Ramadlan adalah bulan yang penuh berkah, bulan yang diturunkan padanya
Al Qur’an, bulan yang terdapat padanya malam yang lebih baik dari seribu
bulan, dan setiap malamnya Allah Ta’ala memerdekakan hamba-hambaNya
dari api Neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ
مَرَدَةُ الْجِنِّ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ
مِنْهَا بَابٌ ، وَفُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجِنَّانِ فَلَمْ يُغْلَقُ مِنْهَا
بَابٌ ، وَنَادَى مُنَادٍ : يَا بَاغِىَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ ، وَيَا
بَاغِىَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِوَذَلِكَ
كُلُّ لَيْلَةٍ.
“Apabila telah masuk malam pertama dari bulan Ramadlan, setan-setan
yaitu jin-jin yang durhaka akan diikat, pintu-pintu Neraka akan dikunci
dan tidak satupun pintu yang terbuka. Pintu-pintu surga akan dibuka dan
tidak satupun pintu yang terkunci. Dan akan ada yang menyeru, “Wahai
orang yang menginginkan kebaikan kemarilah, dan wahai orang yang
menginginkan keburukan tahanlah.” Allah memerdekakan hamba-hambaNya dan
itu terjadi pada setiap malam.” (HR At Tirmidzi, ibnu Majah dan
lainnya).
Kewajiban setiap muslim adalah berlomba-lomba mencari keberkahan bulan
ini dengan banyak beramal shalih, agar kita termasuk orang-orang yang
dimerdekakan oleh Allah dari api Neraka.
Sungguh sangat merugi orang yang keluar dari bulan Ramadlan dalam
keadaan tidak mendapat ampunan Allah Ta’ala. Jabir bin Abdillah
radliyallahu ‘anhu berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ رَقِىَ الْمِنْبَرَ
فَلَمَّا رَقِىَ الدَّرَجَةَ الْأُولَى قَالَ آمِيْنَ ثُمَّ رَقِىَ
الثَّانِيَةَ فَقَالَ آمِيْنَ ثُمَّ رَقِىَ الثَّالِثَةَ فَقَالَ آمِيْنَ
فَقَالُوا يَا رَسُوْلَ اللهِ سَمِعْنَاكَ تَقُوْلُ آمِيْنَ ثَلَاثَ
مَرَّاتٍ قَالَ لَمَّا رَقِيْتُ الدَّرَجَةَ الأُولَى جَاءَنِي جِبْرِيْلُ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ
رَمَضَانَ فَانْسَلَخَ مِنْهُ وَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ فَقُلْتُ آمِيْنَ ثُمَّ
قَالَ شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فَلَمْ
يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ فَقُلْتُ آمِيْنَ ثُمَّ قَالَ شَقِيَ عَبْدٌ
ذُكِرْتُ عِنْدَهُ وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ فَقُلْتُ آمِيْنَ.
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam menaiki mimbar, ketika
beliau menaiki tangga yang pertama beliau bersabda, “Aamiin.” Ketika
menaiki tangga kedua beliau berucap, “Aamiin.” Ketika menaiki tangga
yang ketiga beliau berucap, “Aamiin.” Para shahabat berkata, “Wahai
Rasulullah, kami mendengar engkau mengucapkan Aamiin tiga kali.” Beliau
bersabda, “Ketika aku menaiki tangga yang pertama, Jibril ‘alaihissalam
datang kepadaku dan berkata, “Celaka hamba yang mendapati bulan
ramadlan, setelah lepas darinya ternyata ia tidak diampuni
dosa-dosanya.” Akupun mengucapkan Aamiin. Kemudian ia berkata, “Celaka
hamba yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satunya namun tidak
memasukkannya ke dalam surga. Akupun mengucapkan Aamiin. Kemudian ia
berkata, “Celaka hamba yang disebutkan namamu di sisinya tetapi ia tidak
bershalawat untukmu. Akupun mengucapkan Aamiin. (HR Al Bukhari dalam Al
Adabul Mufrad].
Setiap kita pasti tidak rela bila terkena do’a tersebut, maka tiada
jalan kecuali bersungguh-sungguh menjalani ramadlan dengan banyak
beramal shalih.
AMALAN-AMALAN DI BULAN RAMADLAN
Adapun amalan yang dapat kita lakukan di bulan Ramadlan adalah:
1. Shaum Ramadlan.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. رواه البخاري ومسلم
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Barang siapa yang berpuasa ramadlan karena iman dan berharap
pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR Bukhari dan
Muslim).
Shoum adalah ibadah yang agung di sisi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى
سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ
فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ
أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ
عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ
رِيحِ الْمِسْكِ
“Semua amal anak Adam dilipat gandakan; satu kebaikan ditulis sepuluh
kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Azza wa Jalla berfirman,
“Kecuali shoum karena ia untukKu, dan Aku yang akan membalasnya; ia
meninggalkan syahwat dan makanannya karenaKu.” Orang yang berpuasa
mendapatkan dua kegembiraan: kegembiraan ketika berbuka puasa, dan
kegembiraan ketika bertemu dengan Rabbnya. Bau mulut orang yang berpuasa
lebih wangi di sisi Allah dari minyak kesturi.” (HR Bukhari dan Muslim
dan ini adalah lafadz Muslim).
Pada hari kiamat, shoum akan datang memberikan syafa’at kepada pelakunya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ
بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ
النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ قَالَ فَيُشَفَّعَانِ
“Shiyam dan al Qur’an akan memberikan syafa’at kepada hamba pada hari
kiamat. Shiyam berkata,”Ya Rabb, aku telah mencegahnya dari makanan dan
syahwatnya di waktu siang maka beri aku syafa’at untuknya. Al Qur’an
berkata,”Ya Rabb, aku telah mencegahnya tidur di waktu malam, beri aku
syafa’at untuknya.” (HR Ahmad).
Bahkan, orang yang berpuasa akan disediakan pintu khusus ke surga, pintu
itu bernama Royyan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam:
إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ
الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ يَدْخُلُ مَعَهُمْ أَحَدٌ
غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَدْخُلُونَ مِنْهُ فَإِذَا
دَخَلَ آخِرُهُمْ أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَد
“Sesungguhnya surga mempunyai pintu yang bernama Ar Rayyan yang hanya
dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa pada hari kiamat, tidak selain
mereka yang memasukkinya. Akan dikatakan,”Dimana orang-orang yang
berpuasa? Merekapun dari pintu tersebut. Apabila semuanya telah masuk,
akan dikunci dan tidak ada yang memasukkinya seorangpun.” (HR Bukhari
dan Muslim).
Namun, berapa banyak orang yang berpuasa akan tetapi ia tidak
mendapatkan apa-apa kecuali menahan haus dan lapar, sebagaimana sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ
“Berapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari
puasanya kecuali hanya menahan lapar dan dahaga saja.” (HR Ibnu Majah).
Hal itu terjadi karena ia tidak berpuasa dari apa yang Allah haramkan,
ia seakan menganggap bahwa puasa itu hanya menahan diri dari
pembatal-pembatal puasa saja, dalam hadits:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَه
“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan selalu
mengamalkannya, maka Allah tidak butuh kepada puasanya.” (HR Bukhari).
Karena hakikat shaoum adalah menahan dari dari segala sesuatu yang tidak
bermanfaat untuk kehidupan akhirat kita, sebagaimana disebutkan dalam
hadits:
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرْبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَث
“Bukanlah shoum itu sebatas menahan diri dari makanan dan minuman, akan
tetapi shoum adalah menjauhi perkara yang sia-sia dan kata-kata kotor.”
(HR Ibnu Khuzaimah).
Syarat dan Rukun puasa.
Adapun rukun puasa ada dua, pertama adalah niat dan kedua adalah menahan
diri dari semua perkara yang membatalkan puasa seperti makan dan minum
dengan sengaja, jima’ di siang hari, haidl dan nifas, muntah dengan
sengaja dan murtad dari agama islam. Kaidah yang hendaknya kita ketahui
adalah bahwa tidak boleh kita mengklaim bahwa sesuatu itu membatalkan
puasa kecuali dengan dalil syari’at yang shahih. Barang siapa yang yang
melakukan pembatal-pembatal puasa dengan sengaja maka tidak bermanfaat
baginya qodlo, kewajiban ia adalah bertaubat kepada Allah. Sedangkan
bila ia melakukannya karena udzur maka hendaklah ia mengqodlo.
Adapun syarat-syarat wajibnya puasa ada enam yaitu: Muslim, baligh,
berakal, mempunyai kemampuan untuk berpuasa, muqim tidak safar, dan
tidak haidl dan nifas.
2. Qiyam ramadlan.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ
مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. رواه البخاري ومسلم
Dari abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Barang siapa yang qiyamulail di bulan ramadlan karena iman
dan berharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR
Bukhari dan muslim).
Qiyam Ramadlan adalah ibadah yang berpahala besar yang senantiasa
dirutinkan oleh para shahabat dan generasi setelahnya. Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam pernah melakukannya secara berjama’ah selama tiga
malam, lalu beliau tinggalkan karena khawatir di wajibkan atas umatnya.
Imam Abdurrazzaq meriwayatkan dalam mushannafnya (2/264 no 7746) dengan
sanad yang shahih kepada Aisyah rdliyallahu ‘anha, ia berkata:
صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لَيْلَةً فِي
شَهْرِ رَمَضَانَ فِي الْمَسْجِدِ وَمَعَهُ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى
الثَّانِيَةَ فَاجْتَمَعَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ أَكْثَرَ مِنَ الْأُوْلَى
فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةَ أَوْ الرَّابِعَةَ امْتَلَأَ الْمَسْجِدُ
حَتَّى غَصَّ بِأَهْلِهِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ فَجَعَلَ النَّاسُ
يُنَادُوْنَهُ الصَّلَاةَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ
مَا زَالَ النَّاسُ يَنْتَظِرُوْنَكَ الْبَارِحَةَ يَا رَسُوْلَ اللهِ
قَالَ أَمَا أَنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ أَمْرُهُمْ وَلَكِنِّيْ خَشِيْتُ
أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهِمْ.
“Suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di bulan
Ramadlan di masjid bersama beberapa orang. Di malam kedua beliau kembali
shalat, dan orang-orang yang ikut shalat lebih banyak dari malam
pertama. Ketika di malam ketiga atau keempat, masjid menjadi penuh
sampai-sampai beliau masuk ke dalam rumahnya dan tidak keluar. Maka
orang-orang memanggil beliau, “Shalat !” Di pagi harinya, Umar bin Al
Khathab berkata, “Tadi malam orang-orang menunggumu hai Rasulullah.”
Beliau bersabda, “Perbuatan mereka tidak tersembunyi bagiku, akan tetapi
aku khawatir di wajibkan atas mereka.”
Dan dalam hadits Abu Dzarr, beliau berkata:
صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ
يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ مِنْ الشَّهْرِ فَقَامَ بِنَا حَتَّى
ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا فِي السَّادِسَةِ وَقَامَ
بِنَا فِي الْخَامِسَةِ حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْنَا لَهُ
يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ
فَقَالَ إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ
قِيَامُ لَيْلَةٍ ثُمَّ لَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ ثَلَاثٌ مِنْ
الشَّهْرِ وَصَلَّى بِنَا فِي الثَّالِثَةِ وَدَعَا أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ
فَقَامَ بِنَا حَتَّى تَخَوَّفْنَا الْفَلَاحَ قُلْتُ لَهُ وَمَا
الْفَلَاحُ قَالَ السُّحُورُ
“Kami berpuasa bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau
tidak sholat malam (berjama’ah) dengan kami sampai tersisa tujuh hari
dari bulan Ramadlan. Maka beliau qiyam (pada malam 23) bersama kami
hingga lewat sepertiga malam. Kemudian beliau tidak qiyam dengan kami
pada enam hari tersisa, dan kembali qiyam dengan kami pada lima hari
tersisa (malam 25) hingga lewat tengah malam. Lalu kami berkata: “Wahai
Rasulullah, bagaimana bila sisa malam ini kita gunakan untuk shalat
sunnah ?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang
sholat bersama imam sampai selesai, maka dituliskan untuknya sholat
semalam suntuk”.
Kemudian beliau tidak qiyam bersama kami sampai tersisa tiga hari bulan
Ramadlan, beliau memanggil istri-istrinya dan keluarganya, beliau pun
qiyam dengan kami (di malam 27) hingga kami khawatir tidak sempat
melakukan al falah. Aku berkata: “Apa itu al Falah ?” ia berkata:
“Sahur”. (HR At Tirmidzi, ibnu Majah, ibnu Hibban, ibnu Khuzaimah dan
lainnya. At Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih”.)
Dalam hadits ini disebutkan bahwa orang yang qiyam bersama imam sampai
selesai, dituliskan untuknya shalat semalam suntuk. Ini adalah keutamaan
yang besar bagi orang yang melakukannya. Hadits ini juga menunjukkan
bahwa Rasulullah dan para shahabat melakukan shalat tarawih di awal
malam, bukan di akhir malam dan itulah waktu yang paling utama untuk
shalat tarawih.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qiyam ramadlan secara
berjama’ah hanya tiga malam saja karena beliau khawatir di wajibkan atas
umatnya. Namun setelah wafat, tidak mungkin lagi wahyu turun dan tidak
mungkin diwajibkan. Oleh karena itu Umar memandang untuk kembali
dilaksanakan qiyam ramadlan dengan satu imam. Imam Al Bukhari
meriwayatkan dalam shahihnya dari Abdurrahman bin Al Qari ia berkata:
خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي
رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ
يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي
بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ: إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ
هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ
فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً
أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ
الْبَدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُوْنَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِي
يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ
أَوَّلَهُ.
“Aku keluar bersama Umar bin Al Khathab radliyallahu ‘anhu suatu malam
di bulan Ramadlan menuju masjid. Ternyata manusia berpencar pencar; ada
yang shalat sendirian, dan ada yang berjamaah dengan beberapa orang.
Umar berkata: “Aku memandang seandainya dikumpulkan kepada satu imam
saja, tampaknya lebih bagus.” Kemudian beliau bertekad kuat
melakukannya. Di malam yang lain, aku keluar bersamanya, sementara
manusia shalat berjama’ah dengan imam mereka. Umar berkata, “Sebaik-baik
bid’ah adalah ini. Dan waktu yang biasa mereka tidur padanya lebih baik
dari yang mereka bangun padanya”. Maksud Umar adalah bahwa shalat
tarawih di awal malam lebih utama dari shalat tarawih di akhir malam.
Karena di luar Ramadlan, para shahabat biasa tidur di awal malam dan
bangun pada sepertiga malam. Ini menunjukkan bahwa waktu shalat tarawih
yang paling utama adalah di awal malam, sebagaimana juga ditunjukkan
oleh perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits di
atas.
Perkataan Umar: “Sebaik-baiknya bid’ah”. Maksudnya adalah bid’ah secara
bahasa, dan bukan bid’ah secara istilah. Karena bagaimana mungkin
disebut bid’ah secara istilah sementara perbuatan itu pernah dilakukan
oleh Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Rasulullah
meninggalkannya karena khawatir diwajibkan atas umatnya sedangkan kaidah
berkata: “Suatu ibadah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah, kemudian
ditinggalkan oleh beliau karena khawatir diwajibkan, maka boleh
melakukannya setelah Rasulullah wafat, karena alasan khawatir diwajibkan
telah hilang.
Jumlah raka’at qiyamullail.
Disunnahkan tidak melebihi sebelas raka’at, karena itu yang dipilih oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dirinya dan yang paling utama,
sebagaimana dalam hadits Aisyah radliyallahu ‘anha:
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ
وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً : يُصَلِّى أَرْبَعًا
فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا
فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah lebih dari sebelas
raka’at baik di bulan Ramadlan maupun di bulan lain, beliau sholat
empat jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau
shalat empat jangan kamu tanya btentang bagus dan panjangnya, kemudian
beliau shalat tiga.” HR Bukhari dan Muslim.
Namun apakah boleh melebihi sebelas raka’at? Ini menjadi perselisihan
diantara para ulama; mayoritas ulama salaf dan belakangan berpendapat
boleh lebih dari sebelas raka’at, bahkan Al Qadli ‘Iyadl berkata, “Tidak
ada perselisihan diantara ulama bahwa shalat malam tidak ada batasannya
dimana tidak boleh ditambah atau dikurangi, karena shalat malam adalah
termasuk ketaatan yang apabila bertambah maka bertambah pula pahalanya.
Yang menjadi perselisihan adalah perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam yang merupakan pilihan beliau untuk dirinya sendiri.”
Pendapat yang penulis pilih adalah pendapat mayoritas ulama yang membolehkan lebih dari sebelas raka’at, berdasarkan hadits:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat malam itu dua raka’at dua raka’at, apabila salah seorang darimu
khawatir masuk shubuh, hendaklah ia shalat satu raka’at witir sebagai
pengganjil shalatnya.” HR Bukhari dan Muslim.
Hadits ini mutlak tidak memberikan batasan jumlah, adapun hadis Aisyah
di atas tidak dapat mengkhususkan keumuman hadits ini karena beberapa
alasan:
Pertama: Hadits Aisyah itu menceritakan tentang perbuatan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan perbuatan tidak bisa
mengkhususkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana
disebutkan dalam kitab ushul fiqih.
Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memerintahkan agar shalat
malam hanya sebelas raka’at saja, namun sebatas perbuatan beliau
sedangkan semata-mata perbuatan hanya menghasilkan hukum sunnah.
Ketiga: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melarang melebihi
sebelas raka’at, oleh karena itu Syaikhul Islam ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata, “Qiyam Ramadlan tidak ditentukan oleh Nabi jumlah
tertentu, beliau hanya tidak menambah melebihi tiga belas raka’at di
bulan Ramadlan maupun di bulan lainnya… siapa yang meyakini bahwa jumlah
qiyam Ramadlan ditentukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang
tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang maka ia telah salah.”
Seringkali masalah jumlah raka’at shalat tarawih dipermasalahkan di
tengah-tengah masyarakat. Sampai-sampai jumlah raka’at ini jadi tolak
ukur, apakah si fulan termasuk golongannya ataukah tidak. Kami pernah
mengangkat pembahasan jumlah raka’at shalat tarawih, namun masih ada
saja yang sering mendebat mempertanyakan pendapat pilihan kami. Sekarang
kami akan membahas dari sisi dalil pendukung shalat tarawih 23 raka’at.
Hal ini kami kemukakan dengan tujuan supaya kaum muslimin sadar bahwa
beda pendapat yang terjadi sebenarnya tidak perlu sampai meruntuhkan
kesatuan kaum muslimin. Dalil pendukung yang akan kami kemukakan
menunjukkan bahwa shalat tarawih 23 raka’at sama sekali bukanlah bid’ah,
perkara yang dibuat-buat. Kami akan buktikan dari sisi dalil dan
beberapa alasan. Semoga amalan ini ikhlas karena mengharap wajah-Nya.
Asal ‘Umar Mulai Mengumpulkan Para Jama’ah dalam Shalat Tarawih
Dalam Shahih Al Bukhari pada Bab “Keutamaan Qiyam Ramadhan” disebutkan beberapa riwayat sebagai berikut.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ
شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ –
رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ
قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ » . قَالَ ابْنُ شِهَابٍ فَتُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله
عليه وسلم – وَالأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ ، ثُمَّ كَانَ الأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ
فِى خِلاَفَةِ أَبِى بَكْرٍ وَصَدْرًا مِنْ خِلاَفَةِ عُمَرَ – رضى الله
عنهما –
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan
kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Humaid bin ‘Abdurrahman dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang melaksanakan qiyam Ramadhan (shalat
tarawih) karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya
dari-Nya) maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu“. Ibnu Syihab
berkata; Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, namun
orang-orang terus melestarikan tradisi menegakkan malam Ramadhan (secara
bersama, jamaah), keadaan tersebut terus berlanjut hingga zaman
kekhalifahan Abu Bakar dan awal-awal kekhilafahan ‘Umar bin Al Khaththob
radhiyallahu ‘anhu. (HR. Bukhari no. 2009)
وَعَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِىِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ
بْنِ الْخَطَّابِ – رضى الله عنه – لَيْلَةً فِى رَمَضَانَ ، إِلَى
الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّى
الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّى الرَّجُلُ فَيُصَلِّى بِصَلاَتِهِ
الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّى أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى
قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ . ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى
أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ ، ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى ،
وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ ، قَالَ عُمَرُ نِعْمَ
الْبِدْعَةُ هَذِهِ ، وَالَّتِى يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِى
يَقُومُونَ . يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ ، وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ
أَوَّلَهُ
Dan dari Ibnu Syihab dari ‘Urwah bin Az Zubair dari ‘Abdurrahman bin
‘Abdul Qariy bahwa dia berkata, “Aku keluar bersama ‘Umar bin Al
Khoththob radhiyallahu ‘anhu pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata
orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang
shalat sendiri dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma’mum yang
jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka ‘Umar berkata, “Aku berpikir
bagaimana seandainya mereka semuanya shalat berjama’ah dengan dipimpin
satu orang imam, itu lebih baik“. Kemudian Umar memantapkan keinginannya
itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh
Ubbay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang
lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu jama’ah dengan dipimpin
seorang imam, lalu ‘Umar berkata, “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini. Dan
mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang
shalat awal mala.” Yang beliau maksudkan untuk mendirikan shalat di
akhir malam, sedangkan orang-orang secara umum melakukan shalat pada
awal malam. (HR. Bukhari no. 2010)
Shalat Tarawih 11 Raka’at di Masa ‘Umar
Disebutkan dalam Muwaththo’ Imam Malik riwayat sebagai berikut.
وَحَدَّثَنِى عَنْ مَالِكٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ عَنِ السَّائِبِ
بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَىَّ بْنَ
كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِىَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ
رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى
كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِىِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا
نَنْصَرِفُ إِلاَّ فِى فُرُوعِ الْفَجْرِ.
Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Muhammad bin Yusuf dari
As-Sa`ib bin Yazid dia berkata, “Umar bin Khatthab memerintahkan Ubay
bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari untuk mengimami orang-orang, dengan sebelas
rakaat.” As Sa`ib berkata, “Imam membaca dua ratusan ayat, hingga kami
bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak
keluar melainkan di ambang fajar.” (HR. Malik dalam Al Muwaththo’
1/115).
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa riwayat ini shahih
Shalat Tarawih 23 Raka’at di Masa ‘Umar
Dalam Musnad ‘Ali bin Al Ja’d terdapat riwayat sebagai berikut.
حدثنا علي أنا بن أبي ذئب عن يزيد بن خصيفة عن السائب بن يزيد قال : كانوا
يقومون على عهد عمر في شهر رمضان بعشرين ركعة وإن كانوا ليقرءون بالمئين من
القرآن
Telah menceritakan kepada kami ‘Ali, bahwa Ibnu Abi Dzi’b dari Yazid bin
Khoshifah dari As Saib bin Yazid, ia berkata, “Mereka melaksanakan
qiyam lail di masa ‘Umar di bulan Ramadhan sebanyak 20 raka’at. Ketika
itu mereka membaca 200 ayat Al Qur’an.” (HR. ‘Ali bin Al Ja’d dalam
musnadnya, 1/413)
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa riwayat ini shahih.
Riwayat riwayat di atas memiliki beberapa penguat di antaranya:
Pertama: Riwayat ‘Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya (4/260).
عن داود بن قيس وغيره عن محمد بن يوسف عن السائب بن يزيد أن عمر جمع الناس
في رمضان على أبي بن كعب وعلى تميم الداري على إحدى وعشرين ركعة يقرؤون
بالمئين وينصرفون عند فروع الفجر
Dari Daud bin Qois dan selainnya, dari Muhammad bin Yusuf, dari As Saib
bin Yazid, ia berkata bahwa ‘Umar pernah mengumpulkan manusia di bulan
Ramadhan, Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daari yang menjadi imam dengan
mengerjakan shalat 21 raka’at. Ketika itu mereka membaca 200 ayat.
Shalat tersebut baru bubar ketika menjelang fajar.
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
Kedua: Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya (2/163).
حدثنا وكيع عن مالك بن أنس عن يحيى بن سعيد أن عمر بن الخطاب أمر رجلا يصلي بهم عشرين ركعة
Telah menceritakan kepada kami Waki’, dari Malik bin Anas, dari Yahya
bin Sa’id, ia berkata, “’Umar bin Al Khottob pernah memerintah seseorang
shalat dengan mereka sebanyak 20 raka’at.”
Yahya bin Sa’id adalah seorang tabi’in. Sehingga riwayat ini termasuk
mursal (artinya tabi’in berkata langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tanpa menyebut sahabat).
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa perbuatan sahabat di zaman ‘Umar
bin Khottob bervariasi, kadang mereka melaksanakan 11 raka’at, kadang
pula –berdasarkan riwayat yang shahih- melaksanakan 23 raka’at. Lalu
bagaimana menyikapi riwayat semacam ini? Jawabnya, tidak ada masalah
dalam menyikapi dua riwayat tersebut. Kita bisa katakan bahwa kadangkala
mereka melaksanakan 11 raka’at, dan kadangkala mereka melaksanakan 23
raka’at dilihat dari kondisi mereka masing-masing.
Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro mengatakan,
وَيُمْكِنُ الْجَمْعُ بَيْنَ الرِّوَايَتَيْنِ ، فَإِنَّهُمْ كَانُوا
يَقُومُونَ بِإِحْدَى عَشْرَةَ ، ثُمَّ كَانُوا يَقُومُونَ بِعِشْرِينَ
وَيُوتِرُونَ بِثَلاَثٍ
“Dan mungkin saja kita menggabungkan dua riwayat (yang membicarakan 11
raka’at dan 23 raka’at, -pen), kita katakan bahwa dulu para sahabat
terkadang melakukan shalat tarawih sebanyak 11 raka’at. Di kesempatan
lain, mereka lakukan 20 raka’at ditambah witir 3 raka’at.”
Begitu pula Ibnu Hajar Al Asqolani juga menjelaskan hal yang serupa. Beliau rahimahullah mengatakan,
وَالْجَمْعُ بَيْن هَذِهِ الرِّوَايَات مُمْكِنٌ بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَال ،
وَيَحْتَمِل أَنَّ ذَلِكَ الِاخْتِلَافَ بِحَسَبِ تَطْوِيلِ الْقِرَاءَة
وَتَخْفِيفِهَا فَحَيْثُ يُطِيلُ الْقِرَاءَة تَقِلُّ الرَّكَعَات
وَبِالْعَكْسِ وَبِذَلِكَ جَزَمَ الدَّاوُدِيُّ وَغَيْره
“Kompromi antara riwayat (yang menyebutkan 11 dan 23 raka’at) amat
memungkinkan dengan kita katakan bahwa mereka melaksanakan shalat
tarawih tersebut dilihat dari kondisinya. Kita bisa memahami bahwa
perbedaan (jumlah raka’at tersebut) dikarenakan kadangkala bacaan tiap
raka’atnya panjang dan kadangkala pendek. Ketika bacaan tersebut
dipanjangkan, maka jumlah raka’atnya semakin sedikit. Demikian
sebaliknya. Inilah yang ditegaskan oleh Ad Dawudi dan ulama lainnya.”
Beberapa Atsar Penguat
Pertama: Atsar Atho’ (seorang tabi’in) yang dikeluarkan dalam Mushonnaf Ibni Abi Syaibah (2/163).
حدثنا بن نمير عن عبد الملك عن عطاء قال أدركت الناس وهم يصلون ثلاثة وعشرين ركعة بالوتر
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, dari ‘Abdul Malik, dari
‘Atho’, ia berkata, “Aku pernah menemukan manusia ketika itu
melaksanakan shalat malam 23 raka’at dan sudah termasuk witir di
dalamnya.”
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa riwayat ini shahih.
Kedua: Atsar dari Ibnu Abi Mulaikah yang dikeluarkan dalam Mushonnaf Ibni Abi Syaibah (2/163).
حدثنا وكيع عن نافع بن عمر قال كان بن أبي مليكة يصلي بنا في رمضان عشرين ركعة
Telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Nafi’ bin ‘Umar, ia berkata,
“Ibnu Abi Mulaikah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 20
raka’at”.
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa riwayat ini shahih
Ketiga: Atsar dari ‘Ali bin Robi’ah yang dikeluarkan dalam Mushonnaf Ibni Abi Syaibah (2/163).
حدثنا الفضل بن دكين عن سعيد بن عبيد أن علي بن ربيعة كان يصلي بهم في رمضان خمس ترويحات ويوتر بثلاث
Telah menceritakan kepada kami Al Fadhl bin Dakin, dari Sa’id bin
‘Ubaid, ia berkata bahwa ‘Ali bi Robi’ah pernah shalat bersama mereka di
Ramadhan sebanyak 5 kali duduk istirahat (artinya: 5 x 4 = 20 raka’at),
kemudian beliau berwitir dengan 3 raka’at.
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa riwayat ini shahih.
Keempat: Atsar dari ‘Abdurrahman bin Al Aswad yang dikeluarkan dalam Mushonnaf Ibni Abi Syaibah (2/163).
حدثنا حفص عن الحسن بن عبيد الله قال كان عبد الرحمن بن الأسود يصلي بنا في رمضان أربعين ركعة ويوتر بسبع
Telah menceritakan kepada kami Hafsh, dari Al Hasan bin ‘Ubaidillah, ia
berkata bahwa dulu ‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat bersama kami di
bulan Ramadhan sebanyak 40 raka’at, lalu beliau berwitir dengan 7
raka’at.
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa riwayat ini shahih.
Kelima: Atsar tentang shalat tarawih di zaman ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz yang dikeluarkan dalam Mushonnaf Ibni Abi Syaibah (2/163).
حدثنا بن مهدي عن داود بن قيس قال أدركت الناس بالمدينة في زمن عمر بن عبد
العزيز وأبان بن عثمان يصلون ستةة وثلاثين ركعة ويوترون بثلاث
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi, dari Daud bin Qois, ia
berkata, “Aku mendapati orang-orang di Madinah di zaman ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz dan Aban bin ‘Utsman melaksanakan shalat malam sebanyak 36
raka’at dan berwitir dengan 3 raka’at.
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa riwayat ini shahih.
Perkataan Para Ulama Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih
Disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani,
وَعَنْ الزَّعْفَرَانِيِّ عَنْ الشَّافِعِيِّ ” رَأَيْت النَّاس يَقُومُونَ
بِالْمَدِينَةِ بِتِسْعٍ وَثَلَاثِينَ وَبِمَكَّة بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ ،
وَلَيْسَ فِي شَيْء مِنْ ذَلِكَ ضِيقٌ
Dari Az Za’faroniy, dari Imam Asy Syafi’i, beliau berkata, “Aku melihat
manusia di Madinah melaksanakan shalat malam sebanyak 39 raka’at dan di
Makkah sebanyak 23 raka’at. Dan sama sekali hal ini tidak ada kesempitan
(artinya: boleh saja melakukan seperti itu, -pen).”
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan,
وليس في عدد الركعات من صلاة الليل حد محدود عند أحد من أهل العلم لا يتعدى
وإنما الصلاة خير موضوع وفعل بر وقربة فمن شاء استكثر ومن شاء استقل
“Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at
tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk
amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit
raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
لَمْ يُوَقِّتْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ
عَدَدًا مُعَيَّنًا ؛ بَلْ كَانَ هُوَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
– لَا يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا غَيْرِهِ عَلَى ثَلَاثَ عَشْرَةِ
رَكْعَةً لَكِنْ كَانَ يُطِيلُ الرَّكَعَاتِ فَلَمَّا جَمَعَهُمْ عُمَرُ
عَلَى أبي بْنِ كَعْبٍ كَانَ يُصَلِّي بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً ثُمَّ
يُوتِرُ بِثَلَاثِ وَكَانَ يُخِفُّ الْقِرَاءَةَ بِقَدْرِ مَا زَادَ مِنْ
الرَّكَعَاتِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَخَفُّ عَلَى الْمَأْمُومِينَ مِنْ تَطْوِيلِ
الرَّكْعَةِ الْوَاحِدَةِ ثُمَّ كَانَ طَائِفَةٌ مِنْ السَّلَفِ
يَقُومُونَ بِأَرْبَعِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثِ وَآخَرُونَ
قَامُوا بِسِتِّ وَثَلَاثِينَ وَأَوْتَرُوا بِثَلَاثِ وَهَذَا كُلُّهُ
سَائِغٌ فَكَيْفَمَا قَامَ فِي رَمَضَانَ مِنْ هَذِهِ الْوُجُوهِ فَقَدْ
أَحْسَنَ . وَالْأَفْضَلُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ أَحْوَالِ الْمُصَلِّينَ
فَإِنْ كَانَ فِيهِمْ احْتِمَالٌ لِطُولِ الْقِيَامِ فَالْقِيَامُ
بِعَشْرِ رَكَعَاتٍ وَثَلَاثٍ بَعْدَهَا . كَمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي لِنَفْسِهِ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ
هُوَ الْأَفْضَلُ وَإِنْ كَانُوا لَا يَحْتَمِلُونَهُ فَالْقِيَامُ
بِعِشْرِينَ هُوَ الْأَفْضَلُ وَهُوَ الَّذِي يَعْمَلُ بِهِ أَكْثَرُ
الْمُسْلِمِينَ فَإِنَّهُ وَسَطٌ بَيْنَ الْعَشْرِ وَبَيْنَ الْأَرْبَعِينَ
وَإِنْ قَامَ بِأَرْبَعِينَ وَغَيْرِهَا جَازَ ذَلِكَ وَلَا يُكْرَهُ
شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ . وَقَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ
الْأَئِمَّةِ كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ . وَمَنْ ظَنَّ أَنَّ قِيَامَ
رَمَضَانَ فِيهِ عَدَدٌ مُوَقَّتٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَا يُزَادُ فِيهِ وَلَا يُنْقَصُ مِنْهُ فَقَدْ أَخْطَأَ
“Shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau tidak menambah di bulan
Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at. Akan tetapi shalat
tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. Tatkala ‘Umar
mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab ditunjuk sebagai imam, dia
melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir
sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih
ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam
ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan
bacaan yang begitu panjang.
Sebagian salaf pun ada yang melaksanakan shalat malam sampai 40 raka’at,
lalu mereka berwitir dengan 3 raka’at. Ada lagi ulama yang melaksanakan
shalat malam dengan 36 raka’at dan berwitir dengan 3 raka’at.
Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam
di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan
memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan
kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan
raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam
dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini
dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan
Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang
terbaik.
Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang
panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang
lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama.
Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah
raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun
seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu
juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para
ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan
ulama lainnya.
Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan
Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11
raka’at, maka sungguh dia telah keliru. (Majmu'ul Fatawa Ibnu Taimiyah
22/272)
Demikian sajian kami tentang shalat tarawih bahwa sebenarnya tidak ada
masalah dalam kuantitas raka’at, baik 11 atau 23 raka’at tidak ada
masalah. Yang jadi masalah adalah sebagaimana yang kami sebutkan di
atas. Sehingga tidaklah tepat jika shalat tarawih 23 raka’at dikatakan
bid’ah. Lihat saja sejak masa sahabat dan tabi’ain mereka pun
melaksanakan shalat malam lebih dari 11 raka’at.
Dari sini juga tidaklah tepat jika seseorang bubar terlebih dahulu pada
shalat imam padahal masih 8 raka’at karena ia berkeyakinan bahwa shalat
malam hanya 11 raka’at sehingga ia tidak mau mengikuti shalat imam yang
23 raka’at. Jika memang shalat imam itu thuma’ninah, maka bermakmum di
belakangnya adalah pilihan yang tepat. Jika seseorang bubar dulu sebelum
imam selesai, sungguh ia telah kehilangan pahala yang teramat besar
sebagaimana disebutkan dalam hadits,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.”
Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun
seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam, meskipun itu 23 raka’at.
Itulah yang lebih tepat selama shalat 23 raka’at itu thuma’ninah. Jika
shalatnya terlalu cepat, sebaiknya cari jama’ah yang lebih thuma’ninah
dalam kondisi seperti itu
3. Tadarus Al Qur’an.
Membaca Al Qur’an adalah ibadah yang agung dan dzikir yang paling utama.
Al Qur’an akan memberikan syafa’at kepada setiap orang yang membacanya,
sebagaimana dalam hadits:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي شَافِعًا لِأَصْحَابِهِ يَوْمَ الْقِيَامَة
“Bacalah Al Qur’an, sesungguhnya ia akan datang memberikan syafa’at
kepada para pembacanya pada hari kiamat.” HR Ahmad dan lainnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjanjikan pahala yang besar untuk orang yang membaca Al Qur’an, beliau bersabda:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ،
وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرَةِ أَمْثَالِهَا أَمَا إِنِّي لَا أَقُولُ: الم
حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلْفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Siapa yang membaca satu huruf dari kitabullah, maka ia mendapat satu
kebaikan, dan satu kebaikan tersebut dihitung sepuluh kali lipat. Aku
tidak mengatakan alif lam mim satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam
satu huruf, dan mim satu huruf.” HR At Tirmidzi dan lainnya.
Bulan Ramadlan adalah bulan Al Qur’an, dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam di setiap bulan Ramadlan tadarus Al Qur’an bersama malaikat
Jibril ‘alaihissalam. Ibnu Abbas berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ
النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ
جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ
رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling
dermawan, dan beliau bertambah kedermawanannya di bulan Ramadlan ketika
bertemu dengan malaikat Jibril, dan Jibril menemui beliau di setiap
malam bulan Ramadlan untuk mudarosah (mempelajari) Al Qur’an.. (HR Al
Bukhari).
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tadarus
Al Qur’an bersama Jibril ‘alaihissalam di malam bulan Ramadlan, ini
menunjukkan bahwa waktu yang paling utama untuk membaca Al Qur’an dan
mempelajarinya di bulan Ramadlan adalah di waktu malam. Dan ini juga
ditunjukkan oleh sebuah hadits:
الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ
بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ
النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ قَالَ فَيُشَفَّعَانِ
“Shoum dan Al Qur’an akan memberikan syafa’at kepada seorang hamba pada
hari kiamat. Shoum berkata, “Ya Rabb, aku telah mencegahnya dari makanan
dan syahwat di waktu siang, izinkan aku memberi syafa’at untuknya.” Al
Qur’an berkata, “Aku telah mencegahnya tidur di waktu malam, izinkan aku
memberi syafa’at untuknya. Keduanya pun diberi izin untuk memberi
syafa’at.” HR Ahmad dan lainnya.
Hadits ini menunjukkan keutamaan membaca Al Qur’an di bulan Ramadlan,
oleh karena itu dahulu salafushalih lebih banyak menyibukkan dirinya
dengan membaca Al Qur’an ketika datang bulan Ramadlan. Syaikh Muhammad
bin Shalih ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Dahulu salafushalih
memperbanyak membaca Al Qur’an di bulan Ramadlan, dalam shalat dan dalam
kesempatan lainnya. Imam Az Zuhri rahimahullah apabila telah masuk
Ramadlan berkata, “Ia hanyalah untuk membaca Al Qur’an dan memberi
makan.” Imam Malik rahimahullah apabila telah datang bulan Ramadlan
meninggalkan membaca hadits dan majelis-majelis ilmu dan lebih
menyibukkan diri dengan membaca Al Qur’an dari mushhaf. Imam Qatadah
biasanya mengkhatam Al Qur’an di setiap tujuh hari, dan di bulan
Ramadlan beliau mengkhatam setiap tiga hari…
Imam Abdurrazzaq bin Hammam Ash Shan’ani berkata, “Sufyan Ats Tsauri
apabila telah masuk bulan Ramadlan, beliau meninggalkan semua ibadah
(yang sunnah) dan bersungguh-sungguh membaca Al Qur’an. Dan Aisyah
radliyallahu ‘anha membaca mushaf di awal siang di bulan Ramadlan,
apabila matahari telah terbit beliapun tidur.”
4. Memperbanyak shodaqoh.
Dalam hadits ibnu Abbas yang telah kita sebutkan tadi disebutkan:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling
dermawan, dan beliau bertambah kedermawanannya di bulan Ramadlan… al
hadits.
Hadits tersebut memberikan faidah kepada kita bahwa kedermawanan
hendaknya lebih di tingkatkan lagi di bulan Ramadlan. Mengapa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam lebih meningkatkan kedemawanan di bulan
Ramadlan secara khusus?? Al Hafidz ibnu Rajab menyebutkan banyak faidah
mengapa demikian. Beliau berkata, “Meningkatnya kedermawanan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadlan secara khusus memberikan
faidah yang banyak, diantaranya:
Pertama: Bertepatan dengan waktu yang mulia dimana amalan dilipatkan gandakan pahalanya bila bertepatan dengan waktu yang mulia.
Kedua: Membantu orang-orang yang berpuasa, sholat malam, dan berdzikir
dalam ketaatan mereka, sehingga orang yang membantu itu mendapatkan
pahala seperti pahala orang-orang yang dibantu. Sebagaimana orang yang
memberikan persiapan perang kepada orang lain mendapat pahala seperti
orang yang berperang.
Ketiga: Allah amat dermawan kepada hamba-hamabNya di bulan Ramadlan
dengan memberikan kepada mereka rahmat, ampunan dan kemerdekaan dari api
Neraka, terutama di malam lailatul qodar. Allah merahmati
hamba-hambaNya yang kasih sayang, sebagaimana Sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam:
إِنَّمَا يَرْحَمُ اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ.
“Sesungguhnya Allah hanyalah menyayangi hamba-hambaNya yang penyayang.” HR Bukhari dan Muslim.
Barang siapa yang dermawan kepada hamba-hamba Allah, maka Allahpun akan
dermawan kepadanya dengan karuniaNya, dan balasan itu sesuai dengan
jenis amalan.
Keempat: Menggabungkan puasa dan sedekah adalah sebab yang memasukkan ke
dalam surga, sebagaimana dalam hadits Ali Radliyallahu ‘anhu Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرَفًا تُرَى ظُهُورُهَا مِنْ بُطُونِهَا
وَبُطُونُهَا مِنْ ظُهُورِهَا فَقَامَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ لِمَنْ هِيَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِمَنْ أَطَابَ الْكَلَامَ وَأَطْعَمَ
الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ
نِيَام
“Sesungguhnya di dalam surga terdapat kamar-kamar yang luarnya terlihat
dari dalamnya, dan dalamnya terlihat dari luarnya.” Seorang arab badui
berdiri dan berkata, “Untuk siapa wahai Rasulullah?” Rasulullah
bersabda, “Untuk orang yang membaguskan perkatannya, memberi makan,
senantiasa berpuasa, dan shalat malam karena Allah sementara manusia
sedang terlelap tidur.” HR At Tirmidzi.
Amalan-amalan yang disebutkan dalam hadits ini semuanya ada dalam bulan
Ramadlan, maka terkumpul pada seorang mukmin puasa, qiyamullail,
shodaqoh, dan berbicara baik karena orang yang sedaang berpuasa dilarang
melakukan perbuatan sia-sia dan kotor.
Kelima: Menggabungkan antara puasa dan shodaqoh lebih memberikan
kekuatan yang lebih untuk menghapus dosa dan menjauhi api Neraka,
terlebih bila ditambah sholat malam. Dalam hadits yang shahih Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa puasa adalah
perisai[16]. Beliau juga mengabarkan bahwa shodaqoh itu dapat memadamkan
kesalahan sebagaimana air dapat memadamkan api.
Keenam: Orang yang berpuasa tentunya tidak lepas dari kekurangan dan
kesalahan, maka shodaqoh dapat menutupi kekurangan dan kesalahan
tersebut, oleh karena itu diwajibkan zakat fithr di akhir Ramadlan
sebagai pensuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan
kata-kata yang kotor.
Faidah lainnya adalah yang disebutkan oleh imam Asy Syafi’i, beliau
berkata, “Aku suka bila seseorang meningkatkan kedermawanan di bulan
Ramadlan karena mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, juga
karena kebutuhan manusia kepada perkara yang memperbaiki kemashlatan
mereka, dan karena banyak manusia yang disibukkan dengan berpuasa dari
mencari nafkah.”
Banyak hadits yng menjelaskan keutamaan shodaqoh, diantaranya hadits:
مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلَا يَقْبَلُ
اللهُ إِلَّا الطَّيِّبَ وَإِنَّ اللهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ
يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهَا كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ حَتَّى
تَكُوْنَ مِثْلَ الْجَبَلِ.
“Siapa yang bershodaqoh dengan sebutir kurma dari hasil usaha yang
halal, dan Allah tidak menerima kecuali yang halal, maka Allah akan
menerima dengan tangan kananNya, lalu mengembang biakkannya sebagaimana
seseorang dari kamu mengembang biakkan anak kudanya sehingga menjadi
sebesar gunung.” HR Bukhari dan Muslim.
Namun hendaknya orang yang ingin bershodaqoh mendahulukan yang wajib
sebelum yang sunnah, karena ia lebih besar pahalanya, sebagaimana dalam
hadits:
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى
رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ
أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ
عَلَى أَهْلِكَ
“Dinar yang kamu infakkan di jalan Allah, dinar yang kamu infakkan untuk
memerdekakan hamba sahaya, dinar yang kamu infakkan kepada fakir
miskin, dan dinar yang kamu infakkan kepada istrimu, yang paling besar
pahalanya adalah dinar yang kamu infakkan kepada istrimu.” HR Muslim.
5. Menyegerakan berbuka puasa.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan umatnya agar
menyegerakan berbuka puasa, bahkan menjadikannya sebagai tonggak
kebaikan umat islam. Beliau bersabda:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْر
“Manusia (umat islam) senantiasa baik selama mereka bersegera berbuka puasa.” HR Bukhari dan Muslim.
Dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يَزَالُ الدِّينُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لأَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُون
“Agama ini senantiasa menang selama manusia bersegera berbuka, karena
Yahudi dan Nashrani mengakhir-akhirkan berbuka puasa.” HR Abu Dawud dan
ibnu majah.
Yang dimaksud dengan bersegera berbuka puasa adalah bersegera berbuka
ketika matahari telah terbenam walaupun langit masih terlihat terang,
Yang menjadi patokan adalah yang berada di dataran rendah, bila mereka
sudah melihat matahari telah tenggelam seluruhnya di cakrawala maka
mereka berbuka dan yang azan segera mengumandangkan azan maghrib
sehingga yang di pegunungan mendengar dan mengikuti mereka, sebagaimana
telah datang di dalam “Ash Shohihain” dari hadits Abdulloh Ibni Abi
Aufah Rodhiyallohu ‘anh, beliau berkata:
سِرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ صَائِمٌ
فَلَمَّا غَرَبَتِ الشَّمْسُ قَالَ « يَا بِلاَلُ انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا
». قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ أَمْسَيْتَ. قَالَ « انْزِلْ فَاجْدَحْ
لَنَا ». قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلَيْكَ نَهَارًا. قَالَ «
انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا ». فَنَزَلَ فَجَدَحَ فَشَرِبَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قَالَ « إِذَا رَأَيْتُمُ اللَّيْلَ قَدْ
أَقْبَلَ مِنْ هَا هُنَا فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ ». وَأَشَارَ
بِأُصْبُعِهِ قِبَلَ الْمَشْرِقِ.
“Kami berjalan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang
sedang berpuasa, ketika matahari telah tenggelam, beliau bersabda, “Hai
Bilal turunlah dan sediakan makanan berbuka untuk kita.” Bilal berkata,
“Wahai Rasulullah, jika engkau menunggu agak sore lagi?” beliau
bersabda, “Turunlah dan sediakan makanan berbuka untuk kita.” Bilal
berkata, “Wahai Rasulullah, langit masih terang.” Beliau bersabda,
“Turunlah dan sediakan makanan berbuka untuk kita.” Bilalpun turun dan
mempersiapkannnya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam minum,
kemudian beliau bersabda, “Apabila malam telah datang dari arah sana,
maka telah masuk waktu berbuka puasa.” Beliau menunjuk ke arah timur.
(HR Abu Dawud dan lainnya dengan sanad shahih).
Perkataannya:“Turunlah”, ini menunjukan kalau shohabat tersebut berada
di suatu tempat yang tinggi, baik dia di atas kendaraan atau yang
semisalnya, yang keberadaannya lebih tinggi dari yang di bawahnya.
Yang jadi ukuran dan patokan di sini adalah yang di bawah, jika yang di
bawah sudah melihat matahari telah tenggelam semuanya di cakrawala maka
yang berada di atas hukumnya seperti yang berada di bawah yaitu
bersegara berbuka puasa.
Hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan ta’jil (bersegera berbuka puasa) memberikan kepada kita banyak faidah, diantaranya:
Pertama: Agama ini akan sentiasa menang selama umat islam menyelisihi
kaum ahlul kitab dan tidak menyerupai mereka dalam seluruh sisi
kehidupan.
Kedua: Berpegang kepada islam hendaknya menyeluruh (kaffah), sebagaimana firman Allah Ta’ala:
يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ ءَامَنُوْا ادْخُلُوْا فِي السِّلْمِ كَافَّة
“Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu masuk islam secara kaffah.” (Al Baqarah: 208).
Kita tidak boleh memilah masalah pokok dengan masalah parsial, atau
memilah antara cangkang dan inti, karena sikap seperti ini adalah bid’ah
yang diada-adakan di zaman ini. Bila masalah ta’jil yang banyak
diremehkan oleh kaum muslimin ini dianggap sebagai tonggak kejayaan
islam, maka itu menunjukkan bahwa syari’at islam sekecil apapun tidak
boleh dianggap remeh, karena semua itu berasal dari Allah pencipta
langit dan bumi.
Ketiga: Kejadian-kejadian memilukan yang menimpa kaum muslimin di
negeri-negeri islam tidak boleh menjadikan kita membeda-bedakan syari’at
Allah atau bahkan menganggap sepele masalah-masalah yang dianggap
parsial. Ketika kita mengingkari suatu bid’ah, banyak orang yang
berkata, “Mengapa kamu menyibukkan diri dengan masalah-masalah sepele,
sementara kaum muslimin dibantai??” apakah ia tidak sadar bahwa kehinaan
kaum muslimin disebabkan jauhnya mereka dari ajaran islam yang benar,
sebagaimana disebutkan dalam hadits:
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ
فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى
أَنْبِيَائِهِمْ
“Apa-apa yang aku larang tinggalkanlah, dan apa-apa yang aku perintahkan
lakukanlah semampu kamu, karena sesungguhnya yang membinasakan
orang-orang sebelum kamu adalah banyak bertanya dan menyelisi Nabi-Nabi
mereka.” HR Bukhari dan Muslim.
6. Memperhatikan adab-adab berbuka puasa.
Setelah menjelaskan keutamaan ta’jil, kita akan menjelaskan adab-adab
berbuka puasa yang hendaknya diperhatikan oleh setiap orang yang berbuka
puasa, diantara adabnya adalah:
Adab Pertama: Berbuka sebelum shalat maghrib.
Berdasarkan hadits Anas radliyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ عَلَى رُطَبَاتٍ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuka dengan ruthab sebelum shalat (maghrib).” HR Abu Dawud dan lainnya.
Di negeri kita ini ada sebuah fenomena yang harus diingatkan, yaitu
banyak kaum muslimin ketika berbuka mereka langsung makan besar sehingga
meninggalkan shalat berjama’ah di masjid, tentunya ini tidak sesuai
dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagusnya kita berbuka
dahulu dengan kurma lalu pergi ke masjid untuk shalat berjama’ah,
kemudian bila kita ingin melanjutkan makan, kita lakukan setelah shalat
maghrib, agar tidak terluput dari keutamaan besar shalat berjama’ah di
masjid.
Adab Kedua: Berbuka dengan ruthab, bila tidak ada maka dengan kurma, bila tidak ada maka dengan air.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan agar berbuka dengan
kurma, bila tidak ada maka dengan air. Senbagaimana dalam hadits Anas
bin Malik radliyallahu ‘anhu:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ
قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ
فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuka dengan ruthab (kurma
basah) sebelum shalat (maghrib), bila ruthab tidak ada beliau berbuka
dengan tamr (kurma kering), bila tidak ada juga beliau berbuka dengan
air.” HR Abu Dawud dan lainnya.
Berbuka dengan ruthab amat bermanfaat untuk kesehatan lambung, terlebih
setelah kita menahan lapar seharian sangat sesuai bila berbuka dengan
ruthab atau kurma, agar lambung diperkuat terlebih dahulu sebelum
dimasukkan makanan yang berat, dan khasiat kurma juga banyak sebagaimana
yang disebutkan oleh para ahlinya.
Dan di negri kita bisa berbuka dengan berbagai makanan ringan yang manis seperti bubur, kolak dsb.
Adab Ketiga: Membaca do’a berbuka puasa.
Do’a yang shahih adalah hadits ibnu Umar:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَفْطَرَ قَالَ « ذَهَبَ
الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
».
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila telah bberbuka, beliau
mengucapkan: “Telah hilang dahaga, dan telah basah tenggorokan, dan
telah tetap pahala insyaa Allah.” HR Abu Dawud[24] dan lainnya.
Adapun do’a yang terkenal di negeri kita, yaitu:
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَي رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
“Ya Allah aku berpuasa karenaMu, aku beriman kepadaMu, dan aku berbuka
dengan rizkiMu, dengan rahmatMu wahai Dzat yang Maha kasih sayang.”
Ini adalah lafadz yang dibuat-buat dan tidak ada asalnya. Ya, ada
riwayat yang menyebutkan, namun tidak ada tambahan: “wabika aamantu.”
Juga tidak ada: “birohmatika yaa arhamarrahimin.” Yaitu hadits:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ : أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله
عليه وسلم- كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ :« اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى
رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ ».
“Dari Mu’adz bin Zahroh sampai kepadanya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam apabila berbuka mengucapkan: “Allahumma laka shumtu wa ‘ala
rizqika afthartu (Ya Allah aku berpuasa karenaMu, dan aku berbuka dengan
rizkiMu).”
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu dawud (2360) dan lainnya, semuanya dari
jalan Hushain bin Abdurrahman dari Mu’adz bin Zahroh. Dan sanad ini
mempunyai dua cacat:
Pertama: Mursal, karena Mu’adz bin Zahroh bukan shahabat.
Kedua: Mu’adz bin Zahroh ini majhul, tidak ada yang meriwayatkan darinya
kecuali Hushain ini. Ibnu Abi hatim menyebutkannya dalam kitab Al jarhu
watta’dil namun beliau tidak menyebutkan celaan (jarh) tidak pula
pujian (ta’dil).
Namun hadits ini mempunyai syahid dari hadits Anas dan ibnu Abbas.
Adapun hadits Anas diriwayatkan oleh Ath Thbarani dalam Al Mu’jam Ash
Shaghier (2/133 no 912) dan Al Ausath (7549) dari jalan Isma’il bin Amru
Al bajali haddatsana Dawud bin Az Zabarqon haddatsana Syu’bah dari
Tsabit Al bunani dari Anas bin Malik bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam apabila berbuka mengucapkan: “Bismillah Allahumma laka shumtu
wa ‘ala rizqika afthartu.”
Sanad ini sangat lemah karena ada dua cacat:
Pertama: Isma’il bin Amru Al bajali dikatakan oleh Adz Dzahabi, “Ia dianggap lemah oleh banyak ulama.”
Kedua: Dawud bin Az Zabarqon. Al Hafidz ibnu hajar berkata dalam taqribnya: “Matruk dan dianggap pendusta oleh Al Azdi.”
Adapun hadits ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Ad Daroquthni dalam sunannya
(2/185 no 26) dan lainnya dari jalan Abdul Malik bin Harun bin ‘Antaroh
dari ayahnya dari kakeknya dari ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu
‘alaibhi wasallam apabila berbuka mengucapkan: “Allahumma laka shumnaa
wa ‘alaa rizqika afthornaa Allahumma taqobbal minna innaka antassami’ul
‘aliim.”
Sanad hadits ini sangat lemah juga, dalam sanadnya terdapat Abdul malik
bin Harun, dikatakan oleh Adz Dzahabi dalam kitab diwan dlu’afa:
“tarokuuh (para ulama meninggalkannya), As Sa’di berkata, “Dajjal.”
Karena dua syahid ini sangat lemah maka tidak dapat menguatkan hadits
tersebut. Wallahu a’lam. Adapun tambahan “wa bika aamantu” dan
“birohmatika yaa Arhamarrohimin” adalah tambahan yang tidak ada asalnya
sama sekali. Namun walaupun begitu tidak ada salahnya dalam membaca doa.
Apalagi jika di ketahui makna dan maksud dari kalimat doa tersebut.
Tambahan kalimat "wa bika aamantu" yang artinya "dan kepadaMu Saya
Beriman", sebagaimana perintah puasa bagi orang yang beriman serta
tersebut dalam hadits mengharapkan pahala dalam Romadhon;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ
مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. رواه البخاري ومسلم
Dari abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Barang siapa yang qiyamulail di bulan ramadlan karena iman
dan berharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR
Bukhari dan muslim).
7. Memberi makan untuk orang yang berbuka puasa.
Memberi makan orang yang berbuka puasa adalah ibadah yang agung, sebagaimana dalam hadits:
مَنْ فَطَّرَ صَائِماً ، كَانَ لَهُ مِثْلُ أجْرِهِ ، غَيْرَ أنَّهُ لاَ يُنْقَصُ مِنْ أجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ
“Barang siapa yang memberi makan untuk berbuka orang yang berpuasa, maka
ia mendapat seperti pahalanya, akan tetapi pahala orang yang berpuasa
tidak berkurang sedikitpun.” HR At Tirmidzi, ibnu Majah, Ahmad dan
lainnya.
8. Sahur.
Sesungguhnya sahur adalah sunnah yang sangat ditekankan, dan ia mempunyai beberapa keutamaan, yaitu:
Pertama: Sahur adalah makanan yang berkah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِى السُّحُورِ بَرَكَة
“Bersahurlah karena sesungguhnya dalam sahur itu terdapat keberkahan.” HR Muslim.
Dalam hadits lain Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
الْبَرَكَةُ فِي ثَلَاثَةٍ: فِي الْجَمَاعَةِ، وَالثَّرِيدِ ، وَالسَّحُور
“Keberkahan ada pada tiga; berjama’ah, tsarid, dan sahur.” HR Ath Thabrani.
Kedua: Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para malaikatNya bershalawat kepada
orang-orang yang bersahur, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ.
“Sesungguhnya Allah dan malaikatNya bershalawat atas orang-orang yang sahur.” HR Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Ausath.
Ketiga: Sebagai pembeda antara puasa kaum muslimin dan puasa ahlul kitab.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَر
“Pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab adalah makan sahur.” HR Muslim.
Adab-adab sahur.
Disana ada beberapa adab yang hendaknya kita perhatikan dalam bersahur, yaitu:
1. Bersahur dengan kurma.
نِعْمَ سَحُورُ الْمُؤْمِنِ التَّمْر
“Sebaik-baik makanan sahur bagi seorang mukmin adalah kurma.” HR Abu Dawud dan lainnya.
2. Mengakhirkan waktu sahur.
Waktu sahur yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
jauh dari waktu fajar, sebagaimana dalam hadits Anas dari Zaid bin
Tsabit ia berkata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ، ثُمَّ قَامَ
إِلَى الصَّلاَةِ قُلْتُ : كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَبَيْنَ
السُّحُورِ؟ قَالَ : قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً.
“Kami pernah bersahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Anas berkata, “Berapa jarak waktu antara adzan dan sahur ?” Ia menjawab,
“Sekitar membaca 50 ayat.” HR Bukhari dan Muslim.
Dan itulah yan diamalkan oleh para shahabat setelahnya, Amru bin Maimun
Al Audi berkata, “Para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah orang yang paling cepat berbuka dan paling lambat bersahur.”Al
hafidz ibnu Hajar ketika menjelaskan bab: “Ta’jil sahur.” Dalam shahih
Bukhari berkata, “Maksudnya mempercepat makan sebagai isyarat bahwa
dahulu sahur itu mendekati terbitnya fajar. Lalu beliau membawakan
riwayat Imam Malik dalam muwatha’nya dari jalan Abdullah bin Abu bakar
dari ayahnya berkata, “Dahulu selesai sholat malam kami bersegera makan
sahur karena takut fajar menyingsing."
Namun di zaman ini kita melihat penyimpangan dari sunnah dalam bersahur,
kita melihat mereka bersahur sekitar jam satu atau jam dua malam.
Tentunya fenomena ini sangat tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat serta para ulama
setelahnya.
Hukum imsak.
Ditambah lagi mereka mengada-adakan sebuah perkara baru, yaitu yang
disebut dengan imsak, dengan melarang makan dan minum sekitar 10 menit
sebelum fajar dengan alasan kehati-hatian. Padahal bila kita perhatikan,
pengadaan imsak ini bertentangan dengan hadits, kaidah ushul fiqih dan
apa yang difatwakan oleh para ulama.
Adapun hadits, Abu Dawud (no 2352) meriwayatkan dalam sunannya dari
jalan Hammad dari Muhammad bin Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah
radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْه
“Apabila salah seorang dari kamu mendengar adzan sementara gelas masih
ada di tangannya, janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan
hajatnya.”
Dan dalam riwayat Ahmad (2/510) dengan tambahan: “Dan muadzin beradzan
ketika fajar telah menyingsing.” Tambahan ini membantah pendapat yang
mengatakan bahwa adzan yang dimaksud adalah adzan sebelum fajar.
Hadits ini mengecualikan keumuman ayat dalam surat Al Baqarah: 187 yang
artinya: “Makan dan minumlah sampai menjadi jelas bagimu benang putih
dari benang hitam dari fajar.” Bahkan sebagian shahabat ada yang
berpendapat lebih dari ini, mereka memperbolehkan sahur sampai fajar
benar-benar telah menjadi jelas dan terang, silahkan dirujuk kitab
Fathul Bari 4/136-137.
Adapun kaidah ushul, sebuah kaidah fiqih berkata:
الأصل بقاء ما كان على ما كان
“Pada asalnya sesuatu itu tetap pada asalnya terdahulu.”
Ketika seseorang ragu apakah telah masuk fajar atau belum, lalu ia makan
dan ternyata fajar telah masuk, maka tidak batal puasanya, karena pada
asalnya malam masih ada sampai ada bukti yang kuat yang menunjukkan
bahwa fajar telah menyingsing. Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu berkata,
“Allah menghalalkan makan dan minum sahur selama kamu masih ragu sampai
kamu tidak merasa ragu.” HR Abdurrazzaq. Ibnul Mundzir berkata, “Ini
adalah pendapat mayoritas ulama.” Jadi, kehati-hatian yang diklaim itu
sebenarnya adalah was-was yang tidak boleh kita ikuti.
Adapun fatwa ulama, Al Hafidz ibnu Hajar Al ‘Asqolani rahimahullah
berkata, “Termasuk bid’ah yang mungkar adalah yang terjadi di zaman ini,
yaitu mengumandangkan adzan kedua sebelum fajar menyingsing sekitar
sepertiga jam, dan mematikan lampu-lampu untuk dijadikan tanda haramnya
makan dan minum bagi orang yang ingin berpuasa. Mereka lakukan itu
dengan alasan kehati-hatian dalam ibadah..
Yang terjadi di zaman Al Hafidz tersebut serupa dengan pengadaan imsak
di zaman ini, karena sama-sama beralasan kehati-hatian dalam ibadah. Ya,
kehati-hatian dalam beribadah adalah terpuji selama tidak terjerat
dalam was-was dan menyelisihi sunnah.
9. Umrah.
Umrah di bulan Ramadlan mempunyai keistimewaan lebih dibandingkan dengan
umroh di bulan lainnya. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam
shahihnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً مَعِيْ.
“Sesungguhnya umroh di bulan Ramadlan sama dengan haji bersamaku.”
Ini tentunya adalah kesempatan yang besar untuk meraih pahala yang besar
di sisi Allah, terutama bagi mereka yang diberikan keluasan harta oleh
Allah Subhanahu wata’ala.
10. I’tikaf.
I’tikaf adalah ibadah yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam terutama di sepuluh terakhir bulan
Ramadlan, Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ
رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ
اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada setiap bulan
Ramadlan sepuluh hari. Ketika di tahun yang beliau meninggal padanya
beliau beri’tikaf dua puluh hari lamanya.” HR Bukhari.
Waktu i’tikaf yang paling utama adalah sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan sebagaimana dalam hadits Aisyah radliyallahu ‘anha:
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ.
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf di sepuluh
terakhir bulan Ramadlan sampai beliau Allah mewafatkan beliau.” HR
Bukhari dan Muslim.
Tempat i’tikaf adalah masjid bukan di rumah, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَأَنْتُمْ عَاكِفُوْنَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Sementara kalian beri-tikaf di masjid-masjid.” QS Al Baqarah: 187.
Namun para ulama berpendapat apakah yang dimaksud masjid dalam ayat
tersebut, sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah hanya
tiga masjid saja, berdasarkan hadits:
لَا اعْتِكَافَ إِلَّا فِي الْمَسَاجِدِ الثَّلَاثَةِ.
“Tidak ada i’tikaf kecuali di tiga masjid.”
Sedangkan (jumhur) mayoritas ulama berpendapat disyari’atkan i’tikaf di
setiap masjid berdasarkan keumuman ayat di atas. Namun jumhur
berselisihan masjid seperti apa yang diperbolehkan padanya i’tikaf,
kebanyakan berpendapat masjid jami’ yaitu masjid yang ditegakkan padanya
shalat jum’at.
Disunnah untuk masuk ke masjid setelah maghrib di tanggal dua puluh
Ramadlan, dan masuk ke tempat i’tikaf setelah shalat fajar tanggal 21
Ramadlan, berdasarkan hadits Aisyah:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي
الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً
فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf di sepuluh terakhir bulan
Ramadlan, dahulu aku yang memasangkan kemah untuk beliau, beliau shalat
shubuh lalu masuk ke dalamnya.” HR Bukhari.
Orang yang beri’tikaf hendaklah menjauhi dua perkara yang membatalkan
i’tikafnya, yaitu keluar dari masjid dengan tanpa udzur syar’iy dan
berjima’ dengan istri. Dan hendaklah mereka yang beri’tikaf menyibukkan
dirinya dengan keta’atan seperti shalat, membaca Al Qur’an, istighfar,
dan sebagainya serta tidak dilalaikan dengan sesuatu yang sia-sia.
11. Zakat Fithr.
Zakat fithr adalah kafarat (penebus) bagi orang yang berpuasa dari
perbuatan sia-sia dan kata-kata yang tidak baik ketika ia berpuasa, ibnu
Abbas radliyallahu ‘anhu berkata:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً
لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِين
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fithr sebagai
pensuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan
kata-kata yang tidak baik, dan sebagai makanan untuk orang-orang
miskin.” HR Abu Dawud dan lainnya.
Ia diwajibkan atas setiap kaum muslimin sebanyak satu sho’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ
صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ,
وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى , وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ
الْمُسْلِمِينَ , وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ
إِلَى الصَّلَاة
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fithr satu
sho’ kurma atau satu sho’ sya’ir (gandum), atas hamba sahaya dan
merdeka, laki-laki dan wanita, anak kecil dan dewasa dari kaum muslimin,
dan beliau memerintahkan agar zakat fithr dibagikan sebelum manusia
keluar menuju sholat.” HR Bukhari dan Muslim.
Waktu pembagiannya yang wajib adalah sebelum sholat ‘ied sebagaimana
yang ditunjukkan oleh hadits di atas. Namun diperbolehkan membayarnya
sehari atau dua hari sebelum ied, Nafi’ berkata, “Ibnu Umar
memberikannya kepada orang yang berhak menerimanya, dan dahulu mereka
membagikannya sebelum ‘iedul fithr sehari atau dua hari.” Adapun setelah
sholat ‘ied maka pelakunya berdosa namun ia tetap wajib mengeluarkannya
dengan ijma’ ulama, karena zakat fithr adalah hak para hamba.
Pada asalnya zakat fithr tidak boleh dibayar dengan uang, karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam hanya mewajibkan zakat fithr dengan satu
sho’ dari makanan, padahal di zaman beliau ada dinar dan dirham. Namun
bila keadaannya darurat atau dibutuhkan atau ada kemashlahatan yang
besar maka tidak mengapa dengan uang. Wallahu a’lam.
Adapun mustahiqnya hanya fakir miskin saja, karena zakat fithr termasuk
zakat badan bukan zakat harta, karena dalam hadits ibnu Abbas di atas
disebutkan bahwa zakat fithr berfungsi sebagai pensuci, ini menunjukkan
bahwa ia adalah kafarat sehingga lebih serupa dengan membayar kafarat,
sedangkan membayar kafarat itu hanya untuk fakir miskin saja, oleh
karena itu ibnu Abbas menyebutkan bahwa zakat fithr itu sebagai makanan
untuk fakir miskin. Dan ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul
islam ibnu Taimiyah rahimahullah.
12. Memperbanyak berdo’a dan dzikir.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa do’a orang yang berpuasa itu dikabulkan, beliau bersabda:
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ: دَعْوَةُ الصَّائِمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Ada tiga do’a yang diijabah: do’a orang yang berpuasa, do’a musafir dan
do’a orang yang dizalimi.” HR Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman.
Ini adalah kesempatan yang baik agar do’a kita diijabah oleh Allah
subhanahu wata’ala, maka hendaklah seorang yang berpuasa banyak
disibukkan dengan berdo’a kepada Allah dan juga berdzikir, agar lisan
kita selamat dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata yang tidak baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar