya masih redup
dan bertambah sedikit demi sedikit sampai pada pertengahan bulan yang
sangat terang-benderang. Kemudian berkurang sedikit demi sedikit sampai
kembali seperti permulaan bulan. subhânallah
Semenjak Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan langit dan bumi, Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan jumlah bulan yaitu dua belas bulan;
empat diantaranya adalah bulan haram, tiga bulan berurutan yaitu Dzul
qa’dah, Dzul hijjah, lalu Muharram serta satu yang terpisah yaitu bulan
Rajab. Ini merupakan bulan-bulan diagungkan, baik pada masa jahiliyyah
ataupun pada masa islam, Allah menghususkan larangan berbuat zhalim
dibulan-bulan tersebut.
As-Syahrul Hurum adalah bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan
Rajab. Bulan-bulan ini di istimewakan oleh Allah Ta’ala dengan
kesuciannya dan Dia menjadikan bulan-bulan ini sebagai bulan-bulan
pilihan di antara bulan yang ada. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي
كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا
أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ
أَنْفُسَكُمْ
”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan,
dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di
antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka
janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At
Taubah: 36)
Mengenai empat bulan yang dimaksud, disebutkan dalam hadits dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ
وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ
وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit
dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat
bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah,
Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang
terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan
Muslim no. 1679).
Ibnu Jarir ath Thabari rahimahullah meriwayatkan melalui sanadnya, dari
Ibnu Abbas radhiallahu anhu sehubungan dengan pengagungan Allah terhadap
kesucian bulan-bulan ini, beliau berkata, “Allah Ta’ala telah
menjadikan bulan-bulan ini sebagai (bulan-bulan yang) suci, mengagungkan
kehormatannya dan menjadikan dosa yangdilakukan pada bulan-bulan ini
menjadi lebih besar dan menjadikan amal shalih serta pahala pada bulan
ini juga lebih besar.” (Tafsir ath Thabari)
Orang-orang arab pada masa Jahilyah mengharamkan (mensucikan) bulan ini,
mengagungkannya serta mengharamkan peperangan pada bulan-bulan ini.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Bulan-bulan yang diharamkan
(disucikan) itu hanya ada empat. Tiga bulan secara berururtan dan satu
bulannya berdiri sendiri (tidak berurutan) lantaran adanya manasik Haji
dan Umrah. Maka , ada satu bulan yang telah diharamkan (disucikan) yang
letaknya sebelum bulan-bulan Haji, yaitu bulan Dzulqa’dah, karena ketika
itu mereka menahan diri dari perang. Sedangkan bulan Dzulhijah
diharamkan(disucikan) karena pada bulan ini mereka pergi menunaikan
ibadah Haji, dan pada bulan ini mereka menyibukkan diri dengan berbagai
ritual manasik Haji. sebulan setelahnya, yaitu bulan Muharram juga
disucikan karena pada bulan ini mereka kembali dari Haji ke negeri asal
mereka dengan aman dan damai. Adapun bulan Rajab yang terletak di
tengah-tengah tahun diharamkan (disucikan) karena orang yang berada di
pelosok Jazirah Arabia berziarah ke Baitul Haram. Mereka datang
berkunjung ke Baitul Haram dan kembali ke negeri mereka dengan keadaan
aman.” (Tafsir Ibni Katsir)
Adapun dalil yang terdapat dalam al Qur’an tentang bulan-bulan Haram ini adalah firman Allah Ta’ala:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ
كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ
وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ وَلا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ
حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَنْ
يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ
حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram.
Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi
menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi
masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya lebih
besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya)
daripada membunuh." Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai
mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada
kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di
antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka
itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah:217)
Juga firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا
الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ
الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا
وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ
أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى
الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
الْعِقَابِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar
Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang hadya dan binatang-binatang galaid, dan
jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang
mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya; dan apabila kalian
telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan jangan
sekali-kali kebencian(kalian) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kalian dari Mesjidil Haram, mendorong kalian berbuat
aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kalian dalam
(mengerjakan)kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kalian kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksaan-Nya.”(QS. Al Maidah:2)
Al Hafizh Ibnu Katsir menyatakan,”Yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah
pemuliaan dan pensucian bulan tersebut dan pengakuan terhadap
kemuliaannya serta meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah, seperti
memulai peperangan dan penegasan terhadap perintah menjauhi hal yang
diharamkan…”(Tafsir Ibnu Katsir)
Allah Ta’ala berfirman:
جَعَلَ اللَّهُ الْكَعْبَةَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ قِيَامًا لِلنَّاسِ
وَالشَّهْرَ الْحَرَامَ وَالْهَدْيَ وَالْقَلَائِدَ ۚ ذَٰلِكَ لِتَعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ
وَأَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
"Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat
(peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan
Haram, had-ya, qalaid. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu
tahu, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.”(QS. Al Ma’idah:97)
Al Baghawi rahimahullah menuturkan, “Maksudnya bahwa Allah menjadikan
bulan-bulan Haram ini sebagai penunaian kewajiban kepada manusia untuk
menstabilkan keadaan pada bulan-bulan ini dari peperangan.” (Tafsir Al
Baghawi dan Zaadul Masiir).
Sekelompok orang dari generasi salaf berpandangan bahwa hukum
diharamkannya peperangan pada bulan-bulan haram ini, adalah tetap dan
berlangsung terus-menerus hingga saat ini, karena dalil-dalil terdahulu.
Sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa sesungguhnya larangan
memerangi kaum musyrikin pada bulan-bulan haram ini telah terhapus
(mansukh) dengan firman Allah Ta’ala :
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي
كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا
أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ
أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam
ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya
empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah
menganiaya diri sendiri dalam bulan yang empat itu, dan perangilah
musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya…” (QS. At
Taubah:36)
Imam Ibnu Jarir ath Thabari rahimahullah mentarjih ( menguatkan)
pendapat terakhir ini (lihat tafsir ath Thabari), sedangkan Ibnu Katsir
rahimahullah mengatakan bahwa pendapat yang terakhir ini lebih masyhur
(lihat Tafsir Ibni Katsir).
Dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang untuk
berbuat zhalim pada diri kita dengan segala bentuknya, terutama
dibulan-bulan haram yang larangannya lebih keras dibanding dengan
bulan-bulan yang lain. oleh karena itu, kita wajib meghormati dan
mengagungkan bulan-bulan ini. Kita harus menjauhi perbuatan zhalim
dengan segala ragamnya, baik zhalim terhadap diri apalagi zhalim
terhadap orang lain. Dengan demikian kita akan menjadi orang yang
berbahagia.
Diantara bentuk kezhaliman adalah meninggalkan apa yang diwajibkan oleh
Allah ataupun melakukan apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala . Ketahuilah wahai saudara-saudaraku, jiwa ini merupakan amanah
yang wajib kita jaga. Hendaklah kita menjadikanjiwa kita menjadi jiwa
yang selalu tunduk dan patuh kepada Khaliqnya. Gapailah kebahagiaan yang
dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan selalu membersihkan
jiwa dari noda dan dosa, sehingga jiwa kita menjadi jiwa yang diridhai
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala . Jadikanlah pergantian siang dan malam
serta perjalanan matahari dan bulan sebagai ibrah.
وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا﴿١﴾وَالْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا﴿٢﴾وَالنَّهَارِ إِذَا
جَلَّاهَا﴿٣﴾وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَاهَا﴿٤﴾وَالسَّمَاءِ وَمَا
بَنَاهَا﴿٥﴾وَالْأَرْضِ وَمَا طَحَاهَا﴿٦﴾وَنَفْسٍ وَمَا
سَوَّاهَا﴿٧﴾فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا﴿٨﴾قَدْ أَفْلَحَ مَنْ
زَكَّاهَا﴿٩﴾وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila
mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila
menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta
penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya [Asy Syams/91:1-10]
Apa Maksud Bulan Haram
Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah berkata, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna:
Pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
Pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih
ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan itu.
Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan
ketaatan.”
Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan
ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa
pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, ”Pada bulan-bulan haram,
aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” Bahkan Ibnu ’Umar, Al Hasan Al
Bashri dan Abu Ishaq As Sa’ibi melakukan puasa pada seluruh bulan
haram, bukan hanya bulan Rajab atau salah satu dari bulan haram lainnya.
Dengan demikian, bukan berarti harus mengkhususkan puasa atau amalan
lainnya di hari-hari tertentu pada bulan Rajab karena menganjurkan
seperti ini butuh dalil. Sedangkan tidak ada dalil yang mendukungnya.
Maksiat di Bulan Haram
Ibnu ’Abbas mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut
sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada
bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang
dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.”
Bulan Haram Mana yang Lebih Utama
Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan
haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang
lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh
sebagian ulama Syafi’iyah. Namun Imam Nawawi (salah satu ulama besar
Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada
yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram,
sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan pendapat ini
dikuatkan oleh Imam Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa
yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin
Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab Al Hambali.
BEBERAPA KEBERKAHAN DAN KEUTAMAAN BULAN-BULAN HARAM
Telah dijelaskan dimuka mengenai kemuliaan bulan-bulan haram ini atas
bulan-bulan lainnya, serta agungnya kesucian bulan-bulan haram ini. Maka
sekarang, penulis akan memaparkan beberapa keutamaan dan keberkahan
yang terkandung dalam setiap bulan haram (yang disucikan) ini.
1. Bulan Dzulqa’dah
Dia merupakan salah satu bulan Haji (asyhurul hajji) yang dijelaskan oleh Allah dalam friman-Nya:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا
رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ
خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ
التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ
““(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi , barangsiapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak
boleh rafats , berbuat fasik dan berbantah bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya
Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal
adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”” (QS.Al Baqarah:197)
Asyhurun ma’luumaat (bulan-bulan yang dikenal) merupakan bulan yang
tidak sah ihram Haji kecuali pada bulan-bulan ini (asyhurun ma’luumaat)
menurut pendapat yang shahih. (lihat Tafsir Ibnu Katsir). Dan yang
dimaksud dengan bulan-bulan Haji (asyhurul hajji) adalah bulan Syawal,
Dzulqa’dah dan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Diantara keistimewaan
bulan ini, bahwa empat kali ‘Umrah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam terjadi pada bulan ini, hal ini tidak termasuk ‘Umrah beliau
yang dibarengi dengan Haji, walaupun ketika itu beliau Shalallahu
‘Alaihi Wassalam berihram pada bulan Dzulqa’dah dan mengerjakan ‘Umrah
tersebut di bulan Dzulhijjah bersamaan dengan Hajinya. (Lathaa if al
Ma’aarif, karya Ibnu Rajab; Zaadul Ma’aad).
Ibnul Qayyim menjelaskan pula bahwa ‘Umrah di bulan-bulan Haji setara
dengan pelaksanaan Haji di bulan-bulan Haji. Bulan-bulan haji
dikhususkan oleh Allah dengan ibadah Haji, dan Allah menjadikan
bulan-bulan ini sebagai waktu pelaksanaannya. Sementara ‘Umran merupakan
Haji kecil, maka waktu yang paling utama untuk ‘Umrah adalah pada
bulan-bulan Haji. Sedangkan Dzulqa’dah berada di tengah-tengah bulan
Haji tersebut. (Zaadul Ma’aad).
Karena itu terdapat riwayat dari beberapa ulama Salaf bahwa disukai
melakukan ‘Umrah pada bulan Dzulqa’dah. (Lathaa if al Ma’aarif). Akan
tetapi ini tidak menunjukkan bahwa ‘Umrah di bulan Dzulqa’dah lebih
utama daripada ‘Umrah di bulan Ramadhan. Keistimewaan lain yang dimiliki
bulan ini, bahwa masa tiga puluh malam yang Allah janjikan kepada Musa
untuk berbicara pada-Nya jatuh pada malam-malam bulan Dzulqa’dah.
Sedangkan al asyr(sepuluh malan tambahan)nya jatuh pada periode sepuluh
malam dari bulan Dzulhijjah berdasarkan pendapat mayoritas ahli Tafsir.
(lihat Tafsir Ibnu Katsir).
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ
مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً وَقَالَ مُوسَى لأخِيهِ هَارُونَ
اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلا تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ
“Dan telah Kami janjikan kepada Musa(memberikan Taurat) sesudah berlalu
waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan
sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan
Tuhannya empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya, yaitu
Harun, "Gantikanlah aku dalam (memimpin)kaumku, perbaikilah, dan jangan
kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.”(QS. Al
A’raaf:142)
2. Bulan Dzulhijjah
Diantara beberapa keutamaa dan keberkahan bulan ini, bahwa seluruh
manasik Haji dilakukan pada bulan ini. Kesemuanya itu merupakan
syi’ar-syi’ar yang besar dari berbagai syi’ar Islam. Terdapat di
dalamnya, sepuluh hari pertama yang penuh dengan keberkahan dan
keutamaan, lalu tiga hari berikutnya merupakan hari-hari tasyriq yang
agung.(sebagaimana yg dijelaskan pada artikel khusus tentang bulan
Dzulhijjah, keutaman sepuluh hari pertama Dzulhijjah).
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ
مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا
رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ
الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ
فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».
"Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal
sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan
Dzul Hijjah)." Para sahabat bertanya: "Tidak pulajihad di jalan Allah?"
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Tidak pulajihad di jalan
Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun
tidak ada yang kembali satupun." [4].
. Keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja,
tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa
shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya.Di antara
amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa.
Dari Hunaidah bin Khalid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ
وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ
اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan
hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga
hari setiap bulannya[, ...
3. Bulan Muharram
Salah satu bulan haram yang dimuliakan dan diagungkan oleh Allah Azza wa
Jalla adalah bulan Muharram. Karena keagungan bulan ini, terkadang
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menisbatkannya kepada Allah.
Pada bulan ini, seorang muslim disyariatkan untuk melakukan berbagai
macam ketaatan kepada Allah dan menjauhi segala corak perbuatan zhalim.
Pada bulan ini, seorang muslim disunatkan menjalankan puasa Asyûra yaitu
pada tanggal sembilan dan sepuluh. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ
Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Muharram [HR Muslim]
Juga sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu,
beliau Radhiyallahu anhu mengatakan : “Ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tiba di Madinah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihat kaum Yahudi melakukan puasa Asyûra. Beliau bertanya kepada
mereka : ‘Mengapa mereka melakukan puasa pada hari itu ?’ Mereka
menjawab: Ini adalah hari baik, pada hari ini Allah Subhanahu wa Ta’ala
menyelamatkan Nabi Musa Alaihissallam dan Bani Israil, oleh karena itu
Musa Alaihissallam melakukan puasa pada hari ini.” Lalu beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ فَأَمَرَ بِصَوْمِهِ
Sesungguhnya kami lebih berhak terhadap nabi Musa dibandingkan kalian.
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa pada hari itu. [HR Bukhâri dan Muslim]
Kemudian dikesempatan lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ
Insyaallah, tahun yang akan datang kita mulai bepuasa pada hari kesembilan.[HR Muslim]
Akan tetapi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam belum sempat melakukan
ini, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat sebelum bulan
Muharram tahun berikutnya tiba. Saat beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ditanya tentang keutamaan puasa ini, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab :
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
Puasa Asyura menghapuskan dosa satu tahun yang telah lewat.[HR Muslim]
Maka berpuasalah wahai kaum muslimin pada hari yang kesembilan dan
kesepuluh agar dosa-dosa kalian dihapuskan. Ikutilah nabi kalian agar
kalian mendapatkan kemulyaan serta pahala yang kalian harapkan. Orang
yang bertekad dan berazam untuk melakukannya atau sudah terbiasa
melaksanakannya tapi kali ini terhalang sesuatu maka Insyaallah akan
dituliskan baginya pahala puasanya tanpa terkurangi sedikitpun.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
Apabila salah seorang hamba sakit atau dalam bepergian akan ditulis
pahala amalannya sebagai mana ketika dia meluakukannya ketrika dia sehat
dan bermukim.[HR Bukhari]
Bulan Muharram menyimpan peristiwa besar serta tanda kekuasaan Allah, di
bulan ini Allah menyelamatkan Nabi Musa beserta kaumnya dari Firaun dan
bala tentaranya. Ketika nabi Musa mengajak Fir’aun untuk mentauhidkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala , dengan penuh kesombongan ia menolak seraya
mengatakan : “Saya adalah tuhan kalian yang tinggi” Sejak saat itu,
Firaun mulai melakukan penekahan terhadap Bani Israil sampai pada
akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nabi Musa Alaihssallam
untuk keluar bersama kaumnya menghindari kejahatan Fir’aun. Mereka terus
berlari sampai ketepi laut merah sementara Firaun beserta bala
tentaranya berada dibelakang. ketika hampir tertangkap, Allah Subhanahu
wa Ta’ala memerintahkan nabi Musa Alaihissallam agar memukulkan
tongkatnya kelaut tersebut. Seketika lautan terbelah dan menjadi jalan
yang bisa mereka lalui. Firaun terus mengejar dan mengikuti Bani Israil ,
ketika Musa dan pengikutnya sampai kedaratan, Allah Subhanahu wa Ta’ala
memerintahkan nabi Musa untuk memukulkan tongkatnya kembali. Seketika
juga, jalan yang baru saja mereka lalui kembali menjadi lautan.
Akibatnya, Firaun beserta bala tentaranya tenggelam. Lihatlah !
Bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menolong Nabi Musa Alaihissallam dan
kaumnya. Sesungguhnya Allah maha Kuasa untuk menolong siapa saja yang
mau menolong agamanya dan berusaha mengikuti ridhaNya. Itulah salah satu
peristiwa besar yang terjadi di bulan muharram.
Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa bulan Muharram adalah bulan
sial. Bulan yang banyak mendatangkan bahaya sehingga sebagian mereka
tidak berani melakukan transaksi jual beli atau mengadakan pernikahan
dan lain sebagainya. Keyakinan seperti ini adalah keyakinan yang bathil
serta kesesatan yang nyata. Ini merupakan tipu daya setan yang
menginginkan agar manusia jauh dari ajaran islam yang benar. Ini
merupakan propaganda musuh agar kaum muslimin meninggalkan amalan-amalan
pada bulan ini.
Kaum muslimin bagaimana mungkin bulan yang diagungkan oleh Allah Azza wa
Jalla, bulan yang diagungkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam membawa kesialan atau membawa madharat. Sebaliknya bulan Muharram
merupakan bulan kebaikan, maka isilah bulan ini dengan amalan-amalan
shalih dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga kita
menjadi hamba-hambaNya yang mendapatkan keridhaanNya Subhanahu wa
Ta’ala.
4. Bulan Rojab
Amalan Khusus yang Banyak Dikerjakan di Bulan Rajab dan Hukumnya
Jika kita melihat realita ummat kita maka kita dapati ada beberapa
amalan yang dikerjakan oleh sebagian kaum muslimin secara khusus di
bulan ini. Sebagian dari amalan tersebut memiliki dasar yang butuh
penjelasan akan hakikatnya dan sebagian lagi tidak memiliki dasar sama
sekali. Berikut ini beberapa contoh amalan yang banyak dikerjakan oleh
sebagian kaum muslimin di bulan Rajab beserta penjelasan singkat tentang
hukumnya :
1. Umroh di bulan Rajab
Dalil yang digunakan untuk menganjurkan umroh adalah atsar dari Ibnu Umar radhiyallohu anhuma
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اعْتَمَرَ أَرْبَعًا إِحْدَاهُنَّ فِي رَجَبٍ
Dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
melaksanakan umrah sebanyak empat kali. Salah satunya pada bulan Rajab.
(HR. Tirmidzi dan dishohihkan oleh Albani).
Atas dasar itu maka Abdullah bin Umar radhiyallohu anhuma mengutamakan
umroh di bulan Rajab. Salim bin Abdullah bin Umar mengatakan, “Adalah
Abdullah bin Umar menyukai berumroh di bulan Rajab -yang merupakan bulan
haram- dari bulan-bulan yang ada dalam setahun” (Atsar ini shohih
diriwayatkan oleh Abu Muhammad Hasan Al Khallal dalam Fadhoil Syahr
Rajab, no.9)
Namun pendapat ini telah dibantah oleh Ummul Mukminin Aisyah
radhiyallohu anha; sebagaimana diceritakan oleh tabi’in mulia Mujahid
bin Jabr, beliau berkata, Aku dan Urwah bin Zubair masuk ke mesjid
Nabawi ternyata ada Abdullah bin Umar yang duduk menghadap kamar
Aisyah…kemudia aku bertanya kepada Ibnu Umar, “Berapa kali Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam berumroh? Beliau menjawab, “Empat kali,
salah satunya di bulan Rajab” Mujahid berkata, “Kami tidak suka
membantah perkataan beliau, lalu kami mendengar suara siwak Aisyah Ummul
Mukminin dari kamar beliau maka Urwah bertanya, “Wahai Ibu,wahai ummul
mukminin, apa engkau tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Abu
Abdirrahman(Ibnu Umar)? Beliau bertanya, “Apa yang beliau (Ibnu Umar)
katakan?” Urwah menjawab, “Beliau (Ibnu Umar) berkata sesungguhnya
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah berumroh empat kali dan
salah satunya di bulan Rajab” Aisyah berkata, “Semoga Allah merahmati
Abu Abdirrahman, beliau shallallohu alaihi wasallam tidak pernah
berumrah kecuali dia menyaksikannya dan beliau tidak pernah umroh
sekalipun di bulan Rajab” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pernyataan Aisyah radhiyallohu anhu ditarjihkan dan didukung oleh banyak
ulama diantaranya Al Allamah Al Muhaqqiq Ibnu Qayyim Al Jauziyah di
kitab beliau Zaadul Ma’ad (2/116), bahkan beliau menegaskan kekeliruan
orang menyatakan hal itu,wallohu a’lam
2. Menyembelih di bulan Rajab
Mikhnaf bin Sulaim radhiyallohu anhu berkata, kami sedang berwukuf
dengan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam di padang Arafah lalu
beliau mengatakan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ
أُضْحِيَّةً وَعَتِيرَةً أَتَدْرُونَ مَا الْعَتِيرَةُ هَذِهِ الَّتِي
يَقُولُ النَّاسُ الرَّجَبِيَّةُ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya atas setiap keluarga dalam setiap
tahunnya berudhiyyah dan ‘atirah, tahukah kalian apa yang dimaksud
dengan ‘Atirah? Ini yang orang menamakannya dengan Rajabiyyah” (HR.
Tirmidzi dan Abu Daud serta dihasankan oleh Albani)
‘Atirah atau Rajabiyyah adalah sembelihan yang dikenal di zaman
Jahiliyah dimana mereka melakukannya di sepuluh hari pertama dari bulan
Rajab dalam rangka taqarrub kepada Allah. Di zaman Jahiliyyah mereka
persembahkan sembelihan tersebut kepada berhala-berhala mereka, kadang
didahului dengan nadzar dan kadang tanpa ada nadzar sebelumnya.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ‘atirah dalam syariat Islam
dan yang rojih insya Allah hukumnya telah mansukh (tidak berlaku lagi)
dan ini adalah pendapat mayoritas para ulama sebagaimana yang dinukil
oleh imam Nawawi dari al Qadhi ‘Iyadh rahimahumalloh, karenanya imam Abu
Daud setelah meriwayatkan hadits di atas beliau menegaskan bahwa hadits
ini mansukh hukumnya,wallohu a’lam
Diantara dalil yang menunjukkan bahwa hal ini telah mansukh, sabda
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah radhiyallohu anhu bahwa beliau bersabda,
لَا فَرَعَ وَلَا عَتِيرَةَ قَالَ وَالْفَرَعُ أَوَّلُ نِتَاجٍ كَانَ
يُنْتَجُ لَهُمْ كَانُوا يَذْبَحُونَهُ لِطَوَاغِيَتِهِمْ وَالْعَتِيرَةُ
فِي رَجَبٍ
“Tidak ada Fara’ dan Atirah. Fara’ adalah anak pertama seekor unta yang
mereka sembelih untuk sesembahan mereka, dan Atirah adalah hewan
(kambing) yang mereka sembelih di bulan Rajab.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Puasa sunnah
Tidak ada hadits shohih marfu’ yang mengkhususkan puasa sunnah di bulan
Rajab, karenanya sebagian dari ulama Salaf diantaranya Ibnu Umar
radhiyallohu anhuma, Hasan al Bashri dan Abu Ishaq as Sabi’i
rahimahumallohu memperbanyak puasa sunnah di keseluruh bulan haram tanpa
mengkhususkannya di bulan Rajab.
Beberapa sahabat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam diantaranya
Aisyah, Umar bin Khaththab, Abu Bakrah, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar
radhiyallohu anhum jami’an telah mengingkari orang yang berpuasa penuh
di bulan Rajab atau mengkhususkan puasa di bulan Rajab.
Ibnu Sholah rahimahulloh berkata, “Tidak ada hadits shohih yang melarang
atau menganjurkan secara khusus berpuasa di bulan Rajab maka hukumnya
sama saja dengan bulan lainnya yaitu anjuran berpuasa secara umum”
Imam Nawawi rahimahulloh berkata, “Tidak ada larangan demikian pula
anjuran secara khusus untuk berpuasa di bulan Rajab akan tetapi secara
umum hukum asal puasa adalah dianjurkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulloh berkata tentang hadits-hadits
keutamaan berpuasa dan sholat khusus di bulan Rajab, “Seluruhnya dusta
menurut kesepakatan para ulama”
Mengenai puasa pada bulan Rajab, tidak ada kelebihan yang menonjol
baginya dari bulan-bulan lain, kecuali bahwa ia termasuk bulan suci. Dan
tidak diterima dari sunnah keterangan yang sah bahwa berpuasa pada
bulan itu mempunyai keistimewaan khusus. Ada juga diterima berita,
tetapi tidak dapat dipertanggung-jawabkan sebagai alasan.
Berkata Ibnu Hajar: "Tidak ada diterima hadits yang sah yang dipakai
sebagai alasan mengenai keutamaan bulan itu dan keutamaan berpuasa
padanya, tidak pula mengenai kelebihan berpuasa pada hari-hari tertentu
dari padanya, atau berjaga-jaga pada malam harinya."
Semoga Allah Ta'ala memberikan kemampuan kepada kita, agar kita
senantiasa beramal shalih dengan maksimal, terutama dibulan-bulan haram
yang diagungkan oleh-Nya.. Amiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar